Mengenal AMS, Penyakit Ketinggian yang Perlu Diwaspadai Pendaki Gunung

5 Maret 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Evakuasi dua pendaki perempuan asal Indonesia yang dilaporkan tewas saat menuruni puncak Cartensz Pyramid, Papua, Sabtu (1/3/2025). Foto: Tim SAR Timika
zoom-in-whitePerbesar
Evakuasi dua pendaki perempuan asal Indonesia yang dilaporkan tewas saat menuruni puncak Cartensz Pyramid, Papua, Sabtu (1/3/2025). Foto: Tim SAR Timika
ADVERTISEMENT
Dua pendaki senior Elsa Laksono dan Lilie Wijayati, meninggal dunia saat menuruni Puncak Carstensz atau Gunung Puncak Jaya, Papua, pada Sabtu (1/3). Keduanya meninggal dunia usai diduga mengalami gejala Acute Mountain Sickness (AMS) dan juga hipotermia.
ADVERTISEMENT
Para pendaki mungkin sudah tidak asing dengan gejala hipotermia yaitu kondisi penurunan suhu tubuh akibat terpapar udara dingin dalam waktu yang cukup lama. Akan tetapi, pernahkah kamu mendengar istilah AMS atau Acute Mountain Sickness?
Gletser di Carstenz Pyramid. Foto: Shutterstock
Ya, sama-sama berbahaya, AMS atau yang juga disebut penyakit ketinggian ini juga bisa mengancam nyawa.
Ketua Bidang K3 “Mountaineering” (Kesehatan, Keamanan dan Keselamatan) “Federasi Mountaineering Indonesia” (FMI), Dokter M. Iqbal El Mubarak mengatakan AMS adalah penyakit gunung yang sifatnya acute atau menyerang mendadak.
Menurut Iqbal, berdasarkan sumber referensi UIAA (International Union of Mountaineering and Climbing) atau Federasi Panjat Tebing dan Pendakian Gunung Internasional, AMS ini terjadi di gunung-gunung yang berstatus high altitude atau gunung-gunung yang tinggi dengan ketinggian di atas 2.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Ketinggian Carstenz Pyramid. Foto: Shutterstock
"Ketika dia berstatus high altitude maka konsekuensinya adalah ada juga risiko potensi-potensi penyakit seperti Acute Mountain Sickness (AMS) atau penyakit gunung yang sifatnya acute yang menyerang mendadak," ujar Iqbal saat dihubungi kumparan baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
AMS sendiri kata Iqbal terbagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang, hingga berat. Untuk mengetahuinya, hal tersebut bisa dilihat dari gejala klinis yang dialami oleh pendaki.
Untuk mengetahui gejala AMS, Iqbal mengatakan rumusnya adalah dengan menghitung skor The Lake Louise AMS.
"Jadi penilaian yang pertama itu apakah dia ada nyeri kepala atau tidak. Nah, itu nilai angkanya. Kalau dia nyeri sekali itu 3, nyerinya sedang 2, nyeri ringan itu 1. Kalau dia nggak ada nyeri sama sekali sama sekali berarti nol," lanjut Iqbal.
Pendaki di Carstenz Pyramid. Foto: Shutterstock
Adapun, gejala klinis yang kedua yaitu apakah mengalami mual atau muntah. Mual dan muntah ini juga bisa dilihat berdasarkan tingkat keparahannya apakah muntahnya ringan atau berat yang sampai mengeluarkan darah.
ADVERTISEMENT
"Kemudian yang ketiga penilaiannya ada pada kelelahan atau kelemahan. Nah dia jadi nilainya juga sama 0 sampai 3. Nah yang terakhir itu pusing. Apakah dia disertai ada pusing atau tidak Nah pusing ini jadi nilai juga," papar Iqbal.
Dari beberapa indikator tersebut barulah dijumlah kalau nilai atau angkanya lebih dari 3 atau sama dengan 3 maka dia dikategorikan sudah terkena AMS.
"Nanti tinggal diklasifikasi. Apakah dia ringan sedang berat. Nah, perlu kita mengetahui ringan, sedang, berat. Sebab itu, berkaitan dengan penanganan. Penanganan, mau diapain nih si korbannya, gitu. Kira-kira apa saja langkah-langkahnya," ujar Iqbal.

Penanganan Bagi Pendaki yang Terkena AMS

Evakuasi dua pendaki perempuan asal Indonesia yang dilaporkan tewas saat menuruni puncak Cartensz Pyramid, Papua, Sabtu (1/3/2025). Foto: Tim SAR Timika
Kalau terkena AMS, Iqbal menyarankan pendaki untuk berhenti melakukan pendakian kurang lebih selama 24-48 jam untuk memulihkan diri.
ADVERTISEMENT
"Jika setelah rehat masih tidak pulih, maka segera turun dari ketinggian secara bertahap yang dimulai dari 500 meter dulu. Tujuannya untuk mendapatkan oksigen yang lebih maksimal," kata Iqbal.
Kemudian sambil berjalan, berikan oksigen melalui sungkup dengan oksigen maksimal. Dilanjutkan konsumsi cairan isotonik yang cukup. Lalu, gunakan obat-obatan yang sesuai dengan gejala yang dirasakan misalnya sakit kepala,maka berikan analgesik.
Ilustrasi pendakian Gunung Rinjani, Lombok. Foto: Shutter Stock
Iqbal melanjutkan, AMS ini bisa dicegah dengan beberapa hal. Pertama-tama adalah kondisi tubuh harus dalam keadaan fit atau sering berolahraga dan terlatih atau banyak kegiatan fisik.
Tak hanya itu, selama mendaki pastikan nutrisi tercukupi dengan makan dan minum yang cukup.
"Mengikuti SOP pendakian high altitude seperti melakukan aklimatisasi (proses penyesuaian diri organisme terhadap perubahan lingkungannya). Personal gear yang sesuai dengan kondisi gunung yang akan didaki," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jangan lupa juga untuk menyiapkan obat-obatan pribadi.

Bisa Mengancam Nyawa

Iqbal memperingatkan bahwa AMS yang tidak tertangani dengan baik gejalanya akan menjadi berat dan bisa mengancam nyawa.
"Jika tidak tertangani dengan baik dia (AMS) akan menjadi berat kan. Dan kemudian bisa nanti akan sampai ke namanya HAP atau Hap Altitude Pulmonary Edem. Jadi pembengkakan paru dan kemudian akan lagi rotasi kembali," papar Iqbal.
Kemudian, pendaki juga bisa mengalami HES atau High Altitude Cerebral Edema yaitu penumpukan cairan di otak yang menyebabkan otak membengkak dan tidak berfungsi normal.
Chamber Pendaki. Foto: Dok. Istimewa
"Karena pentingnya juga sebenarnya kalau dia mendaki gunung high altitude, yang memang gunung-gunung itu kayak yang fenomenal kita bilang kayak Carstenz atau Nepal ya. Trekking Himalaya, tentu sebenarnya operator itu perlu juga dia bawa chamber. Chamber untuk anti dekompresi itu," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau misalkan terjadi AMS yang berat, bahkan sampai ke HAP, High Altitude Pulmonary Edem atau HES, High Altitude Cerebral Edem, maka dia perlu dilakukan ini," lanjutnya.
Chamber ini adalah alat untuk mengobservasi pendaki yang terkena AMS tingkat lanjut.