Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Negeri di Atas Awan, Dieng selalu menawan hati siapa pun yang datang. Hal ini pula yang kumparan rasakan saat pertama kali menapakkan kaki di tempat indah yang terletak di Jawa Tengah ini.
ADVERTISEMENT
Eloknya lukisan alam berpadu sejuknya udara khas pegunungan, membuat Dieng menjadi tempat terbaik untuk mengasingkan diri sejenak dari hiruk-pikuknya perkotaan.
Perlu waktu sekitar 8 jam dari Jakarta menggunakan bus untuk tiba di Desa Wisata Dieng Kulon, yang berlokasi di Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah . Hawa dingin berselimut kabut menyambut kedatangan kumparan malam itu.
Sebelum memulai petualangan keesokan harinya, kumparan memutuskan untuk beristirahat sejenak di penginapan yang berada tidak jauh dari kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Beruntungnya, pada perjalanan kali ini kumparan bisa menyaksikan langsung salah satu gelaran acara tahunan Dieng Culture Festival (DCF) 2019 yang telah digelar beberapa waktu lalu. DCF yang memasuki penyelenggaraan ke-10 itu selalu menyuguhkan berbagai acara menarik bagi wisatawan.
ADVERTISEMENT
Jazz atas awan, kongkouw budaya, pesta lampion, sendratari Dieng, pentas tari tradisional, kirab dan parade budaya, hingga yang paling ditunggu-tunggu yaitu pencukuran anak-anak berambut gimbal atau gembel, bisa disaksikan di Dieng Culture Festival.
Berburu Indahnya Sunrise di Bukit Sidengkeng Petak 9 Dieng
Saat berada di Dieng kamu bisa berkunjung ke beberapa destinasi wisata sekaligus. Seperti Candi Arjuna, Batu Ratapan Angin, Kawah Sikidang, hingga Bukit Sikunir yang terkenal akan golden sunrisenya yang eksotis.
Petualangan pertama kumparan di Dieng diawali dengan berburu indahnya sunrise. Ya, Dataran Tinggi Dieng yang berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut mengundang rasa penasaran.
Menurut Eko, guide yang menemani perjalanan kumparan di Dieng, Bukit Sikunir menjadi tempat terbaik untuk berburu sunrise. Namun, Eko pun sempat berucap bahwa ada satu tempat lagi untuk menyaksikan indahnya sunrise di Dieng. Bahkan, menurutnya tempat tersebut menjadi destinasi wisata baru yang belum terlalu ramai dikunjungi wisatawan.
ADVERTISEMENT
“Ada satu tempat lagi namanya Bukit Siengkeng Petak 9 yang enggak kalah bagusnya,” kata Eko.
kumparan pun memutuskan untuk mengunjungi tempat tersebut. Karena masih berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng, untuk menuju Bukit Sidengkeng kamu pun tak perlu waktu lama.
Sekitar 20 menit saja kumparan sudah sampai di tempat yang katanya punya sunrise enggak kalah indah dari Bukit Sikunir. Sungguh bikin penasaran!
Dinginnya suhu udara di Dieng kala itu tidak menyurutkan semangat dan rasa penasaran kumparan yang membuncah untuk menyaksikan keindahan sunrise dari tempat ini.
Setibanya di pintu masuk, kami disambut oleh dua pintu gerbang yang didesain menyerupai sebuah candi dengan papan tulisan besar Wana Wisata Petak 9 Dieng. Setelah membeli tiket masuk, kumparan langsung bergegas mendaki ke atas puncak Bukit Sidengkeng.
ADVERTISEMENT
Tiba di Bukit Sidengkeng kamu bisa melihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang indah, berpadu dengan sinar matahari yang masih malu-malu untuk beranjak dari peraduannya. Kamu juga bisa melihat Gunung Prau dari kejauhan yang memukau.
Festival Lampion Terakhir Dieng Culture Festival yang Penuh Romansa
Setelah menikmati indahnya sunrise di Bukit Sidengkeng Petak 9, petualangan di Dieng kumparan lanjutkan dengan mengikuti rangkaian DCF. Selain pemotongan rambut gimbal bocah bajang, satu hal yang paling dinanti wisatawan adalah jazz di atas awan yang ditutup dengan rangkaian penerbangan lampion ke udara.
Ketua Panitia Dieng Culture Festival, Alif Fauzi, mengatakan bahwa tiap tahunnya DCF selalu menghadirkan sesuatu yang berbeda.
“Kami selalu membuat beberapa konsep yang berbeda dari tahun sebelumnya, baik konsep maupun penambahan acaranya. Tahun ini ada Java Coffee Festival dan pagelaran seni ketoprak,” ujar Alif, saat berbincang dengan kumparan.
Pelepasan ribuan lampion ke udara menjadi momen-momen romantis tak terlupakan. kumparan berkesempatan menerbangkan lampion yang terbuat dari kertas minyak yang dibentuk sedemikian rupa dengan tembaga lengkap, ditambahkan parafin di bagian tengah-tengahnya.
ADVERTISEMENT
Hitungan mundur telah dilakukan, saatnya menerbangkan lampion. Sembari diiringi lagu Tanah Air, ribuan lampion diterbangkan ke angkasa. Tak ketinggalan ribuan wisatawan pun ikut bersenandung, menghadirkan kehangatan di tengah dinginnya suhu Dieng pada malam itu. Keren!
Mengenal Tradisi Ruwat Anak Gimbal dan Makna di Dalamnya
Selain festival lampion, pemotongan rambut anak gimbal atau bocah bajang di Desa Dieng adalah salah satu daya tarik utama dalam gelaran DCF.
Sehari sebelum prosesi ritual ruwatan anak gimbal dimulai, seluruh permintaan mereka terlebih dahulu dikabulkan. Ketua adat Dieng Kulon, Mbah Sumanto, menceritakan asal usul prosesi ruwatan anak gimbal yang telah dilakukan sejak lama di Dieng, yang sekaligus menjadi acara utama dalam gelaran DCF.
“Dulu kan kalau pemotongan rambut gembel ini masih di rumahnya sendiri-sendiri, ya —kalau masa kecil saya. Nah, kalau sekarang karena sudah modern sudah ada ritual pencukuran rambut gembel di festival itu, ya,” ujar Mbah Sumanto.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebenarnya siapa itu anak gembel dan seperti apa sih prosesi ritual yang dilakukan?
Menurut Mbah Manto, dalam sebuah mitologi Dieng, bocah bajang atau anak berambut gembel merupakan titisan para leluhur Dieng Plateu. Bagi anak laki-laki, rambut gembel sebagai tanda titisan Kiai Kaladete, yaitu penguasa Dataran Tinggi Dieng dan bersemayam di Telaga Balekambang.
Sedangkan rambut gembel pada anak perempuan dinilai merupakan titisan Nyai Dewi Roro Ronce, abdi penguasa Pantai Selatan Nyai Roro Kidul.
“Sebelum rambutnya dipotong, anak gembel itu nanti ditanyai ‘gembelnya minta apa nak?’ ‘Dia minta telor 10’, nah itu harus dituruti 10 jangan dikurangi. Kurang 1 saja nanti gembelnya akan muncul lagi,” cerita Mbah Manto.
Mbah Manto pun mengatakan bahwa rambut gembel sudah ada sejak zaman kakek moyang. Menurutnya, prosesi pemotongan rambut gimbal merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.
ADVERTISEMENT
“Karena entah ada yang dari keturunan orang tua atau kakek moyang dan ada juga yang tidak keturunan,” ujar Mbah Sumanto.
Sebelum muncul rambut gimbal, sang anak biasanya akan mengalami demam atau panas tinggi. Tak lama setelahnya, rambut gimbal akan muncul seiring waktu.
“Anak gembel semua kalau mau muncul pasti sakit panas, semua itu merata. Enggak ada yang mau muncul, anak gembel itu enggak sakit itu enggak ada,” katanya.
Prosesi Ruwatan Anak Gimbal
Prosesi ruwatan dimulai dari rumah tetua adat setempat di Dieng, Batur, Banjarnegara. Anak-anak berambut gimbal yang hendak diruwat akan dikumpulkan. Di tempat itu, juga telah disiapkan segala sesuatu yang diminta oleh anak-anak tersebut.
Dari rumah tetua adat, mereka akan mengikuti arak-arakan keliling kampung dengan menggunakan sebuah kereta kuda. Kemudian, anak-anak tersebut dibawa ke Kompleks Dharmasala untuk mengikuti jamasan rambut.
ADVERTISEMENT
“Kalau sudah dijamasi pindah ke tempat pencukuran di Candi Arjuna. Nanti kalau sudah kumpul semua anaknya lalu dipotong rambutnya. Kalau sudah dipotong nanti rambut gembel itu dikumpulkan, lalu selesainya dilarung dikembalikan lagi ke yang menitipi itu, yaitu di Samudera atau air yang mengalirnya ke Samudera Kidul,” tutur Mbah Sumanto.
Setelah itu, mereka dibawa ke Kompleks Candi Arjuna, Dieng, untuk dipotong rambutnya. Setelah tembang Dandang Gula dilantunkan, prosesi pemotongan rambut pun dimulai dan dilakukan oleh para sesepuh dan pejabat sekitar.