Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Selayaknya dua sisi mata uang, traveling sendirian hanya mengandalkan smartphone atau disebut Mobilemoon bukan hanya soal keseruan semata. Di balik pengalaman traveler yang terdengar menyenangkan, rupanya ada kendala yang menyertainya. Mulai dari ponsel yang kehabisan baterai, kesulitan mendapat sinyal, hingga hampir pingsan karena lupa makan.
ADVERTISEMENT
“Pernah pas di Slovakia, waktu itu handphone mati, benar-benar mati, enggak ada power bank, charger rusak. Susah banget, kayak mau nangis rasanya. Waktu itu sudah jam 22.00, jadi toko tutup semua. Bookingan bus semua ada di sini (ponsel) dan gue enggak bisa nunjukin itu, jadi benar-benar enggak bisa jalan,” cerita Dimas Ramadhan, travel blogger yang juga berprofesi sebagai digital content creator saat bertemu kumparan di SCBD, Sabtu (21/9).
Di samping daya baterai ponsel, kendala lain yang kerap dialami traveler saat Mobilemoon adalah susah sinyal. Terutama ketika mereka tengah berada di lokasi yang lumayan terpencil. Seperti yang dialami Canisius Andrew, travel blogger asal Bandung yang kini tengah menetap di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam penuturannya, pria yang akrab disapa Andrew itu mengungkapkan bahwa sinyal memang salah satu hal krusial yang sering kali tak ia dapatkan saat traveling . Padahal provider yang ia gunakan merupakan provider yang diklaim terbaik di Indonesia.
“Sinyal yang mendadak hilang, padahal pakai provider terbaik se-Indonesia. Kadang juga jaringan internetnya mati, padahal 4G. Kan, kerasa PHP (Pemberian Harapan Palsu), ya. Power bank abis, baterai sekarat. Enggak tahu jalan pulang, cuman ngandelin insting aja dari ingatan perjalanan (sewaktu) berangkat dan pakai GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) alias nanya ke warga,” ceritanya kala dihubungi kumparan lewat aplikasi pesan singkat WhatsApp, Senin (23/9).
Lain kasus Andrew dan Dimas, lain pula Dinda. Meskipun sebenarnya bukan karena alasan teknis, ia justru pernah mendapat pengalaman bahwa meski bebas, Mobilemoon tetap harus dilakukan secara bertanggung jawab, terutama pada diri sendiri. Wanita berambut pendek ini bercerita, bahwa ia pernah hampir pingsan karena terlalu banyak menenggak kopi ketika tengah menonton Festival Pikachu di Jepang.
ADVERTISEMENT
Ia lupa bahwa sedari pagi hingga sore hari, ia belum makan apapun hingga festival berakhir. Alhasil, Dinda yang memiliki riwayat tekanan darah rendah ini mesti mengalami rasa tidak nyaman di badannya hingga hampir pingsan. Beruntung, ia masih sanggup berjalan dari venue festival menuju stasiun kereta dan kembali ke hotel.
“Karena Mobilemoon itu sendirian, jadi enggak ada yang ngingatin buat makan. Kalau traveling-nya bareng teman, pasti setidaknya menyempatkan diri buat makan,’’ aku wanita yang bernama lengkap Dinda Puspitasari ini.
Bisakah Mobilemoon Dilakukan di Indonesia?
Dari beragam kendala yang terjadi pada traveler ketika Mobilemoon, lantas muncul pertanyaan, “Bisakah Mobilemoon dilakukan di Indonesia?”.
Menurut Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata, Guntur Sakti, jawabannya, iya.
ADVERTISEMENT
“Mobilemoon digambarkan sebagai tren perjalanan yang menjadi sebuah keniscayaan, terlebih di era digital seperti sekarang ini. Indonesia merupakan destinasi yang sangat terbuka serta cocok bagi traveler yang hendak melakukan Mobilemoon,” tutur Guntur pada kumparan ketika dihubungi lewat aplikasi pesan singkat WhatsApp (24/9).
Ia menambahkan, bahwa hal ini dikarenakan beragamnya destinasi wisata Indonesia, sehingga dapat menarik minat wisatawan untuk mengeksplorasi lebih jauh. Serta tersedianya kemudahan teknologi dan informasi yang ditunjang oleh Kementerian Pariwisata.
Terlebih dalam laporan The Travel & Competitiveness Report 2019, skor Information Communication Technology (ICT) Readiness Indonesia berada di angka 4.7. Sehingga posisi Indonesia juga turut meningkat dari posisi 97 menuju angka 67 dari 140 negara.
“Kini kita mengenal istilah 'always-connected travellers', di mana pun dan kapan pun mereka saling terkoneksi dengan adanya mobile apps/devices. Dalam mencari informasi, membeli, dan mengkonsumsi produk wisata, wisatawan telah menggunakan mobile device, melakukan engagement secara personal, dan interaksinya bersifat ‘two-way’, bahkan ‘many-to-many’ dengan cara berbagi dengan peers dan komunitasnya. Proses Look-Book-Pay tersebut sudah mulai dilakukan secara fully-digital,” tambahnya menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana pendapat traveler yang pernah mempraktikkannya? Rupanya traveler Indonesia sepakat dalam memandang persoalan ini. Secara umum, mereka meyakini bahwa Mobilemoon bisa dilakukan di Indonesia, hanya saja hal ini cuma bisa dilakukan di kota-kota besar. Sementara di kota-kota kecil atau di pulau-pulau, Mobilemoon akan terasa lebih sulit untuk dilakukan karena persoalan sinyal.
“Nah itu, enggak, enggak juga. Kalau di Indonesia kan kita masih ada daerah-daerah terpencil. Kayaknya Mobilemoon ini hanya bisa di kota-kota yang lumayan maju, ya. Kalau misalnya kita ke pulau di daerah terpencil di Timur Indonesia gitu, boro-boro ada informasi. Boro-boro ada sinyal malah,” kata Trinity memberi pendapat.
Senada dengan Trinity, Intan Pransischa, salah seorang traveler yang pernah Mobilemoon di pulau-pulau di kawasan Laut Maluku juga berpendapat sama. Menurutnya, ponsel masih tetap bisa digunakan, tetapi bukan untuk mengakses internet, mencari panduan, atau membuka media sosial. Melainkan melakukan aktivitas offline, seperti membaca itinerary atau informasi yang sudah lebih dulu diunduh atau dicatat.
ADVERTISEMENT
“Untuk sinyal tidak memungkinkan, cuma dengan ponsel, kita bisa menyimpan beberapa hasil bacaan dengan screenshot. Jadi aku biasanya, membaca semua referensi atau catatan perjalanan orang lain,” pungkas wanita yang berdomisili di Bali tersebut.
Bagaimana menurutmu? Pernah punya pengalaman seru saat Mobilemoon?