Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
4 Fakta Giorgia Meloni, Sosok Kontroversial Calon PM Perempuan Pertama Italia
27 September 2022 18:25 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Selepas pemilu yang berlangsung pada 25 September, Italia diproyeksikan akan memiliki perdana menteri baru. Ia adalah Giorgia Meloni, seorang politikus yang mengomandoi aliansi pemerintahan dengan ideologi sayap kanan pertama sejak Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Aliansi pemerintahan sayap kanan tersebut terdiri dari tiga partai dengan ideologi konservatif, yakni Brothers of Italy (Fratelli d’Italia, FdI), yang memenangkan 26 persen suara; Partai Liga, yang memenangkan 9 persen suara; serta partai Forza Italia (FI) yang memperoleh 8 persen suara.
Berpusat di kemenangan koalisi centrodestra alias tengah-kanan ini adalah Giorgia Meloni. Dengan kemenangan ini, Giorgia diproyeksikan akan menjadi perdana menteri Italia dalam beberapa waktu ke depan. Ini akan mencetak sejarah baru; jika sudah resmi, Giorgia akan menjadi perdana menteri perempuan pertama sepanjang sejarah Italia.
“Tentu saja, hal tersebut akan menjadi langkah maju ke depan. Saya mendefinisikannya sebagai memecahkan ‘atap kaca’—yang masih ada di banyak negara-negara barat dan tak cuma ada di Italia—mencegah perempuan dari mencapai peran publik penting di masyarakat,” ucap Giorgia kepada Euronews, sebelum dimulainya pemilu.
ADVERTISEMENT
“Saya akan merasa terhormat untuk bisa menjadi perempuan pertama yang mematahkan tabu ini di negara saya,” lanjutnya.
Kendati demikian, naiknya Giorgia Meloni ke kursi eksekutif dibuntuti rasa khawatir para ahli politik. Ini semua karena pendiriannya yang anti-imigrasi massal dan anti-LGBTQ serta dugaan bahwa Giorgia merupakan seorang fasis, ideologi yang dijunjung tinggi oleh diktator Italia Benito Mussolini pada masa Perang Dunia.
Namun, di luar citra tersebut, Giorgia telah memberikan “brand” terhadap dirinya sendiri sejak 2019 silam: “Saya adalah Giorgia, saya seorang perempuan, saya seorang ibu, saya orang Italia, saya pemeluk Kristen. Tidak akan ada yang bisa mengambil itu dari saya,” ucapnya kepada para pendukungnya di Roma, dikutip dari AFP.
Ladies, penasaran dengan sosok Giorgia Meloni lebih lanjut? Simak empat fakta mengenai Giorgia yang sudah kumparanWOMAN rangkum berikut ini, ya!
1. Ditinggal pergi ayahnya ketika masih kecil
Giorgia Meloni lahir di Roma pada 15 Januari 1977 silam, tepatnya di wilayah Garbatella. Garbatella merupakan lingkungan yang ditinggali oleh masyarakat kelas pekerja yang cenderung menjunjung tinggi ideologi politik sayap kiri—cenderung liberal dan menjunjung tinggi kesetaraan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ia merupakan anak dari pasangan Anna Paratore dan Francesco Meloni. Dilansir BBC, ketika Giorgia masih berusia satu tahun, ayahnya—seorang akuntan dengan ideologi sayap kiri—meninggalkan Giorgia dan ibunya. Menurut The Guardian, Francesco berlayar dan memutuskan untuk tinggal di Kepulauan Canary.
Perginya Francesco meninggalkan Anna, yang masih berusia 23 tahun, berjuang untuk menghidupi dua anak perempuannya, yaitu Giorgia dan kakaknya, Arianna. Ketika Giorgia beranjak remaja, ia pun ikut serta membantu sang ibu; mulai dari bekerja sebagai bartender hingga menjadi babysitter.
Kepergian ayahnya meninggalkan luka di hati Giorgia. Selama beberapa tahun sejak Francesco meninggalkan keluarganya, ia sempat berjumpa dengan Giorgia. Namun, pada usia 11 tahun, Giorgia memutuskan untuk berhenti menemui sang ayah. Dikutip dari BBC, absensi sang ayah ini menimbulkan spekulasi bahwa jalan politik yang Giorgia ambil—ideologi sayap kanan—termotivasi dari ketidakhadiran sang ayah, sebagai bentuk “pembalasan dendam” atas ideologi sayap kiri Francesco.
ADVERTISEMENT
Dalam buku autobiografinya, Giorgia menyebut bahwa absensi Francesco dari kehidupannya membuat ia terus berjuang untuk hidup sesuai dengan ekspektasi orang lain dan membuktikan dirinya sendiri kepada orang lain.
2. Politikus yang konservatif dan menjunjung tinggi ‘kenormalan’
Pada usia 15 tahun, tepatnya pada 1992, Giorgia remaja bergabung dengan Youth Front, anggota muda dari partai Italian Social Movement (MSI), partai neo-fasis sayap kanan yang dibentuk oleh para pendukung diktator Benito Mussolini. Berkat keanggotaan Giorgia di Youth Front, ia menyebut telah menemukan ‘keluarga kedua’.
Sejak muda, Giorgia sudah memegang ideologi yang konservatif, kendati Garbatella cenderung didominasi oleh para sayap kiri.
Tak lama sejak keanggotaannya di Youth Front, ia pun menjadi presiden dari cabang anggota muda National Alliance, partai penerus MSI yang berdiri pada 1995. Sang konservatif muda pun terus bergerak maju dalam arena politik Italia.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada 2013, partai Brothers of Italy (FdI) pun dibentuk. Giorgia didapuk sebagai pemimpin partai yang berakar dari MSI dan anggota-anggota lama MSI. Di tahun-tahun tersebut, partai FdI bukanlah partai besar yang populer. Namun, Giorgia mampu membawa partainya menuju puncak yang terbukti dari kemenangan di snap election tahun ini.
Pemeluk agama Kristen yang taat ini juga menjunjung tinggi kenormalan, dengan penolakan terhadap LGBT yang ia sebut sebagai “anti lobi LGBT”. Tak hanya itu, Giorgia juga menolak arus imigrasi massal masuk ke Italia, dan kerap berkampanye memperjuangkan pelindungan batas negara.
“Katakan ya untuk keluarga natural, tidak untuk lobi LGBT. Katakan ya untuk identitas seksual, tidak untuk ideologi gender. Katakan tidak untuk kekerasan Islamis, ya untuk pelindungan perbatasan, tidak untuk imigrasi massal,” tegas Giorgia dalam pidatonya kepada partai sayap kanan Spanyol, Vox, pada awal tahun ini, dikutip dari BBC.
ADVERTISEMENT
3. Mengaku bukan seorang feminis
Dilansir The Telegraph, para perempuan Italia mengungkapkan kekhawatiran mereka jika Giorgia resmi menjadi perdana menteri. Dengan pandangan Giorgia yang konservatif soal keluarga tradisional, mereka khawatir sang calon PM akan membatasi hak-hak aborsi—hak yang sudah dilegalkan di Italia sejak 1978 silam.
Giorgia telah berjanji untuk tidak mengganggu gugat Undang-undang Aborsi Italia, tetapi aktivis HAM mengkhawatirkan salah satu ucapan Giorgia yang berbunyi: “[Saya] ingin memberikan kepada perempuan, yang berpikir bahwa aborsi adalah satu-satunya pilihan mereka, hak untuk mengambil pilihan lain.”
Dalam kata lain, Giorgia ingin perempuan yang mempertimbangkan aborsi untuk memikirkan opsi lain di luar pertimbangannya tersebut.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya bukan seorang feminis. Dilansir The Guardian, ia percaya bahwa peran publik di masyarakat harusnya dicapai lewat usaha dan kemampuan, bukan gender.
ADVERTISEMENT
4. Menyanggah dugaan dirinya seorang fasis
Perempuan berusia 45 tahun ini berulang kali menyanggah bahwa dirinya adalah seorang fasis. Dugaan ini muncul akibat ideologi konservatif yang ia peluk sejak muda, serta keanggotaannya di Partai MSI, National Alliance, hingga saat ini, Brothers of Italy (FdI). Sudah menjadi rahasia umum bahwa FdI memiliki akar neo-fasis yang berasal dari MSI.
Dikutip dari kumparanNEWS, ketika masih berusia 19 tahun, Giorgia pernah berkampanye untuk National Alliance sembari memuji mendiang diktator fasis Benito Mussolini sebagai “politikus baik yang melakukan segalanya untuk Italia.”
Namun, setelah Giorgia terpilih sebagai anggota parlemen Italia untuk partai National Alliance pada 2006, ia mengubah pandangannya soal Mussolini. Ia pun mengungkapkan ketidaksetujuan atas Undang-undang yang rasis, kepemimpinan otoriter, serta persekutuan Mussolini dengan Adolf Hitler dari Partai Nazi Jerman.
ADVERTISEMENT
Ia pun menegaskan, partai FdI sama sekali tidak bernostalgia dengan fasisme di masa lalu. Kendati demikian, partainya masih menggunakan logo yang sama dengan logo Partai MSI yang neo-fasis, yakni kobaran api dengan warna bendera Italia di baliknya: Hijau, putih, dan merah.