Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Alasan Masih Kurangnya Perempuan di Politik Menurut Anggota DPR Puteri Komarudin
7 Februari 2024 19:46 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, representasi perempuan dalam politik di Indonesia dianggap masih kurang. Bahkan, dikutip dari situs resmi DPR RI, dalam periode 2021–2024, representasi perempuan di kursi DPR hanya sebesar 21 persen. Ini artinya, hanya sekitar 120 perempuan yang jadi anggota DPR RI dari total 575 anggota yang dilantik.
Kurangnya representasi perempuan di politik juga diakui oleh anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin. Kendati demikian, anggota DPR Fraksi Partai Golkar ini mengakui bahwa tren keterwakilan perempuan di parlemen cenderung meningkat.
“Dari tahun 1999, itu hanya 9 persen (representasi perempuan). Habis itu meningkat sampai dengan 17 persen di 2014, sekarang kita ada di level 20 persen di Pemilu 2019 kemarin. Harapannya tentu sekarang kita bisa meningkat, ya. Kalau bisa, sih, 25 sampai 30 persen, sesuai dengan UU di afirmasi pemilu kita,” ucap Puteri dalam program spesial kumparanWOMAN, Ladies Talk.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi alasan di balik rendahnya representasi perempuan ini? Puteri menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan yang menjadi tantangan bagi para politisi perempuan di Indonesia. Apa saja?
1. Budaya patriarki yang kuat
Puteri mengatakan, satu rintangan besar bagi para perempuan yang terjun di dunia politik adalah budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Patriarki merupakan sistem dalam masyarakat yang cenderung berpusat pada laki-laki dan mengesampingkan perempuan. Akibat dari budaya ini, masih banyak orang yang menganggap remeh perempuan sebagai politisi.
“Kultur kita yang masih patriarki ini kadang-kadang melihat posisi bahwa perempuan tidak mampu untuk menjadi seorang pemutus kebijakan, misalnya jadi politisi, anggota dewan, kepala daerah. Akhirnya, hal-hal seperti ini yang menghambat pertumbuhan politisi dan representasi perempuan di politik,” jelas anak dari politisi senior Ade Komarudin ini.
Selain dianggap tidak mampu menjadi pemimpin, Puteri mengatakan, perempuan juga sering kali dilihat sebagai “nomor dua”.
ADVERTISEMENT
“Kultur patriarki melihat anggota legislatif perempuan seperti aku ini sebagai yang nomor dua misalnya, karena kualitas laki-laki selalu dianggap lebih daripada perempuan, pengetahuannya katanya lebih banyak, begitu,” kata Puteri.
2. Terhambat pendanaan yang besar
Alasan lainnya dari kurangnya representasi perempuan di politik adalah pendanaan yang besar. Puteri mengatakan, seorang calon anggota legislatif sering kali harus mengeluarkan banyak uang, terlebih untuk kampanye.
“Karena kita tahu, yang namanya politik itu membutuhkan biaya. Biaya transportasi misalnya. Aku sebagai seorang caleg, untuk ke daerah pemilihan aku, kan, pasti harus ditanggung oleh aku pribadi,” ungkapnya.
Tak hanya dana transportasi, Puteri juga harus mengeluarkan dana untuk berbagai kegiatan kampanye lainnya, mulai dari makanan hingga suvenir.
“Terus misalnya kalau kita mengumpulkan masyarakat, minimal harus ada makanan. Belum lagi kalau misalnya ada suvenir, kerudung, dan lain-lainnya, yang memang sudah menjadi bagian dari budaya politik kita.”
ADVERTISEMENT
3. Kurangnya jejaring (networking)
Terakhir, hambatan besar kehadiran perempuan di politik Indonesia adalah kurangnya jejaring alias networking. Puteri mengakui, banyak politisi perempuan yang menemui masalah dengan membangun jejaring. Menurut caleg DPR RI ini, masalah itu disebabkan oleh kurangnya partisipasi perempuan dalam organisasi.
“Biasanya, perempuan ini, karena belum dibiasakan untuk berorganisasi dari sejak sekolah, kita punya kekalahan yang sangat signifikan dalam hal jejaring dalam dunia politik—yang memang masih dominan laki-laki,” jelas Puteri.
Ia pun menegaskan, dunia politik masih dipenuhi oleh laki-laki adalah fakta yang saat ini terjadi. Namun, bukan berarti perempuan harus diam saja dan tidak membuat perubahan di lanskap politik Indonesia.
“Kita tidak boleh menafikan bahwa memang isi dari organisasi politik, bisa dibilang 75–80 persennya itu masih laki-laki. Sekarang, sudah ada afirmasi untuk perempuan di parpol wajib 30 persen diisi oleh perempuan dalam kepengurusan,” tutupnya.
ADVERTISEMENT