IFI Peringati 16 HAKtP dengan Gelar Mini Festival dan Diskusi Femisida

10 Desember 2024 8:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gelaran IFI Mini Festival untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Foto: kumparan/Hutri Dirga
zoom-in-whitePerbesar
Gelaran IFI Mini Festival untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Foto: kumparan/Hutri Dirga
ADVERTISEMENT
Kedutaan Besar Prancis di Indonesia melalui Institut Francais Indonesie (IFI) turut memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) lewat gelaran mini festival. Diselenggarakan di IFI Thamrin, Jakarta pada Minggu (8/12), mini festival ini menyuguhkan rangkaian acara seru berkolaborasi dengan Jakarta Feminist, Yayasan Pulih, Aliansi Laki-laki Baru, dan kumparanWOMAN.
ADVERTISEMENT
Lewat gelaran festival ini, IFI mengangkat kembali pesan Diplomasi Feminis Prancis, yaitu upaya untuk memastikan bahwa tujuan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki diintegrasikan ke dalam semua isu internasional. IFI Mini Festival bertujuan untuk menjangkau khalayak luas dan beragam terutama mereka yang belum memahami pentingnya isu terkait kekerasan berbasis gender.
Di acara tersebut, pengunjung yang hadir berkesempatan untuk mengikuti permainan interaktif dan sesi informatif bersama Jakarta Feminist dan Yayasan Pulih. Mereka juga dapat melakukan face painting dengan berbagai gambar yang lucu. Tak sampai di sana, pengunjung juga bisa menyaksikan pameran seni bertema perlawanan kekerasan terhadap perempuan.

Diskusi soal kekerasan pada perempuan & femisida

Diskusi soal isu kekerasan terhadap perempuan dan femisida di IFI Mini Festival. Foto: kumparan/Hutri Dirga
IFI Mini Festival kemudian ditutup dengan gelaran diskusi bertajuk “Berani Berbicara tentang Perlawanan Kekerasan terhadap Perempuan” bersama pembicara dari Yayasan Pulih, Danika Nurkalista, Jakarta Feminist, Ally, dan Aliansi Laki-laki Baru, Nur Hasyim. Sementara itu, Chief of kumparanWOMAN, Fitria Sofyani bertindak sebagai moderator di gelaran diskusi ini.
ADVERTISEMENT
Penasihat Kebudayaan dan Kerjasama di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta sekaligus Direktur IFI, Jules Irrmann membuka sesi diskusi tersebut dengan memaparkan betapa pentingnya kita untuk menghormati hak-hak perempuan.
“Perjuangan untuk menghormati hak-hak perempuan dan anak perempuan merupakan masalah yang terus menjadi fokus Prancis yang ditemukan di seluruh penjuru dunia. Kedutaan Besar Prancis melalui Institut Francais Indonesie berupaya untuk meningkatkan kesadaran sebanyak mungkin orang tentang isu kekerasan terhadap perempuan,” ujar Jules.
(ki-ka) Danika Nurkalista, Yayasan Pulih dan Nur Hasyim, Aliansi Laki-laki Baru. Foto: kumparan/Hutri Dirga
Menurut data SPHPN 2024, satu dari empat perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan baik fisik maupun seksual. Menurut Danika Nurkalista, kekerasan terhadap perempuan biasanya dimulai dari relasi intim yang toxic sehingga korban sulit keluar dari hubungan tersebut. Siklus honeymoon, pertengkaran, kemudian berbaikan akan terus berulang yang membuat hubungan menjadi rusak karena penuh dengan ancaman di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Pelaku (biasanya) pakai ancaman, siapa lagi yang mau sama kamu selain sama saya? (Dia) juga sudah pakai kata-kata merendahkan juga. Makanya kadang ada yang nanya, kenapa sih nggak putus aja, ya, karena siklus itu terus berulang,” tutur Danika.
Kekerasan di dalam hubungan juga seringnya bermanifestasi menjadi femisida alias pembunuhan terhadap perempuan karena seseorang itu adalah perempuan. Sayangnya, Ally dari Jakarta Feminist mengungkap bahwa hingga kini femisida masih belum diakui sebagai kejahatan di Indonesia.
Ally, desain grafis di Jakarta Feminist. Foto: kumparan/Hutri Dirga
“Femisida itu pembunuhan terhadap perempuan, tapi kalau secara umum di kepolisian femisida belum dianggap sebagai kejahatan khusus. Tapi femisida udah muncul di tahun 1970-an dan udah diakui sebagai bentuk kriminal khusus di Amerika Latin sekitar tahun 2000-an,” kata Ally.
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki yang mengakar di Indonesia ternyata juga menjadi salah satu faktor utama dari kekerasan terhadap perempuan. Menurut Nur Hasyim dari Aliansi Laki-laki Baru, patriarki menempatkan laki-laki pada posisi dominan atau kekuasaan yang membuat mereka kehilangan sisi manusiawi.
“Kekerasan laki-laki terhadap perempuan tidak hanya merendahkan martabat perempuan, tapi juga laki-laki itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa laki-laki harus mendapatkan kembali kemanusinnya dengan secara aktif terlibat dalam semua tindakan yang bertujuan untuk mengakhiri kekerasan laki-laki terhadap perempuan,” pungkas Hasyim.
Peringatan 16 HAKtP merupakan pengingat bagi kita semua bahwa perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan memerlukan tindakan kolektif secara global. Lewat mini festival ini, IFI ingin mendorong kesadaran, meningkatkan komitmen, dan memperkuat jaringan dengan para mitranya untuk terus berkolaborasi menciptakan perubahan.
ADVERTISEMENT