Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
KemenPPPA: Indonesia Masuk Top 3 Negara dengan Praktik Sunat Perempuan Terbanyak
3 Oktober 2024 9:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021 menyebutkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun menjadi korban sunat perempuan atau Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP).
ADVERTISEMENT
Temuan ini selaras dengan data UNICEF pada 2015, yang menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan.
Berdasarkan data tersebut, 49 persen anak perempuan di Indonesia, berusia 0-11 tahun, pernah menjalani prosedur sunat perempuan. Angka ini menempatkan Indonesia di urutan ketiga setelah Mali (73 persen) dan Mauritania (51 persen) serta Gambia (51 persen).
Temuan ini sangat memprihatinkan sebab sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan.
“Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan. Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktekkannya. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” ujar Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu saat berbicara pada pertemuan nasional bersama para pemangku kepentingan dari lintas sektor dengan tema “Memperkuat dan Membangun Strategi Lebih Lanjut dalam Pelaksanaan Implementasi Roadmap Pencegahan P2GP/FGM/C 2020 - 2030 di Indonesia” di Jakarta, Kamis (26/9).
ADVERTISEMENT
Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan saat perempuan masih berusia belia. Ini menyebabkan mereka tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka telah tumbuh dewasa. Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan.
Praktik sunat perempuan masih marak karena faktor budaya dan agama
Sayangnya praktik yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat. Titi Eko mengatakan banyaknya praktik sunat perempuan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya di tempat perempuan itu tinggal.
Dalam SPHPN 2021, tercatat ada tiga alasan terbanyak perempuan melakukan sunat diantaranya mengikuti perintah agama (68,1 persen), karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya (40,3 persen) dan alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan (40,3 persen).
ADVERTISEMENT
Namun upaya untuk mencegah praktik sunat perempuan pun menghadapi banyak tantangan. Di daerah yang masih banyak ditemukan praktik sunat perempuan seperti Gorontalo misalnya, belum ada masyarakat yang melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian. Kondisi ini membuat upaya penghapusan praktik sunat perempuan masih sulit dilaksanakan.
Meski begitu, keluhan terhadap kondisi biologis perempuan yang telah disunat seperti seksualitasnya menurun dirasakan oleh perempuan di lokasi tersebut. Hasil survei tentang pengetahuan masyarakat Gorontalo terkait aturan yang melarang praktik P2GP menunjukkan 57,9 persen masyarakat tidak mengetahui adanya larangan tersebut.
Berdasarkan data UNICEF, sunat perempuan mengacu pada semua prosedur yang melibatkan penghilangan sebagian atau seluruh alat kelamin luar perempuan atau cedera lain pada organ genital perempuan untuk alasan non-medis. Secara global, sunat perempuan termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia anak perempuan dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pemerintah telah resmi menghapus praktik sunat pada perempuan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo pada Jumat (26/7).
Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa kebijakan penghapusan praktik sunat pada perempuan merupakan upaya mendukung ketahanan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah.
"Menghapus praktik sunat perempuan," demikian bunyi Pasal 102 huruf a.
Tak hanya menghapus sunat perempuan, dalam beleid ini pemerintah juga berkomitmen untuk mengedukasi balita dan anak prasekolah agar mengetahui organ reproduksinya, mengedukasi mengenai perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan, mengedukasi untuk menolak sentuhan terhadap organ reproduksi dan bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh, mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat pada organ reproduksi dan memberikan pelayanan klinis medis pada kondisi tertentu.
ADVERTISEMENT