Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Kisah Eka & Perjuangannya Atasi Hebatnya Rasa Sakit karena Endometriosis
21 Maret 2023 21:29 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Endometriosis adalah kondisi ketika endometrium—selaput yang melapisi dinding rahim, tempat menempel sel telur—tak bisa luruh saat menstruasi dan tumbuh di luar dinding rahim. Ini tentunya menyebabkan nyeri.
Eka didiagnosis endometriosis pada 2021. Perempuan yang bekerja sebagai fotografer lepas tersebut tak ingat persis kapan persisnya nyeri hebat di perutnya pertama kali muncul. Yang jelas, itu terjadi sebelum Hari Raya Idul Fitri pada tahun itu.
Menurut Eka, sebelumnya ia memang kerap merasakan sakit saat menstruasi. Hanya saja, nyeri yang dirasakannya itu masih bisa ditoleransi.
“Ini rasa sakit yang enggak biasa, di bagian perut bawah, kayak orang sakit mens. Betul-betul sakit. Sakitnya kayak melilit, kayak diputar-putar, perut lo diperas gitu. Itu sampai guling-guling gitu,” tutur Eka kepada kumparanWOMAN.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Eka dilarikan ke rumah sakit. Saking sakitnya, ia tak lagi bisa mengukur seberapa hebat nyeri yang dirasakan.
Setelah menjalani prosedur medis USG (ultrasonografi), diketahuilah bahwa Eka mengidap endometriosis. Ada jaringan tak normal tumbuh di ovarium bagian kiri dan kanan.
“Waktu itu, ukurannya 6,5 cm yang kiri, 3,5 cm yang kanan. Dokter bilang, ‘Kita usahakan supaya ini enggak tambah besar aja,’” ucap Eka.
Dokter lalu memberinya Visanne. Obat ini mengandung hormon progestogen dienogest dan digunakan untuk pengobatan gejala nyeri pada lesi endometrium.
Ya, hingga saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan atau menuntaskan endometriosis. Obat-obatan yang ada hanya bertujuan mengurangi efek nyeri dari endometriosis.
Dikatakan Eka, Visanne juga bisa membuatnya mengalami menopause dini. Harapannya, ia tak lagi menstruasi sehingga endometriosis yang diidapnya tidak menjadi semakin parah.
ADVERTISEMENT
Mengonsumsi Visanne ternyata berpengaruh terhadap psikis Eka. Perasaan hati atau mood-nya naik turun secara tak menentu.
“Pertama kali dalam seumur hidup gue punya suicidal thoughts itu ketika gue minum obat itu. Gue orang yang sangat positif dan baru kali itu, ‘Gue mati aja kali, ya?’ Mood naik turun, gue merasakan sakit, kepala gue enggak bisa berpikir jernih,” tuturnya.
Akhirnya, Eka menyetop konsumsi Visanne. Ia juga sempat diberi opioid untuk mengatasi nyeri, namun obat tersebut tak cocok dengan tubuhnya sehingga Eka berhenti mengonsumsinya.
Belajar hidup dengan rasa sakit
Istilah endometriosis memang tak asing bagi Eka. Namun, ia baru benar-benar tahu betapa menyakitkannya penyakit tersebut ketika mengalaminya.
Jika biasanya perempuan mengalami nyeri hanya menjelang dan selama menstruasi, Eka merasakan sakit hampir setiap hari. Ia menjelaskan, rasa sakit yang dirasakan itu seperti perutnya ditusuk dan dipelintir.
ADVERTISEMENT
Nyeri itu pun menjadi sangat mengganggu aktivitasnya, bahkan juga membuatnya sulit tidur. Setiap bulannya sejak didiagnosis endometriosis, hanya sekitar 10 hari ia tidak merasakan nyeri.
Karena tak mengonsumsi Visanne maupun opioid, Eka memilih menenggak paracetamol meski itu tak banyak mengurangi nyeri yang dirasakannya. Akibatnya, sering kali, ia tak kuasa menahan sakit.
Eka pun berusaha mencari second opinion dari beberapa dokter lain. Sebab, sesungguhnya ada opsi operasi untuk mengatasi endometriosis yang diidapnya.
Opini dari beberapa dokter yang sempat Eka temui nyatanya tak cukup memuaskan. Salah satu dokter menolak opsi operasi dan memintanya hidup dengan rasa sakit.
“Obgyn itu bilang, ‘Sudahlah, operasi enggak akan ada gunanya, nanti juga kamu kena lagi. Kamu belajar aja hidup dengan manage rasa sakit, you live with the pain.’ Aku syok. Nalarku enggak bisa terima. Itu sangat traumatis,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang semakin mengecilkan hati Eka. Beberapa dokter seolah menyalahkan Eka yang belum menikah dan punya anak.
“Setiap gue ke obgyn, ini yang paling tidak menyenangkan, obgyn bilang, ‘Kamu sudah menikah?’ ‘Belum.’ ‘Oh, pantas. Kalau kamu hamil, beres ini urusannya.’ Imagine, kita dalam posisi di mana kita sakit, terus dokter yang kita harapkan bisa kasih jawaban bilangnya begitu,” beber Eka sambil tak kuasa menahan air mata.
“Derita banget gue jadinya. Kayak, ‘Itu salah lo. Lo sudah 40 [tahun], lo enggak married, lo enggak punya anak, ya, sudah, itu nasib lo sudah, kena endometriosis.’ Seakan-akan gue dibilang kayak gitu,” tambahnya.
Eka juga mengisahkan, saat ke dokter untuk berkonsultasi terkait penyakitnya, ia sangat sering diminta untuk periksa darah dan sel telur untuk mengetahui apakah dirinya masih bisa hamil.
ADVERTISEMENT
Tak kunjung mendapat cara untuk terbebas dari rasa nyeri akibat endometriosis, Eka memilih untuk menangis histeris hingga lelah tiap kali dirinya kesakitan. Lama-kelamaan, ia kerap menangis tanpa alasan jelas dan itu mulai sangat mengganggu mentalnya. Eka sampai mendatangi psikiater karena kondisi tersebut.
“Badan gue sakit karena kena ke saraf. Sarafnya itu dari pantat belakang, lower back, sampai ke ujung kaki. Kayak badan itu sakit semua,” ujarnya.
Pada November 2022, nyeri yang dirasakannya kian parah. Perutnya sangat sakit ketika disentuh. Eka pun sampai sering menangis kesakitan saat tengah berkegiatan di tempat umum.
Akhirnya, Eka fokus mencari dokter yang mau melakukan prosedur operasi. Ia tahu, meski dioperasi, endometriosis masih bisa kembali menyerangnya. Namun, baginya, itu adalah pilihan yang jauh lebih baik dibanding harus hampir setiap hari bergelut dengan rasa sakit yang teramat.
ADVERTISEMENT
Usahanya membuahkan hasil yang didambakan. Eka kemudian bertemu dokter yang bersedia melakukan bedah laparoskopi terhadapnya. Saat itu, jaringan tak normal akibat endometriosis dalam tubuhnya sudah berukuran 13,5 cm dan sekitar 6 cm.
“Setelah USG, dokternya tanya, ‘Kamu enggak mau operasi? Kamu tahu, ini gede banget? ‘Dokter, saya ke sini karena saya cari orang yang mau operasi saya.’ ‘Kamu harus operasi. Lihat, ukurannya sudah kayak gini, kamu bisa jalan?’” ucap Eka sambil menangis haru.
Eka kemudian menjalani laparoskopi pada 13 Januari 2023 lalu. Setelah dioperasi, ia benar-benar terbebas dari rasa sakit.
“Gue merasa hidup kembali, seperti dapat kesempatan kedua. Enggak sakit. Gue bisa tidur, bisa kerja, bisa jalan, bisa buang air dengan enak. That’s what I’ve been dreaming of gitu. Totally pain free,” ungkapnya.
Apa sebenarnya yang menyebabkan Eka mengidap endometriosis?
Eka mengaku selama ini menjalani pola hidup yang cukup sehat. Alhasil, tak diketahui secara pasti apa yang menyebabkan ia mengidap endometriosis.
ADVERTISEMENT
Dokter pun tak paham betul. Hanya saja, dokter menduga endometriosis terjadi akibat dampak dari miom yang pernah diidap Eka.
Ya, pada 2013 lalu, Eka didiagnosis mengidap miom. Ia kemudian menjalani operasi untuk mengatasi benjolan di rahim tersebut.
“Dokter bilang, ada kemungkinan, pascaoperasi pertama, endometrium gue itu melengket dan membentuk yang namanya kista cokelat. Dokter juga bilang, operasi itu semua ada risikonya yang mungkin ketahuannya belakangan,” beber Eka.
Pesan Eka untuk para perempuan, khususnya pejuang endometriosis
Eka menyadari pentingnya kesadaran akan endometriosis bagi para perempuan. Terlebih, menurutnya, mereka yang tak mengalami nyeri haid pun bisa saja mengidap endometriosis.
“Endometriosis hanya bisa terdeteksi dari USG. Jangan anggap sakit mens itu biasa, belajar mendengarkan diri sendiri, apalagi kalau sakitnya sudah mengganggu. Perempuan harus tahu bahwa ada yang salah dalam dirinya dan orang-orang di sekitar harus mendukung, harus percaya bahwa sakitnya itu nyata,” beber Eka.
ADVERTISEMENT
Ia menekankan agar siapa pun, perempuan dan laki-laki, tak meremehkan nyeri saat menstruasi, apalagi sakit karena adanya kondisi tak normal seperti endometriosis.
Pengalaman Eka, ia kerap tak mengaku saat tengah merasakan sakit karena itu bisa mengurangi penilaian orang lain terhadap performanya dalam bekerja. Pada akhirnya, ia merasa seperti frustrasi dan kesepian.
“Gue berharap, setiap pejuang endometriosis enggak ngerasa ini. Kalian enggak sendiri, rasa sakit itu nyata, berapa pun levelnya. Cari pertolongan segera. Kalau enggak dalam kondisi finansial mampu, cari pertolongan medis, cari support grup yang banyak di internet,” lanjutnya.
Di samping itu, Eka merasa endometriosis menjadi bahasan yang penting untuk lebih banyak dibicarakan.
“Gue berpikir, ini kenapa enggak banyak dibicarakan, ya? Ketika kita sakit mens, kita anggap mens itu, ya, sudah, sakit. Bahkan sebelum dokter menyuruh gue live with the pain, we already live with the pain as women gitu. Seakan-akan itu takdir,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
“Ada banyak masalah perempuan yang dianggapnya, ‘Ya, sudah, itu urusan perempuan.’ Kenapa? Seharusnya, karena ini urusan perempuan yang makin lama makin banyak orangnya, bukannya itu jadi prioritas untuk dibicarakan? Setidaknya, kalau memang belum ditemukan obatnya, apa opsinya? Jangan seakan-akan opsinya enggak ada,” pungkas Eka.