Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Ratri Suksma 17 Tahun Hidup dengan HIV, Tak Pernah Galau & Giat Berkarier
7 Desember 2023 9:22 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Marah dan kesal. Ini yang dirasakan oleh Ratri Suksma , seorang ibu satu anak, pada 2006, saat mengetahui dirinya positif HIV (human immunodeficiency virus).
ADVERTISEMENT
Kala itu, Ratri bukan marah atas kenyataan bahwa tubuhnya telah terinfeksi HIV. Ia jengkel tatkala dibohongi oleh mantan suami.
Ya, Ratri positif HIV lantaran tertular dari sang mantan suami, yang adalah pengguna napza suntik. Sebelum menikah, ia sempat mengajak laki-laki itu untuk menjalani tes HIV. Namun, ditolak dengan alasan sudah pernah dan hasilnya negatif.
“Rasanya waktu itu kepercayaan saya dikhianati gitu. Aku lebih ke marah. Marahnya bukan karena tertularnya, ya, tapi karena dia (mantan suami) tidak jujur. Belakangan, baru saya tahu, dia sebetulnya belum pernah tes,” ungkap Ratri kepada kumparanWOMAN saat berbincang dalam program Ladies Talk.
Memulai Hidup Baru, Mengalahkan Stigma dari Diri Sendiri
Setelah didiagnosis positif HIV, Ratri Suksma seperti memulai hidup baru. Banyak yang harus ia lakukan; mempelajari lebih banyak tentang HIV, memberi pemahaman kepada keluarga dan teman-teman terdekat tentang kondisinya, hingga menjalani pengobatan.
ADVERTISEMENT
Ia juga menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan terbesar, menurutnya, datang dari diri sendiri dan ini juga dialami oleh banyak orang lain yang hidup dengan HIV maupun AIDS (acquired immunodeficiency syndrome).
“Tantangan terbesar adalah menalukkan diri sendiri karena yang paling besar itu bukan stigma dari orang lain, [tapi] sebenarnya stigma dari diri sendiri. Belum apa-apa sudah bilang, ‘Ah, orang enggak akan terima. Orang enggak akan mau temenan sama saya. Saya pasti enggak ada yang mau, enggak akan bisa nikah.’ Padahal, belum tentu begitu,” tuturnya.
Ketika perlahan mampu menerima kondisi diri, Ratri dihadapkan kepada tantangan besar lainnya. Ia kemudian berusaha lebih keras untuk dapat percaya bahwa lingkungan sekitar juga bisa menerimanya dengan baik dan punya empati.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Ratri bersyukur, konselornya mampu memberi pemahaman terkait HIV dengan baik. Ditambah lagi, keluarga menerima kondisinya dengan terbuka.
“Saya juga dapat konselornya bagus, caranya menjelaskan itu sangat sederhana, kemudian tidak menakut-nakuti. Jadi, saya enggak merasa khawatir, tidak terpikir bahwa hidup saya selesai, enggak ada sama sekali. Bisa dibilang, hampir tidak ada waktu di mana saya merasa galau,” ujarnya.
Ratri juga mengakui, yang selalu memenuhi benaknya adalah bagaimana ia bisa tetap sehat demi putri semata wayang—yang tak ikut tertular. Alhasil, usai mengetahui dirinya positif HIV, tak ada waktu untuknya berlama-lama terpuruk.
“Anak adalah nomor satu yang jadi penguat. Dulu, di awal, kalau misalnya saya enggak punya anak, mungkin kejadiannya akan berbeda. Tapi, karena saya punya satu anak yang harus saya besarkan, mau enggak mau saya bilang ke diri sendiri, ‘Ayo, Ratri, kamu harus sehat dan produktif karena anak kamu ini masih butuh kamu,’” beber Ratri.
ADVERTISEMENT
Beri Pengertian ke Anak Turut Jadi Tantangan Berat
Sejak mengetahui dirinya terinfeksi HIV, Ratri Suksma dilanda bimbang terkait bagaimana ia akan memberi tahu sang anak mengenai kondisinya. Baginya, perkara ini turut menjadi salah satu tantangan berat.
“Ada sekian banyak skenario di dalam kepala, ‘Reaksi dia akan seperti apa? Nangiskah? Marahkah? Kaburkah?’ Namanya emak-emak, segala macam dipikirin,” ucap Ratri.
Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menunda memberi tahu sampai usia sang anak menginjak 17 tahun. Tanpa disangka, putrinya justru mengetahui sendiri kondisi Ratri secara tak sengaja.
Bersama teman-temannya, sang anak iseng-iseng mencari nama orang tua mereka di Google. Saat itulah, muncul artikel-artikel tentang HIV yang memuat nama Ratri.
“Dia (anak) waktu itu marah sama saya. Bukan marah karena apa-apa, dia bilang, ‘Aku itu anaknya Bunda. Kenapa, kok, aku tidak dipercaya untuk meng-handle informasi ini?’ Aku minta maaf. Akhirnya aku cerita semuanya,” kata Ratri.
ADVERTISEMENT
Sedari itu, Ratri selalu terbuka kepada sang anak mengenai kondisinya. Ia juga terus berbagi pengetahuan hingga putrinya punya cukup pemahaman sekaligus bekal untuk menjaga diri dari HIV.
Masih terkait anak, Ratri sempat punya kekhawatiran lain. Ia cemas kalau-kalau sang buah hati ikut mendapat stigma karena punya ibu yang hidup dengan HIV.
“Karena banyak cerita yang masuk ke saya: anaknya enggak positif, orang tuanya positif, nah, anaknya itu dikeluarin dari sekolah, di-bully di sekolah. Saya enggak mau. Tapi, akhirnya, dalam waktu sekitar dua tahun, saya bisa menerima bahwa orang bisa, kok, menerima kalau kita dari awal jujur,” papar Ratri.
Nyatanya, yang ia khawatirkan tak terjadi. Sang anak justru diberi perhatian dan proteksi oleh lingkungan sekitar yang mengetahui Ratri hidup dengan HIV.
ADVERTISEMENT
Positif Jalani Hidup dan Karier
Ratri Suksma menjadi salah satu inisiator sekaligus anggota IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia). Di samping itu, sejak 2015, ia menjabat sebagai Senior Communications Officer & Gender Focal Point di Solidaridad Indonesia.
“Aku pegang komunikasi dan gender. Lembaganya sebenarnya lebih berfokus ke pemberdayaan petani. Tapi, mereka juga sangat paham tentang isu diversity dan inclusivity, jadi mereka sendiri punya aturan secara global itu enggak boleh ada diskriminasi terhadap ras, agama, suku, termasuk kondisi kesehatan seseorang,” tutur Ratri.
Sebelumnya, ia sempat menjadi PR di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat. Ratri pernah pula bekerja di LSM di Bandung, lalu di LSM di Malaysia, juga menjadi freelance consultant saat kembali ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menyoal karier, Ratri juga punya tantangan tersendiri. Kadang kala, ia merasa kemampuannya dipandang sebelah mata karena dirinya hidup dengan HIV.
“Misalnya, ‘Dia, kan, HIV. Jangan dikasih kerjaan yang berat-beratlah.’ Kerjaan saya keluar-masuk hutan dan perkebunan untuk motret dan wawancara, itu medannya enggak gampang. Itu ada aja, ‘Kamu jangan kecapekan.’ Sebetulnya mereka men-support banget, menerima, tapi di satu sisi seolah-olah ada diskriminasi sedikit karena tahu status aku,” ungkapnya.
Ya, Ratri sesungguhnya paham, orang lain mungkin hanya ingin menaruh perhatian lebih untuknya. Namun, hal-hal semacam itu justru membuatnya merasa kurang dipercaya bahwa ia bisa beraktivitas seperti orang-orang yang tak hidup dengan HIV.
Ratri berharap, dirinya dan orang-orang lain yang hidup dengan HIV tak dianggap berbeda. Toh, ia selalu berusaha membuktikan bahwa dirinya bisa melakukan pekerjaan dan kesibukannya dengan baik.
Kini, sebagai perempuan yang 17 tahun terakhir hidup dengan HIV, ia sudah jauh lebih santai untuk menyikapi segala sesuatu. Ratri juga tak henti berusaha memberi edukasi kepada orang banyak bahwa HIV adalah virus yang tak semudah itu ditularkan.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah bisa dengan santainya bercanda soal HIV. Misalnya, di kantor ada satu orang sering banget sakit, gampang sakit, kehujanan dikit sakit. ‘Perasaan yang HIV gue, deh. Tapi, lo yang sakit-sakit, pusing. Tes [HIV], gih.’ Aku sudah senyaman itu, secuek itu,” ujarnya.
Prinsip Ratri, ia hanya perlu untuk selalu memberikan energi positif bagi sekitar. Itulah kunci agar dirinya optimistis dan dapat diterima dengan baik oleh sekitar.