Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di masa pandemi ini masker menjadi kebutuhan sehari-hari. Di hadapan tren mode, masker bisa menjadi fashion statement dalam berpenampilan. Bagaimana bisnis fashion beradaptasi di masa pandemi?
Diah Kusumawardhani tak puas dengan masker kain yang dibelinya. “Bahannya bagus, tapi karena lumayan tebal, malah bikin gue sesak napas karena jalur udaranya sedikit,” ucap pendiri Kusuma Craft itu.
Tak hanya mempermasalahkan bahan kain yang digunakan, cara penggunaan dengan dua kali mengikat tali pun menurutnya kurang praktis. "Gue pribadi butuh stock masker untuk harian, walaupun cuma buat ke pasar tiap minggu," tutur Diah.
Masker, menurut Diah, kini telah menjadi kebutuhan sehari-hari yang tidak boleh dilewatkan. Meski di awal pandemi Menteri Kesehatan Terawan sempat mengkritik orang sehat pengguna masker sebagai biang langkanya masker, kini masker diwajibkan oleh WHO. Penggunaan masker dipercaya sebagai upaya mencegah tertular atau menularkan virus baru corona penyebab COVID-19.
Kebutuhan akan masker kain meningkat seiring aktivitas di luar ruangan yang harus terus berjalan. “Kalau gue, dua potong masker kain aja udah cukup. Tapi buat suami gue yang udah mulai kerja dari bulan lalu, butuh lebih dari 3 potong karena biar aman siklus cucinya setelah dipakai sehari sekali.”
Tak puas dengan masker yang dibelinya, Diah akhirnya memproduksi sendiri kebutuhan masker kain untuknya. Melalui usaha fashion dan kerajinan tekstil bernama Kusuma Craft yang ia rintis sejak 2015, Diah merancang sendiri masker kainnya.
“Gue gemes liat produsen atau penjual masker non-medis yang ada di pasaran yang bikin masker asal kejual gitu,” ucapnya. Menurut Diah, banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika memproduksi masker kain demi menghadapi pandemi ini.
“Bahannya gimana, ketahanannya gimana, breathable apa enggak, reusable apa enggak. Padahal WHO udah ngasih anjuran spek masker buat non-medis sejak awal pandemi,” imbuhnya.
Masker yang diproduksi dalam skala kecil tersebut pun dirancang mengikuti kaidah WHO, yakni berbahan katun 3 lapis serta dapat dicuci sehingga dapat digunakan berulang kali. Pemilihan kain katun, menurut Diah, karena karakter serat kain katun yang rapat namun ringan dapat membuat pemakainya tetap leluasa untuk bernafas.
Dalam memproduksi masker tersebut Diah tak seorang diri. "Kebetulan temen gue ini seorang stylist yang kebetulan berhijab, namanya Tiza. Jadi kita produksi masker yang modelnya hijab-friendly dan nyaman." Oleh karenanya masker yang dibuat memilih model satu agar lebih praktis digunakan.
Masker Kusuma diproduksi secara manual dengan pewarna tekstil alami yang memanfaatkan sisa limbah dapur dan menggunakan teknik pewarnaan shibori sehingga corak kainnya menjadi unik. Penggunaan pewarna tekstil alami memang telah menjadi ciri khas Kusuma Craft. “Gue mau make sure udara yang dihirup pemakai tidak mengandung partikel chemicals berbahaya,” ucap Diah.
Tak hanya soal bahan dan model, keunikan corak masker kini menjadi salah satu pertimbangan konsumen dalam membeli masker kain. “Kondisi COVID-19 sangat mengubah bagaimana semua orang lives their life, jadi saya pun tidak akan kaget kalau masker menjadi bagian tak terpisah di fashion ,” ujar Regina Rafika, pendiri ATS The Label.
“Sekarang masks is part of one’s outfit. Ibaratnya masker sekarang sudah seperti menjadi must have accessory, it will be fun to see how everyone style their mask to their outfit,” imbuhnya.
Brand miliknya pun kemudian turut meramaikan persaingan dengan memanfaatkan kain sisa produksi untuk memproduksi masker. "Karena biasanya (masker kain) standarnya warna putih atau hijau polos saja jadi kami berinisiatif memberikan opsi warna dan pattern yang ceria dari bahan sisa kain kita yang di upcycle,” tutunya.
Ini merupakan strategi yang ATS The Label lakukan agar dapat berproduksi secara efisien dan mengurangi limbah kain. Sebuah cara yang dilakukan oleh banyak label fashion untuk memanfaatkan kain sisa sekaligus terus bertahan di tengah pandemi.
Aneka ragam corak dan warna masker yang semakin beragam kini memudahkan siapa saja untuk padu padan outfit dengan warna masker yang dimiliki. Banyaknya model masker kain yang kian beragam ini dinilai mampu mendorong mereka yang semula malas menggunakan masker untuk mau menggunakan masker dalam kegiatan sehari-hari. Masker yang dibuat pun tak hanya memperhatikan kenyaman tapi juga desain yang membuat si pengguna lebih percaya diri.
“(Masker) sudah menjadi part of fashion karena it has become part of one’s look, and this is very positive karena seperti fashion for a change.”
Penggunaan ulang kain sisa produksi ini juga dilakukan oleh brand Sejauh Mata Memandang milik Chitra Subyakto. Produk masker ia keluarkan sejak Jakarta didapuk sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi. Chitra saat itu mengeluarkan koleksi bertajuk Daur yang mengolah kain sisa produksi menjadi masker.
"Di Sejauh Mata Memandang kita ngejalanin circular fashion. Supaya kain sisa produksi tidak terbuang begitu saja dan menjadi sampah, karena sampah tekstil itu kan banyak juga. Terutama sampah tekstil yang mengandung polyester,” paparnya saat dihubungi kumparan, Kamis (11/5).
Konsep slow fashion yang dianutnya menjadi sedikit upata perlawanan terhadap fast fashion. Fast fashion merupakan produksi pakaian siap pakai dengan harga murah. Demi memenuhi tren pakaian yang cepat berganti membuat industri mode menghasilkan banyak limbah dan polusi udara, bahkan menghasilkan emisi gas lebih tinggi jika dibandingkan dengan industri pelayaran dan penerbangan.
Berdasarkan riset yang dilakukan Boston Consulting Group, pada 2015 saja, industri mode menghabiskan 79 miliar meter kubik air, melepaskan 1,715 juta ton CO2, dan memproduksi 92 juta ton sampah
Lebih lanjut Chitra mengatakan dengan adanya pandemi COVID-19 kebutuhan akan masker jelas meningkat sehingga memberi ancaman tersendiri bagi pencemaran lingkungan. Masker sekali pakai atau masker yang dibuat sembarang lalu dibuang bisa menjadi persoalan sampah kemudian hari.
Oleh karena itu idealnya produksi masker kain tidak turut menjadi penyumbang limbah baru. "Untuk yang tidak sakit dapat memakai masker kain yang lebih ramah lingkungan yang tidak sekali pakai dibuang, jadi bisa dicuci. Karena sekarang kalau dilihat sampah masker sekali pakai itu banyak banget."
Memang selama pandemi COVID-19, limbah masker medis dan benda penyerta seperti sarung tangan plastik sekali pakai menjadi ancaman bagi lingkungan. Misalnya saja limbah masker sekali pakai yang begitu mudahnya ditemui di sembarang tempat, di jalanan, di sungai, bahkan sampai ke laut dalam kondisi utuh.
Dikutip dari Guardian , di pantai-pantai Hong Kong, tepatnya di Kepulauan Soko, di sepanjang garis pantai yang membentang sekitar 100 meter ditemukan 70 masker berserakan. Padahal kepulauan tersebut tak berpenghuni. Menurut catatan, setelah COVID-19 melanda China, terjadi penambahan limbah medis dari 4.902,8 ton menjadi 6.066 ton per hari. Hal yang sama bisa saja terjadi di Indonesia seiring dengan bertambahnya kasus positif COVID -19.
Chitra memaknai kondisi saat ini untuk dijadikan refleksi bagi setiap orang untuk lebih peduli terhadap lingkungannya. "Kita harus beradaptasi dengan the next normal, di mana setiap orang, setiap brand, harus peduli terhadap lingkungan. Dan sebenarnya pandemi ini sebagai challenge, juga kesempatan bagi setiap individu dan perusahan agar lebih baik, berusaha dan berproduksi lebih baik."
Masker kain kemudian tak hanya menjaga kita dari penularan virus. Bagi bisnis fashion, ia juga menjaga produksi terus berjalan dan tentu lebih ramah lingkungan. “Banyak brand yang untuk survive, yang sebelumnya belum bikin masker saat ini shifting ke masker. Itu sebenarnya buat survival juga, supaya pekerjanya bisa berjalan dan ada pendapatan.”
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.