Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Role Model: Kamila Andini Bicara soal Perempuan, Kesetaraan, hingga Peran Ganda
8 Maret 2023 19:57 WIB
·
waktu baca 9 menitMendengar nama Kamila Andini , mungkin kamu akan teringat pada film Yuni maupun Before, Now & Then (Nana). Ya, Dini—sapaan akrabnya—adalah sutradara dari kedua film itu.
Karya-karya Dini, termasuk Yuni serta Before, Now & Then (Nana), dibuat dengan perspektif perempuan. Lewat film-film panjang maupun pendek yang dibuatnya, anak sutradara Garin Nugroho tersebut berupaya menyampaikan suara perempuan yang dirasa belum pernah terdengar.
Mengenai itu dibahas Dini kala berbincang dengan kumparanWOMAN dalam rangka International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional yang diperingati hari ini, Rabu (8/2).
Selain tentang karya, Dini berbagi mengenai cara dirinya menghadirkan ruang aman bagi perempuan dalam produksi film hingga peran ganda yang dijalaninya sebagai ibu. Tak ketinggalan, juga pandangannya menyoal International Women’s Day. Simak selengkapnya berikut ini.
Anda pernah katakan, ingin menampilkan perempuan di karya-karya Anda sebagai perempuan yang apa adanya. Bisakah Anda menjelaskannya lebih lanjut?
Saya pengin perempuan tidak harus selalu sempurna, apalagi sempurna untuk perspektif patriarki. Maksudnya yang kalaupun kerja, tetap di rumah juga harus keren, melakukan semua hal. Bahkan pengambilan keputusan-keputusan yang kita ambil juga rasanya harus sesuai dengan apa yang diinginkan semua orang. Buat saya, seharusnya tidak seperti itu.
Di film-film saya, saya pengin ngeliatin bahwa perempuan juga enggak sempurna dan enggak apa-apa untuk enggak sempurna. Ada hal yang dia suka dan enggak suka lakukan. Saat dia mengambil keputusan, dia selalu merasa bahwa keputusan ini harus menyenangkan semua orang. Tapi, sebenarnya, di banyak keputusan, yang harus dikedepankan adalah kebahagiaan dia dulu. Perempuan yang bahagia akan menciptakan rumah tangga, suami, dan anak-anak yang bahagia.
Jadi, itu dulu sebelum sesuatu yang lebih besar lagi. Makanya film-film saya sebenarnya seperti ngajak perempuan berdialog. Bahwa saya juga pengin memperlihatkan bahwa it's okay to make mistakes, untuk punya flaws, untuk juga bisa mengambil keputusan yang berat walaupun tidak disenangi banyak orang.
Bicara soal berkarya, seperti apa industri film untuk seorang perempuan dalam pandangan Anda? Apakah Anda menemui tantangan atau kesulitan tertentu?
Sejujurnya, ada perbedaan kesulitan dengan saat saya masih single. Begitu punya anak, ada challenge yang jauh lebih besar. Perempuan selalu punya pilihan yang berat saat punya anak. Saat dia enggak punya support system untuk menjalani keduanya di titik itu, biasanya banyak pekerja perempuan yang akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan di industri ini.
Saya sadari bahwa industri film itu memang cukup maskulin. Dominasinya juga laki-laki. Kita harus bekerja di tempat dan waktu yang sebenarnya enggak menentu dan tidak mudah buat perempuan. Belum lagi, karena kebanyakan dominasinya laki-laki, jadi pasti cara bercanda, how things work, dan lain-lain juga pasti yang lebih acceptable kalau kita ngikut gitu.
Kalau kita lihat dari sejarahnya, selalu ada nama perempuan di industri film Indonesia. Di tahun 1950, setelah film pertama kita yang kita buat, film kedua kita dibuat oleh Ibu Ratna Asmara. Jadi, sebenarnya ini industri yang sangat amat terbuka dengan perempuan.
Cuma, bagaimanapun ada kultur-kultur patriarki yang masih berjalan meski sekarang sebenarnya sudah semakin aman. Ada kultur-kultur yang sudah lama terbangun, misalnya bercandaan sexist, orang-orang tua yang masih dengan budaya-budaya yang kolot, merasa enggak apa-apa megang. Ini zamannya sudah berubah sekali sekarang dan hal-hal seperti itu sudah tidak bisa ditoleransi.
Beberapa kali muncul kasus dugaan pelecehan seksual dalam proses produksi film. Ada hal yang Anda lakukan untuk membuat perempuan aman saat bekerja sama dengan Anda?
Saya cukup beruntung, belum pernah mendapatkan pelecehan seksual. Walaupun saya sering mendapatkan red flag, misalnya, ‘Wah. Menarik, ya, kalau di tim ini ada yang manis-manis, ada yang seger-seger, ada perempuannya.’ Jadi sesuatu yang, ‘Kok, fungsi gue seperti pengharum ruangan, ya?’ Hal-hal seperti itu awal-awal sering terjadi. Saat orang sudah mulai mempercayai value saya sebagai sutradara dan lain-lain, itu sudah enggak pernah terjadi.
Tapi, pelecehan seksual dan lain-lain itu tergantung individu. Banyak individu yang masih ada di budaya-budaya konvensional dan kolot gitu tentang how to treat woman. Maksudnya, kita enggak bisa samain semua orang punya awareness bagaimana memperlakukan perempuan dengan respect.
Nah, industri dan produksi kita mulai aware dan mulai melakukan beberapa pencegahan. Kayak di produksi saya sendiri, sebelum kami merekrut orang, kami sudah jelaskan ini produksi yang seperti apa, kita tidak mentoleransi pelecehan seksual dalam bentuk apa pun, sanksinya seperti apa, dan dia bisa punya pilihan akan ikut produksinya atau enggak. Kita juga buat kode etik dan edukasi di lapangan. Kita ada workshop bagaimana bekerja dengan etika untuk menciptakan ruang kreatif yang sehat.
Semoga ini juga diaplikasikan di semakin banyak produksi sehingga perempuan-perempuan muda yang mau masuk lingkungan film merasa aman dan bisa continue bekerja di industri ini.
Sebagai sutradara sekaligus ibu, bagaimana Anda membuat segala sesuatunya seimbang?
Saya cukup bekerja sama dengan suami saya. Kami di rumah enggak ada pembagian peran berdasarkan gender, semua berdasarkan apa yang kami bisa dan tidak bisa lakukan. Semua pekerjaan dibagi, menyesuaikan kondisi kami di setiap waktunya.
Jadi, sebenarnya rahasia keseimbangan saya adalah suami saya yang mau berbagi peran untuk itu dan support system yang lain, kayak orang tua dan mertua. Di waktu-waktu tertentu, saat kami berdua juga sibuk, mereka mau berbagi peran itu.
Apakah Anda pernah merasakan masa-masa berat terkait harus membagi waktu untuk pekerjaan dan keluarga?
All the time. Itu masalahnya sebenarnya. Meskipun saya sudah ada di rumah tangga dengan support system yang baik, enggak bisa dibohongin, perempuan dikondisikan untuk merasa bahwa semua itu tanggung jawab dia. Jadi, saat sesuatu tidak terjadi dengan seharusnya, tetap saja kita merasa bersalah.
Pada saat misalnya saya memilih bekerja, terus anak-anak saya besoknya ke sekolah enggak dibantu menyiapkan segala sesuatunya padahal ada ujian, tetap saja saya pasti akan merasa bersalah. “Ini benar, enggak, ya, malah milih kerjaan dibanding anak?” Sebaliknya, pada saat saya milih mereka, terus kerjaan saya terbengkalai, saya akan, “Ini benar enggak, ya? Aku sudah punya komitmen sama orang lain, enggak enak.”
Anda pernah vakum dari industri film untuk fokus ke anak. Menurut Anda, lebih nyaman seperti itu atau seperti sekarang; mengurus keluarga dan berkarier?
Mungkin lebih enak sekarang. Karena saya sekarang sudah tahu banget apa yang saya mau.
Saya pernah vakum setelah melahirkan anak pertama. Itu pengalaman pertama, jadi kayak benar-benar euforia. Peran baru itu sudah saya tunggu sejak saya remaja. Saya merasa enggak ada hal lain yang bisa menandingi rasa itu dan pentingnya anak saya.
Tapi, saya juga ingat sampai sekarang, rasanya pertama kali duduk lagi di di bangku sutradara setelah berapa lama vakum. Ada perasaan bahagia yang saya enggak pernah rasain dan berbeda dari pertama kali punya anak. Itu rasa bahagia yang saya enggak pernah bisa lupa; merasakan lagi sesuatu yang membuat diri saya, skill, dan pengetahuan saya terpakai. Itu sesuatu yang enggak bisa digantikan.
Di titik itu saya menyadari, saya enggak akan pernah lagi vakum dari membuat film. Saya pengin bikin film terus dan saya pengin jadi orang tua juga.
Siapa role model perempuan bagi Anda?
Ibu saya dan mama mertua. Saya bersyukur banget punya dua ibu yang sangat terbuka pada perbedaan, bisa menerima semua perbedaan saya.
Mereka melihat sesuatu, terutama parenting, tidak kayak, “Harusnya begini. Tapi, “Oh, ya, dia punya caranya sendiri.” Sangat terbuka, sangat positif melihat semua hal. Itu support yang rasanya kayak enggak kelihatan, tapi sebenarnya membantu sekali.
Bagaimana dengan ayah, Garin Nugroho, yang Anda ikuti jejaknya sebagai sutradara?
Tentu saja dia role model yang influence-nya besar sekali dalam hidup saya, apalagi di dunia seni. Saya tumbuh dari buku-buku yang dia pilihkan, musik-musik yang dia dengarkan, film-film yang dia tontonkan, kebiasaan kultur yang hadir di rumah setiap hari dari saya kecil. Itu semua yang membentuk diri saya.
Terkait karier, ayah saya mengajarkan untuk selalu kerja keras dan disiplin. Dia selalu mengajarkan, semua yang kita akan keluarkan saat kita bekerja itu berhubungan sama apa yang kita masukkan.
Jadi, disiplin membangun kultur dari apa yang ingin kita buat itu penting banget. Misalnya, kalau saya pengin jadi sutradara, penting banget untuk setiap hari membaca, observe, membuka wawasan, atau mengaitkan keseharian saya dengan seni.
Menyoal International Women’s Day, bagaimana Anda memaknainya?
Sebenarnya ini perayaan yang penting sekali untuk kita. Buat saya, maknanya ini pengingat, ya, sudah sejauh mana peran perempuan di zaman ini, sudah sejauh mana kita bergerak. Karena sebenarnya pembagian peran laki-laki dan perempuan itu konstruksi sosial yang terjadi seiring zaman, bukan kodrat.
Ini pengingat, kita sudah sampai mana, PR-PR yang masih harus dikerjakan apa saja, bagaimana role, posisi, peran, hak perempuan, dan suaranya juga sejauh mana hadir di zaman yang terus bergerak ini.
Apa isu perempuan yang menjadi concern Anda?
Isu yang paling penting adalah di wilayah yang terkecil sebenarnya, di keluarga. Yang paling penting, istri dan suami bisa bekerja sama secara equal, secara setara, dalam rumah tangga.
Begitu juga anak perempuan dan anak laki-laki dalam sebuah keluarga. Dalam hal ini, di Indonesia sendiri, saya merasa masih ada kesenjangan. Maksudnya, berbeda sekali kesetaraan dalam keluarga di kota besar atau lingkungan yang lebih lebih mapan dengan di kota-kota kecil atau suburban.
Apakah Anda melihat isu ini di lingkungan terdekat?
Lalu, ekspektasi tentang perempuan yang sempurna seperti apa, itu masih hadir. Padahal, enggak akan ada perempuan yang sempurna juga, sama seperti nggak akan ada laki-laki yang sempurna.
Pesan untuk para perempuan, di Indonesia khususnya, dalam rangka International Women's Day?
Sebagai perempuan, saya paham betul bahwa kita lebih banyak mikirin orang lain, selalu pengin melayani orang-orang yang kita sayangi, pengin yang terbaik buat mereka. Seringkali kita akan mengenyampingkan kepentingan atau perasaan untuk membentuk, misalnya, keluarga yang harmonis, suami yang kariernya sukses, anak yang sukses juga nantinya.
Jadi, penting banget untuk perempuan-perempuan muda agar mengenal dirinya sendiri sejauh mungkin; apa yang sebenarnya dia suka dan enggak suka, apa yang dia pengin lakukan dan enggak pengin lakukan.
Pasti akan ada kecenderungan kita pengin jadi orang lain, pengin jadi perempuan yang perfect. Tapi, kita juga harus sadar, ternyata tidak seperti itu. Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya. Jadi, penting untuk kenal diri sendiri, semua kekurangan dan kelebihan kita sendiri.