Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Role Model: Lekatnya Isu Perempuan di Hati Dubes Australia Penny Williams
8 Agustus 2023 19:39 WIB
·
waktu baca 10 menitADVERTISEMENT
Bagi Penny Williams, menjadi Duta Besar Australia untuk Indonesia merupakan hal yang terkadang masih belum bisa ia percayai. Memiliki keterikatan tersendiri pada Indonesia, ia kerap kali merasa bahwa kehidupannya ini seakan membentuk lingkaran penuh: Pernah tinggal di Menteng sebagai pelajar, kini kembali ke Menteng sebagai duta besar.
ADVERTISEMENT
Ibu Penny, begitu ia ingin disapa, merupakan Duta Besar Australia untuk Indonesia sejak 2021. Ia merupakan perempuan pertama yang menjadi dubes Australia di Tanah Air. Sebelumnya, Penny pernah menjabat sebagai Duta Besar Australia untuk Malaysia—juga perempuan pertama yang memegang jabatan tersebut; Duta Besar Australia untuk Suriah; hingga Duta Besar Australia untuk Perempuan dan Anak Perempuan.
Peran Penny sebagai representatif Negeri Kanguru di Indonesia, ditambah dengan lekatnya isu-isu perempuan di hati Penny, memberikan privilese bagi dia untuk berkontribusi dalam isu-isu pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Kepada kumparanWOMAN, Penny menceritakan berbagai hal menarik yang menjadi perhatian sang dubes: Mulai dari hubungan kebudayaan Indonesia–Australia yang sudah berlangsung ratusan tahun; kisahnya saat tinggal di Indonesia sebagai siswa pertukaran; hingga opininya dalam konteks isu-isu perempuan. Simak perbincangan hangat kami dengan Role Model kumparanWOMAN berikut ini.
ADVERTISEMENT
Ibu Penny, Anda sudah tiga tahun menjabat sebagai Duta Besar Australia untuk Indonesia. Bisa ceritakan sedikit soal Anda dan perjalanan karier Anda?
Penny Williams (PW): Saya sudah menjadi diplomat sejak saya lulus kuliah. Saya bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Australia ketika saya masih cukup muda. Saya pernah dikirim ke kedutaan Australia di Suriah, jadi saya pernah belajar bahasa Arab di Kairo, Mesir. Saya pernah bertugas di Chile, saya pernah menjadi Duta Besar Australia untuk Malaysia, pernah juga menjadi Duta Besar Australia untuk Perempuan dan Anak Perempuan, dan kini, saya menjadi duta besar di sini.
Selama berkarier, apakah Anda pernah mengalami tantangan yang berat?
PW: Hemat saya, kita semua harus melewati berbagai tantangan dari waktu ke waktu, dan Anda harus mencari tahu sendiri bagaimana Anda menyelesaikannya. Ketika saya bergabung dengan Kemlu Australia, saya tidak berpikir, “Oh, saya harus jadi duta besar.” Saya mengambil kesempatan itu ketika datang; saya tidak terlalu ambisius.
ADVERTISEMENT
Saya punya empat anak, jadi saya mencari tahu apa itu hidup yang baik, ketimbang berpikir bahwa dalam hidup semuanya adalah pertandingan dan saya harus jadi nomor satu.
Saya menjalani hidup dengan penuh kesenangan, saya menikmati apa yang saya lakukan, saya menikmati karier saya, saya sangat beruntung bisa melakukan pekerjaan yang saya sangat senangi dan bisa berkeliling dunia. Saya juga merasa beruntung bisa ambil bagian dalam hubungan Indonesia–Australia yang sangat penting ini. Ini adalah pekerjaan impian bagi saya.
Sebelum menjabat sebagai Duta Besar Australia untuk Indonesia, Anda pernah datang ke Indonesia dalam program pertukaran pelajar. Anda juga kabarnya cukup fasih berbahasa Indonesia. Bisa diceritakan pengalaman masa muda Anda tersebut?
PW: Saya kurang yakin saya bisa dikatakan fasih, tapi dulu, pada awal tahun 80-an, saya datang ke Indonesia sebagai siswa program pertukaran pelajar selama satu tahun dan saya tinggal bersama keluarga Indonesia. Kami tinggal di sekitar area ini (Menteng, Jakarta Pusat -red) dan saya bersekolah di SMA 1 PSKD di Jalan Diponegoro.
ADVERTISEMENT
Saya saat itu baru berusia 16 tahun dan pengalaman itu sudah lama sekali. Dan pengalaman tersebut cukup berpengaruh dalam hidup saya. Anda bisa bayangkan seperti apa, pergi ke belahan dunia lain berpuluh tahun lalu untuk tinggal bersama keluarga yang berbeda, berbicara bahasa berbeda, dan bersekolah di sekolah dalam bahasa yang juga berbeda. Itu merupakan pengalaman yang cukup mengubah hidup saya.
Lalu, setelah saya menyelesaikan program tersebut, saya pindah ke Canberra—saya asal Tasmania—dan saya berkuliah di Australian National University dan mengambil jurusan Indonesian Studies. Jadi, saya mempelajari sejarah, bahasa, dan antropologi Indonesia selama empat tahun, semuanya berdasarkan pengalaman saya menjadi siswa pertukaran pelajar sebelumnya.
Jadi, waktu yang Anda habiskan di Indonesia saat itu cukup meninggalkan kesan mendalam di hati Anda.
PW: Ya, bayangkan saya, di usia 16 tahun dan pergi ke suatu tempat yang jauh. Saya tahu banyak orang yang berkuliah di universitas dan juga memiliki pengalaman tersebut, tetapi saya saat itu benar-benar tinggal dalam keluarga Indonesia. Saya diharapkan untuk bisa seperti mereka; untuk bisa beradaptasi dengan baik seperti semua orang; dan melakukan apa pun yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang sangat menakjubkan bagi saya adalah itu semua terjadi di lokasi yang sangat dekat dengan tempat saya tinggal sekarang sebagai seorang duta besar. Cukup sulit bagi saya untuk mempercayai bahwa saya, 40 tahun lalu, bisa berada di suatu tempat; dan kini bisa kembali, tinggal sangat dekat dengan tempat itu dulu, dan menjadi seorang duta besar.
Apa yang membuat Anda tertarik dengan negara ini?
PW: Sebenarnya, sebelum menjadi siswa pertukaran, saya pernah mengunjungi Indonesia. Ketika saya berusia 10 tahun, orang tua kami membawa kami ke Bali, sekitar tahun 70-an. Liburan tersebut adalah pengalaman pertama saya pergi ke luar negeri dan saya sangat menyukainya.
Dan bagi saya, saat menyaksikan budaya dan bahasa yang berbeda untuk pertama kalinya, pengalaman tersebut meninggalkan kesan mendalam. Jadi, ya, saya sangat mencintai Indonesia, kemudian saya kembali ke Indonesia sebagai siswa pertukaran, saya mencintai bahasanya, saya mencintai kompleksitas dan perbedaan dalam budayanya. Hal-hal kecil membuat saya senang, seperti ketika saya melihat sesuatu, saya mengatakan, “Oh, saya paham soal itu,” atau “Oh, saya tahu itu.” Hal-hal seperti itu merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup saya.
Jika kita membicarakan soal budaya, hubungan budaya Indonesia dan Australia sudah berlangsung sejak lama, bahkan beratus tahun lamanya. Menurut Anda, mengapa hubungan tersebut bisa begitu kuat dan bertahan hingga saat ini?
ADVERTISEMENT
PW: Menurut saya, ekspresi kebudayaan manusia adalah cara terbaik untuk membangun hubungan; memahami dan mengintip sedikit ke dalam kehidupan orang lain. Jadi, untuk orang Australia, tarian Bali atau wayang kulit merupakan pengalaman yang berbeda dan mungkin mereka ingin bisa menonton pertunjukan itu tanpa perlu memahami bahasanya. Namun, dengan itu, mereka bisa mulai memahami budaya yang berbeda.
Hal yang sama pun terjadi pada orang Indonesia. Kami memiliki tarian Australia dan musik-musik Australia, dan kami mengundang para musisi Australia ke Indonesia. Jadi, hubungan budaya antarnegara ini sudah menjadi bagian yang sangat kuat dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia.
Australia menjadi salah satu destinasi favorit mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan. Seperti apa hubungan kerja sama pendidikan antara kedua negara?
PW: Menurut saya, universitas di Australia adalah universitas kelas dunia yang menyajikan pendidikan kelas dunia. Institusi tersebut juga memberikan pengalaman tinggal di luar negeri, dan bagi saya, hal tersebut sangat luar biasa. Kami juga memiliki program beasiswa yang apik. Setiap tahunnya, kami memiliki beasiswa jenjang S2 dan S3 dengan jumlah yang cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
Kami memiliki Monash University, kampus yang sangat mapan di Australia. Dan dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Australia Juli lalu, Pak Presiden dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengumumkan bahwa ada tambahan tiga universitas Australia yang akan membuka kampus di Indonesia: Deakin University di Bandung, Western Sydney University di Surabaya, dan Central Queensland University di Balikpapan.
Hal tersebut memberikan lebih banyak kesempatan untuk mahasiswa Indonesia merasakan secara langsung pendidikan Australia, ketika mungkin mereka tidak bisa mengunjungi Australia.
Adakah tips yang bisa Anda berikan pada mahasiswa Indonesia yang ingin berkuliah di universitas di Australia?
PW: Banyak kesempatan untuk berkuliah di Australia dengan biaya sendiri. Namun, banyak juga universitas yang menawarkan program beasiswa S2 dan S3, dan Pemerintah Australia juga memiliki program beasiswa mereka sendiri.
Menurut saya, untuk para mahasiswa, lakukanlah riset dan pikirkan apa yang ingin kamu lakukan. Jangan hanya menganggap Australia sebagai suatu lokasi yang ingin kamu datangi. Ada sejumlah universitas yang memiliki konsentrasi tertentu, seperti biologi kelautan, ada universitas yang memang kuat dalam konsentrasi pendidikan guru.
ADVERTISEMENT
Jadi, lakukan riset dan cari tahu universitas mana yang memiliki kekuatan di jurusan tertentu, alih-alih hanya berpikir, “Saya ingin tinggal di Melbourne.”
Kemudian, menurut saya yang tak kalah penting adalah menjalin hubungan pertemanan dengan orang Australia dan civitas akademika di universitas. Jangan malu-malu, ikutilah klub-klub mahasiswa, jangan makan sendiri di kos. Jadi, ya, cobalah untuk lebih berani dan menarik, sehingga kamu bisa pulang ke Indonesia dengan memiliki teman-teman dari Australia. Menurut saya, itu semua sangat penting.
Anda pernah menjabat sebagai Duta Besar Australia untuk Perempuan dan Anak Perempuan. Anda tampaknya sangat peduli terhadap isu-isu perempuan dan pemberdayaan perempuan. Mengapa menurut Anda isu-isu tersebut sangat penting?
PW: Mungkin ada dua alasan. Pertama, kita bicara soal keadilan. Sangat penting bagi saya bahwa semua orang dapat memainkan peran mereka di masyarakat dan mampu mencapai potensi mereka secara penuh. Jadi, keadilan, kesamarataan, kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Ini juga merupakan argumen yang praktis: Bahwa jika perempuan tidak mampu memenuhi potensi mereka secara penuh, artinya Anda hanya mampu memanfaatkan setengah dari potensi masyarakat untuk membangun bangsa, bisnis, atau kapabilitas. Jadi, ada alasan kesetaraan dan keadilan yang kuat di sini.
Sebagai seorang perempuan, apakah Anda pernah mengalami diskriminasi atau ketidaksetaraan?
PW: Saya tidak akan berkata bahwa saya pernah mengalami ketidaksetaraan atau diskriminasi hingga ke titik di mana seseorang merasa sangat rentan.
Namun, hemat saya, hampir seluruh perempuan memiliki cerita mereka sendiri soal suatu momen di mana mereka tidak mendapatkan kesempatan, atau soal sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi pada rekan laki-laki mereka.
Sulitkah bagi perempuan untuk bisa menjadi seorang duta besar di Australia?
PW: Kami berupaya keras dalam meningkatkan jumlah duta besar perempuan di Australia. Saya bahkan merupakan duta besar perempuan pertama untuk Malaysia. Angka ini bisa kami capai setelah bertahun-tahun saya berkarier. Kini, Australia memiliki menteri perempuan, sekretaris jenderal perempuan. Dulu, di awal karier saya, kami tidak memiliki banyak perempuan di level tersebut. Kami sudah berupaya dengan keras untuk bisa meningkatkan jumlah partisipasi perempuan.
ADVERTISEMENT
Menurut Anda, apa tantangan yang dihadapi oleh perempuan Australia saat ini? Apa hal yang bisa perempuan Indonesia dan Australia pelajari dari satu sama lain?
PW: Menurut saya, perempuan Australia, perempuan Indonesia, dan seluruh perempuan di seluruh dunia memiliki tantangan yang sama. Satu adalah keadilan dan keamanan. Bagaimana perempuan bisa merasa aman dari kekerasan dalam keluarga? Dalam konteks kekerasan oleh pasangan intim, Australia tidak berada di posisi yang lebih baik ketimbang Indonesia atau negara-negara lainnya. Di Australia, perempuan dibunuh oleh pasangan mereka setiap minggunya. Ini juga terjadi di Indonesia, pun di belahan dunia lainnya.
Selanjutnya adalah pemberdayaan ekonomi: Bagaimana kita memastikan perempuan mampu mencapai potensi ekonomi mereka secara penuh, baik lewat pengasuhan anak, kesempatan pendidikan, bagaimana mereka berpartisipasi dalam tenaga kerja, hingga pelibatan dalam pengambilan keputusan.
Menurut saya, hal ini saling berkaitan. Akan sulit bagi seorang perempuan untuk bisa berdaya secara ekonomi jika, misalnya, Anda adalah seorang penjual di pasar dan tidak ada toilet khusus perempuan yang bisa membuat Anda merasa aman untuk datang ke pasar di malam hari untuk mempersiapkan kios. Atau, akan sulit untuk menjadi seorang pemimpin jika Anda tidak berdaya secara ekonomi.
ADVERTISEMENT
Jadi, menurut saya, ini adalah fenomena atau tantangan secara global yang dihadapi oleh perempuan, dalam derajat tantangan yang berbeda-beda tergantung latar belakang mereka. Itulah yang selama ini saya temukan.
Apakah Pemerintah Australia memiliki program khusus untuk misi pemberdayaan perempuan di Indonesia?
PW: Kami memiliki kemitraan pembangunan dengan Indonesia sebesar AUD 320 juta tiap tahunnya. Itu adalah kontribusi kami kepada Indonesia sebagai bagian dari bantuan pembangunan. Sebanyak 80 persen dari seluruh program tersebut harus memiliki fokus gender.
Saya berikan contohnya. Kami memiliki program kesehatan. Ketika kami menjalani program kesehatan tersebut, kami memperhitungkan soal gender. Jika kami memiliki program pertanian, kami memastikan bahwa program tersebut mengenali peran petani perempuan.
Kami juga memiliki program yang spesifik gender. Jadi, kami memiliki program yang secara khusus berfokus pada pemberdayaan ekonomi perempuan di ranah usaha mikro dan kecil. Kami memiliki program bernama Investing in Women.
ADVERTISEMENT
Namun, yang paling penting soal melakukan program-program dukungan pembangunan seperti ini adalah Anda harus memastikan seluruh program memperhitungkan soal gender, bukan hanya di program khusus untuk perempuan.
Adakah kata-kata penuh pemberdayaan untuk para perempuan Indonesia di luar sana?
PW: Agak lancang bagi saya jika saya memberikan kata-kata penyemangat yang kaku. Yang bisa dilakukan hanya menjadi role model terbaik untuk perempuan lain. Saya merupakan duta besar Australia perempuan pertama untuk Indonesia, dan ini sangat penting bagi para kolega perempuan saya di kedutaan; di mana mereka bisa berkata, “Suatu hari nanti, saya bisa menjadi seperti dia.”
Menurut saya, sangat penting juga bagi para pemimpin untuk menolong perempuan lain, dan menjadi mentor serta memberikan dukungan kepada perempuan lain.
Ini membuat saya berpikir: “Apa peran saya? Bagaimana saya bisa menolong? Bagaimana saya bisa menjadi mentor? Bagaimana saya bisa menjadi seorang role model?”, ketimbang memberi tahu orang-orang bagaimana mereka menjadi suatu hal. Karena memberi tahu orang-orang “bagaimana menjadi sesuatu” itu cukup angkuh.
Orang-orang memiliki pengalaman mereka sendiri, memiliki konteks mereka sendiri. Jadi, lebih baik memberikan kepastian bahwa semua orang memiliki kesempatan; bahwa mereka punya role model yang berbeda; dan bahwa mereka tidak harus berpikir bahwa mereka harus jadi sempurna.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT