Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tantangan Perempuan dengan HIV, Sulit Taklukkan Diri hingga Hadapi Stigma
4 Desember 2023 13:03 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Tidak mudah bagi seseorang untuk hidup dengan kenyataan bahwa dirinya positif HIV , begitu pula yang dirasakan Ayu Oktariani dan Suksma Ratri. Keduanya positif HIV karena tertular dari pasangannya terdahulu, yang menggunakan narkoba suntik. Tepatnya, Ayu didiagnosis positif HIV pada 2009 dari mendiang suami, sementara Ratri tertular dari mantan suami pada 2006.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, Ayu merasa bingung dengan apa yang terjadi padanya karena saat itu masih minim informasi soal HIV. Barulah, setelah tiga atau empat tahun, Ayu bisa beradaptasi dan menerima dirinya sebagai ODHIV (orang dengan HIV).
Sementara itu, Ratri merasa telah dibohongi oleh mantan suami, yang membuatnya tertular virus tersebut. Sebab, laki-laki itu mengaku sudah tes HIV dan dinyatakan negatif sebelum menikah dengannya, padahal ternyata belum.
Banyak perubahan yang terjadi pada hidup Ayu dan Ratri sejak dinyatakan positif HIV. Meski begitu, tantangan demi tantangan dihadapi Ayu dan Ratri dengan tetap positif sampai saat ini.
Tantangan yang dialami Ayu dan Ratri
Bagi Ayu dan Ratri, salah satu tantangan terbesar sebagai ODHIV adalah diri sendiri. Tak mudah bagi mereka untuk melalui proses penerimaan dan penaklukkan diri sambil terus melanjutkan hidup.
ADVERTISEMENT
“Hidup dengan HIV dan AIDS itu tantangan terbesarnya adalah menaklukan diri sendiri. Yang paling besar itu bukan stigma dari orang lain sebenarnya, [tapi] dari diri sendiri,” tutur Ratri kepada kumparanWOMAN dalam program Ladies Talk.
“Jadi, belum apa-apa, mereka sudah bilang, ‘Ah, orang enggak akan terima. Orang enggak akan mau temenan sama saya. Saya pasti enggak ada yang mau, enggak akan bisa menikah.’ Padahal, belum tentu begitu, kan,” imbuhnya.
Sementara itu, Ayu merasakan tantangan lain dalam hal karier. Tempat kerja pertamanya, yang adalah sekolah musik, justru menjadi lingkungan pertama yang memberikan stigma dan diskriminasi kepadanya. Saat itu, Ayu—yang bekerja sebagai admin—diminta untuk mengundurkan diri karena positif HIV.
“Mereka enggak mau mecat karena biar enggak jadi omongan mungkin. Pada saat itu, saya bilang sama mereka bahwa, ‘Ini sebenarnya cuma persoalan kalian enggak tahu apa itu HIV,’” ujar Ayu.
ADVERTISEMENT
Lain halnya dengan Ratri, yang kondisinya diterima dengan baik di lingkungan pekerjaan. Tetapi, ia justru sempat merasa bahwa kemampuannya di-underestimate oleh rekan-rekan kerja.
“Misalnya, ‘Dia, kan, HIV. Jangan dikasih kerjaan yang berat-beratlah. Kecapekan nanti.’ Sebetulnya mereka itu men-support banget, menerima, tapi di satu sisi seolah-olah ada diskriminasi karena tahu status aku,” kata Ratri.
Sebagai perempuan serta ibu, anak juga menjadi kekhawatiran bagi Ayu dan Ratri sebagai ODHIV. Keduanya sama-sama sempat merasa takut jika anak mendapatkan diskriminasi hingga perundungan karena orang tuanya ODHIV.
“Ada pikiran-pikiran tentang, ‘Bagaimana nanti kalau ada pertanyaan kepada anak saya, berkaitan dengan ibunya?’ Ada ketakutan bahwa anak saya akan mendapatkan stigma diskriminasi karena status orang tuanya,” kata Ayu.
ADVERTISEMENT
Ratri menghadapi tantangan tersendiri saat harus membuka diri soal statusnya kepada sang anak. Ia mengaku tak memberi tahu anak karena tidak tahu bagaimana caranya, hingga kemudian sang buah hati mengetahui secara sendirinya tanpa sengaja. Sempat marah karena tak diberi tahu, sang anak pada akhirnya memahami usai Ratri memberi pengertian.
Berbagai tantangan hidup yang dialami Ayu dan Ratri tak membuat mereka patah semangat. Justru semua itu membuat mereka lebih kuat, berani untuk speak up, hingga giat memberikan kesadaran dan edukasi kepada banyak orang tentang HIV.