Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Teknologi AI ChatGPT Cenderung Gambarkan CEO Sebagai Laki-laki, Bukan Perempuan
22 Juli 2024 20:08 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence , AI) saat ini bisa menciptakan gambar apa pun dengan perintah atau prompt. Sayangnya, menurut penelitian oleh perusahaan finansial Finder, teknologi ini masih dikelilingi oleh bias gender antara perempuan dan laki-laki. Kok, bisa?
ADVERTISEMENT
Pembuatan gambar AI dilakukan dengan cara memasukkan prompt. Kemudian, teknologi AI bakal menciptakan gambar memakai algoritma dan data yang diajarkan pada mesin, sesuai dengan perintah yang diberikan.
Pada April lalu, Finder melakukan percobaan pembuatan gambar AI lewat ChatGPT . Para peneliti kemudian memerintahkan AI untuk membuat beberapa gambar, yaitu gambar orang-orang yang bekerja di bidang finansial serta orang dengan jabatan tinggi seperti penasihat keuangan atau CEO perusahaan sukses.
Hasilnya? Dari total 100 gambar yang dihasilkan AI ChatGPT, 99 di antaranya adalah laki-laki berkulit putih, bukan perempuan. Finder pun menyebut, ini menunjukkan adanya bias gender dalam teknologi AI.
Kemudian, Finder memerintahkan generator gambar AI ChatGPT untuk menciptakan gambar orang yang bekerja sebagai sekretaris. 9 dari 10 foto yang dihasilkan menunjukkan gambar perempuan berkulit putih. Menurut The Guardian, pekerjaan sekretaris kerap kali diasosiasikan sebagai ‘pekerjaan perempuan’.
ADVERTISEMENT
Padahal, menurut laporan Pew Research pada 2023, lebih dari 10 persen perusahaan besar dalam daftar Fortune 500 dipimpin oleh CEO perempuan. Lalu, mengutip New York Post, pada 2021, CEO berkulit putih hanya berjumlah 76 persen.
Pendapat ahli soal bias gender dalam AI
Dikutip dari situs resmi Finder, peneliti di London School of Economics Inggris, Ruhi Khan, mengatakan bahwa bias gender dalam AI lahir dari sistem patriarki di masyarakat.
“ChatGPT muncul di masyarakat patriarkis, dikonseptualisasi dan dikembangkan mayoritas oleh laki-laki dengan bias dan ideologi masing-masing. Lalu, (AI) diajarkan dengan data-data yang punya kelemahan dari sifat historisnya itu,” kata Ruhi.
“Jadi, tidak heran jika model-model AI generatif seperti ChatGPT meneruskan nilai-nilai patriarkis tersebut dengan cara mereplikasi norma tersebut,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Ruhi mengatakan bahwa ChatGPT juga menunjukkan respons yang bias gender saat menjawab kata kunci soal perempuan dan laki-laki. Misalnya, ChatGPT akan memberikan sanjungan dan pujian terhadap kinerja laki-laki di tempat kerja.
“Namun, (ChatGPT) selalu merespons bahwa perempuan selalu membutuhkan lebih banyak pelatihan untuk mengembangkan keahlian mereka. Di saat ChatGPT menganggap kemampuan komunikasi laki-laki itu ringkas dan tepat, ChatGPT justru menganggap perempuan perlu pelatihan untuk meningkatkan keahlian komunikasinya demi menghindari kesalahpahaman,” jelas Ruhi.
Bagaimana pendapatmu, Ladies?