Wawancara dengan Profesor Monash Uni: Peran Besar Patriarki dalam Femisida

4 Desember 2024 15:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Selama dua pekan setiap tahun, dari 25 November hingga 10 Desember, dunia memperingati 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP). Di tahun ini, kampanye global ini berfokus pada pencegahan dan perlawanan terhadap femisida. Femisida sendiri adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan dengan motivasi gender.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan, jumlah kasus pembunuhan perempuan dengan indikasi femisida di Indonesia mencapai 159 pada 2023. Sementara itu, secara global, angkanya mencapai 51.100 kasus. Para perempuan itu dibunuh oleh orang-orang terdekat mereka, seperti pasangan intim (suami, mantan suami, pacar, mantan pacar) dan anggota keluarga.
Namun, jika ditarik ke akarnya, apa yang menyebabkan femisida terjadi? Menurut Associate Professor in the School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics Monash University, Profesor Sharyn Davies, banyak faktor pendorong femisida.
Associate Professor in the School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics Monash University, Profesor Sharyn Davies. Foto: Monash University
“Femisida di Indonesia sering kali didorong oleh ketidaksetaraan gender yang sudah mengakar dalam, di mana norma-norma patriarkis dan ekspektasi sosial menurunkan nilai perempuan dan melanggengkan kekerasan terhadap mereka,” jelas Sharyn dalam wawancara eksklusif tertulis bersama kumparanWOMAN.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor tambahan lainnya, menurut Sharyn, adalah maskulinitas toksik, kendali atas otonomi perempuan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ketergantungan ekonomi, lemahnya kerangka hukum yang melindungi perempuan, hingga budaya impunitas yang akhirnya menyebabkan pelaku tidak diadili secara tegas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem patriarki mengakar dengan kuat di tengah masyarakat Indonesia. Dikutip dari situs resmi UN Women, patriarki merupakan paham bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan, sehingga mereka harus menunjukan dominasi atas perempuan. Pola pikir ini akhirnya melanggengkan kekerasan terhadap perempuan yang akhirnya bisa berakhir pada pembunuhan.
Ilustrasi KDRT. Foto: charnsitr/Shutterstock
Profesor Sharyn mengatakan, di Indonesia, patriarki bermain peran besar dalam femisida. Sebab, patriarki menciptakan ruang yang memungkinkan pelaku untuk menyakiti, bahkan membunuh perempuan.
“Ya, patriarki memainkan peran signifikan dalam femisida, mengingat patriarki menciptakan lingkungan di mana perempuan sering kali dipandang lebih rendah dan lebih rentan, yang berujung pada penurunan nilai perempuan (di mata masyarakat), dan peningkatan risiko kekerasan,” jelas Sharyn.
ADVERTISEMENT
Patriarki kemudian melahirkan misoginisme atau kebencian terhadap perempuan. Misoginisme kemudian memelihara perilaku yang menjustifikasi dan mewajarkan kekerasan terhadap perempuan.
“Oleh sebab itu, misogini dan patriarki sangat berkaitan erat, dengan misogini hadir sebagai manifestasi dari kepercayaan patriarkis yang melanggengkan kekerasan berbasis gender, termasuk femisida,” imbuhnya.
Ilustrasi KDRT. Foto: sdecoret/Shutterstock
Sharyn menjelaskan, di Indonesia, masih banyak laki-laki yang memandang perempuan lebih rendah dibandingkan mereka. Persepsi ini bisa melahirkan perasaan entitled atau angkuh pada laki-laki. Ketika merasa terancam akibat kemandirian perempuan atau keputusan perempuan untuk meninggalkan sebuah hubungan, laki-laki dengan sifat entitlement tersebut berpotensi melakukan kekerasan hingga pembunuhan.
Lantas, apa yang bisa dilakukan sebagai solusi dari femisida berbasis patriarki? Sharyn menegaskan bahwa edukasi bersifat sangat penting. Edukasi ini dilakukan lewat kampanye untuk meningkatkan kesadaran hingga kegiatan komunitas yang ditujukan untuk menghancurkan maskulinitas toksik.
ADVERTISEMENT
“Mengedukasi laki-laki untuk berhenti melakukan kekerasan terhadap perempuan dilakukan dengan cara membangun hubungan yang saling menghormati, menghadirkan program-program yang menyasar pentingnya consent (izin) dan empati, serta mengajak laki-laki untuk menjadi sekutu dalam advokasi hak dan keselamatan perempuan,” tegas Sharyn.