Konten dari Pengguna

Hubungan Indonesia-Australia Era Jokowi: Ketegangan dan Kolaborasi

Kevin Wibowo Mukti
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga
30 Juni 2024 10:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kevin Wibowo Mukti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia dan Australia merupakan tetangga dekat yang tidak mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan dalam hal budaya, etnis, sejarah, sistem politik, sosial dan hukum menjadikan hubungan Indonesia dan Australia menjadi tidak menentu. Oleh karena itu, hubungan antara Indonesia dan Australia dapat dianalogikan layaknya roda roller-coaster. Hal tersebut tidak lepas dari situasi hubungan kedua negara yang sering kali memburuk, namun selalu diiringi dengan perbaikan hubungan untuk meredakan tensi yang terjadi. Perbaikan hubungan ini tidak lepas dari adanya kesamaan kepentingan geopolitik dan kerja sama yang telah terjalin erat antara kedua negara. Dalam aspek politik pergantian rezim dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Joko Widodo (Jokowi) telah membuka lembaran baru hubungan bilateral kedua negara pasca sempat memburuknya hubungan akibat insiden penyadapan yang dilakukan oleh Australia.
ADVERTISEMENT
Peristiwa penyadapan yang dilakukan oleh intelijen Australia terhadap Presiden SBY sempat membuat hubungan kedua negara memanas. Puncak dari ketegangan hubungan ini ditandai dengan ditariknya duta besar Indonesia untuk Australia pada 19 November 2013 November 2013, sebagai bentuk protes keras terhadap sikap Australia. Indonesia melalui Panglima Jenderal Moeldoko menghentikan sementara kerja sama militer dan pertukaran data intelijen dengan Australia. Namun, tidak berselang lama, kedua negara menunjukkan tanda-tanda perbaikan hubungan diplomatik. Hal tersebut ditandai dengan kembalinya duta besar Jakarta untuk Australia pasca setahun ditinggalkan serta kunjungan Perdana Menteri Tony Abbott ke Batam untuk bertemu Presiden SBY. Perbaikan hubungan semakin menunjukkan arah yang positif pasca Wakil Presiden Budiono melakukan kunjungan kerja ke Australia pada bulan Agustus 2014. Dibalik hubungan kedua negara yang mulai membaik, pergantian rezim dari SBY ke Jokowi membawa babak baru dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia yang tidak lepas dari pasang surut dinamika politik yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden membuka lembaran baru hubungan Indonesia-Australia. Kehadiran Perdana Menteri Tony Abbott ke pelantikan Jokowi memberikan sinyal keseriusan Australia dalam memperbaiki hubungan dengan Indonesia. Namun, penolakan grasi terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang merupakan terpidana mati kasus narkoba asal Australia kembali memicu ketegangan antar kedua negara. Pemerintahan Tony Abbott merespon keputusan tersebut dengan menarik duta besarnya dari Jakarta dan melanjutkan larangan kontak bilateral tingkat menteri untuk jangka waktu yang tidak diungkapkan. Namun, seperti ketegangan terdahulu, konflik ini tidak berlangsung lama. Hal tersebut ditandai dengan kembalinya duta besar Australia untuk Jakarta pasca lima minggu dipulangkan. Pasca perbaikan kembali hubungan diplomatik, Indonesia dan Australia semakin memperkuat kerja sama di berbagai sektor strategis terutama ekonomi dan pertahanan. Pada sektor ekonomi Presiden Jokowi sepakat untuk menandatangani kerja sama Australia-Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement (AI-CEPA) pada 4 Maret 2019. Sementara itu, pada sektor pertahanan kedua negara sepakat untuk melakukan Defence Cooperation Arrangement (DCA) dan peningkatan kerjasama di bidang industri pertahanan.
ADVERTISEMENT
AUKUS, ANCAMAN ATAU PELUANG
Foto: Kerja sama trilateral Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS) (Dok: Pribadi)
Penandatanganan kerja sama trilateral Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS) pada 2021 menjadi isu hangat dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. AUKUS merupakan sebuah kerja sama militer trilateral yang memungkinkan Australia untuk memperoleh akses kapal selam bertenaga nuklir. Tujuan utama dari AUKUS sendiri adalah sebagai balance of power atas agresivitas Tiongkok di kawasan. Sebagai negara yang berada di antara dua negara yang memanas, kehadiran AUKUS dinilai dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasional Indonesia. Sebaliknya, kehadiran AUKUS juga dapat dimanfaatkan Indonesia sebagai sebuah peluang untuk memperkuat hubungan diplomatik dengan Australia. Sebagai sebuah ancaman AUKUS berpotensi menyebabkan ketidakstabilan kawasan, yang dapat berdampak negatif terhadap keamanan dan stabilitas Indonesia. Selain itu, kehadiran AUKUS dapat mengubah peta kekuatan eksternal di kawasan, hal ini dapat mengganggu sentralitas ASEAN dalam menjaga stabilitas regional. Sebaliknya, kehadiran AUKUS dapat menjadi sebuah peluang, diantaranya memperkuat peluang kerja sama keamanan regional untuk menghadapi dinamika keamanan baru di kawasan Indo-Pasifik. Kehadiran AUKUS juga dapat digunakan Indonesia untuk semakin memperkuat pengaruhnya sebagai pemimpin ASEAN dan sebagai penengah dalam isu-isu keamanan regional.
ADVERTISEMENT
Menyikapi pembentukan AUKUS, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Respon pertama muncul dari Presiden Jokowi dalam KTT ASEAN-Australian 2021. Melalui pidatonya Presiden Jokowi menyatakan kekhawatirannya akan konstelasi politik yang semakin panas di kawasan berpotensi melahirkan perlombaan senjata yang dapat mengancam stabilitas. Indonesia juga mendorong perubahan pola pikir dari budaya konflik menjadi budaya damai, dan defisit kepercayaan menjadi kepercayaan strategis. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan bahwa ASEAN dan Australia perlu membangun kepercayaan agar stabilitas dan perdamaian regional dapat terjaga. Retno Marsudi menambahkan dalam acara yang bertajuk Asia Society 2021 bahwa Indonesia menekan Australia untuk tetap tunduk pada perjanjian non-proliferasi nuklir dan hukum Internasional. Sebagai negara yang berada di pusat konflik, Indonesia tidak boleh diam melihat situasi yang terjadi. Indonesia harus mengambil keputusan secara berhati-hati dengan berpedoman pada prinsip politik bebas aktif. Bebas aktif bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara yang netral tanpa sikap yang jelas, melainkan sebuah sikap yang berorientasi pada kepentingan nasional. Tetap dijalinnya hubungan hubungan baik dengan Australia dan Tiongkok dapat dimanfaatkan Indonesia untuk semakin memperkuat posisinya di kawasan. Hal tersebut sejalan dengan perumpamaan yang dikatakan oleh Moh. Hatta sebagai 'mendayung diantara dua karang'.
ADVERTISEMENT
Semakin Mesra
Foto: Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese saat berada di Admiralty House (Dok: Laily Rachev - BPMI Sekretariat Presiden)
Hubungan Indonesia-Australia dapat dikatakan sebagai 'love and hate relationship'. Hal tersebut karena dibalik hubungan yang sering memanas, kedua negara tidak dapat dipisahkan. Salah satu bukti pernyataan tersebut dibuktikan dengan kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Australia untuk bertemu Perdana Menteri Australia Antony Albanese pada 5 Maret 2024. Dalam pertemuan tersebut kedua negara sepakat untuk memperkuat kerja sama strategis. Presiden Jokowi menyampaikan empat poin penting untuk memperkuat hubungan bilateral Indonesia-Australia. Pertama, Presiden Jokowi mengapresiasi perkembangan kerja sama kedua negara, termasuk penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) perihal teknologi energi bersih, rencana pembukaan Bank Negara Indonesia (BNI) cabang Sidney, dan penandatanganan MoU otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan National Capital Authority. Kedua, kerja sama perdagangan terutama perihal impor daging sapi dari Australia. Ketiga, dalam sektor pendidikan Presiden Jokowi mengungkapkan kegembiraannya atas banyaknya mahasiswa Australia yang melanjutkan studinya di Indonesia melalui Colombo Plan. Colombo Plan adalah organisasi inter-pemerintah untuk memajukan pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik. Terakhir, Ucapan terimakasih Indonesia atas dukungan Australia selama keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023, serta undangan terbuka Presiden Jokowi kepada Perdana Menteri Albanese untuk menghadiri World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali.
ADVERTISEMENT
Dalam WWF di Bali, Australia kembali menunjukkan komitmennya dalam menjalin kerja sama strategis di bidang sumber daya air dengan Indonesia. Kedua negara mengumumkan rencana ambisius dalam tata kelola sumber daya air yang telah ditandatangani pada 2023. Salah satu isi rencana kerja tersebut adalah proyek percontohan AquaWatch Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) di Danau Tempe, Sulawesi. Pemerintah Australia juga telah memberikan bantuan dana sebesar 83 juta dolar Australia untuk memperluas 'layanan cuaca untuk kualitas air' di seluruh Australia dan dengan mitra di seluruh dunia pada Hari Air Sedunia tahun sebelumnya. Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono dalam acara WWF ke-10 Tingkat Menteri mengatakan bahwa pembaruan kerja sama di bidang sumber daya air ini akan menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam mengelola sumber daya air di Indonesia. Kesepakatan kerja sama oleh kedua negara ini juga menunjukkan ikatan persahabatan dan hubungan yang semakin erat antara Indonesia dan Australia. Meskipun menghadapi pasang surut hubungan. Indonesia dan Australia seakan tidak dapat dipisahkan karena adanya kepentingan bersama yang mendorong kedua negara untuk terus berupaya memperbaiki dan memperkuat hubungan bilateral yang telah terjalin erat sebelumnya.
ADVERTISEMENT