Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Kenapa Selingkuh Lebih Viral daripada Korupsi?
6 April 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya arus informasi, sering kali perhatian kita teralihkan ke hal-hal yang sensasional. Salah fokus—atau salfok—jadi kebiasaan digital yang berubah menjadi budaya. Dalam dunia yang dikuasai algoritma klik, kita mudah sekali teralihkan oleh judul-judul yang menjanjikan drama, terutama yang mengandung kata "selingkuh".
ADVERTISEMENT
Setiap kali ada kasus korupsi, kita seperti kesulitan untuk benar-benar marah. Tapi begitu muncul skandal seks, terutama yang melibatkan tokoh publik, amarah kita tumpah ruah. Media sosial penuh dengan caci maki, meme berseliweran, dan ruang diskusi tiba-tiba hidup. Mengapa?
Mungkin karena korupsi dianggap terlalu abstrak, terlalu rumit, atau terlalu jauh dari kehidupan kita. Tapi selingkuh? Emosinya akrab. Imajinasinya liar. Lagipula, rasanya lebih asyik membicarakan ‘siapa tidur dengan siapa daripada siapa menggelapkan anggaran’.
Padahal dalam beberapa kasus, skandal seksual hanyalah pintu masuk untuk menutupi skandal sesungguhnya—skandal kekuasaan. Kita tahu ini bukan hal baru. Sejarah politik Indonesia dipenuhi dengan tabir-tabir moral yang sengaja digelar untuk menyembunyikan borok struktural.
Terakhir, kasus yang menimpa Ridwan Kamil, kita juga disuguhi drama serupa. Isu korupsi bantuan Keuangan Jawa Barat tahun 2017-2019 tenggelam, yang viral justru selingkuhannya. Seolah ranjang lebih penting dari uang rakyat.
ADVERTISEMENT
Korupsi dan Tubuh Perempuan
Laporan ICW menunjukkan korupsi di sektor anggaran dan infrastruktur tetap jadi ladang basah. Tapi tak banyak dari kasus ini yang viral. Kita lebih reaktif pada tubuh dan hasrat, daripada data dan struktur.
Padahal, nilai yang dirampok di sektor anggaran dan infrastruktur ini tidak main-main. Sepanjang tahun 2023 saja, ICW mencatat potensi kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp28,4 triliun. Proyek fiktif dan penyalahgunaan anggaran mendominasi, terutama di sektor infrastruktur yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Dari total 791 kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2023, sekitar 21 persen berasal dari sektor infrastruktur.
Sayangnya, angka-angka ini kalah populer dibanding berita skandal seksual: siapa yang tidur dengan siapa, ketimbang kejahatan yang nyata tapi tersembunyi di balik angka.
ADVERTISEMENT
Apalagi kalau melibatkan perempuan. Dalam skandal, perempuan sering jadi sasaran utama: tubuhnya dihakimi, reputasinya dihancurkan. Sementara laki-laki yang terlibat, sering tetap bisa bertahan—di politik, bisnis, bahkan hiburan.
Menurut saya, ini bukan cuma soal moral, tapi kontrol patriarkal terhadap tubuh perempuan. Ia dijadikan simbol kehormatan kolektif. Ketika “jatuh”, seolah meruntuhkan seluruh nilai komunitas. Di sinilah jebakannya: kita lebih cepat marah pada tubuh perempuan yang dianggap menyimpang, daripada pada sistem yang mencuri masa depan. Perempuan jadi pengalih perhatian ideal—memuaskan imajinasi publik dan menutupi isu struktural.
Lihat saja kasus Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tambang timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. Nilai kerugian negaranya fantastis—diperkirakan mencapai Rp271 triliun. Tapi alih-alih membahas kebijakan, tata niaga, atau sistem pengawasan tambang, ruang publik malah dipenuhi obrolan tentang gaya hidup, cincin kawin, jet pribadi, dan ketika suami istri itu berpelukan di depan ruang sidang.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, kita lebih sibuk membicarakan siapa yang pakai tas mahal daripada siapa yang merampok masa depan rakyat. Kasus ini sempat viral, tapi lebih karena status artis sang istri, bukan karena skala kerugian negaranya.
Butuh Energi Intelektual?
Mungkin, karena kemarahan terhadap korupsi butuh energi intelektual. Butuh upaya memahami sistem. Sementara kemarahan terhadap skandal seks bisa datang instan, cukup dengan klik. Ia tak menuntut riset, hanya butuh rasa ingin tahu yang digelitik.
Kemarahan pada korupsi tak bisa hanya bersandar pada rasa, ia perlu logika. Ia butuh pembacaan terhadap struktur: bagaimana uang negara mengalir, siapa yang memetik untung, dan kenapa sistemnya dibiarkan cacat. Kita harus paham apa itu APBN, bagaimana proses pengadaan proyek, sampai ke celah hukum yang memungkinkan korupsi terjadi.
ADVERTISEMENT
Tak heran jika banyak orang memilih jalan pintas: marah pada moral individu lebih mudah daripada membedah sistem yang kompleks. Kita ‘dipaksa’ untuk berpikir cepat, bukan berpikir dalam. Maka tak heran jika kita kehilangan kemampuan untuk marah secara cerdas.
Penutup
Namun, jika kita terus memilih marah pada hal yang salah, dan diam pada hal yang semestinya membuat kita gusar, lama-lama kita kehilangan arah. Kita menjadi masyarakat yang cerewet pada moral orang lain, tapi cuek pada moral bernegara.
Jadi kenapa selingkuh lebih viral daripada korupsi? Karena ia memuaskan rasa ingin tahu yang instan, menggoda emosi tanpa perlu logika, dan menyentuh imajinasi kolektif tentang moral, cinta, dan tubuh.
Sementara korupsi—meski merampok masa depan kita—terlalu sunyi, terlalu kompleks, dan tidak cukup seksi untuk jadi bahan obrolan warung kopi. Kita sedang hidup dalam algoritma yang membentuk kemarahan, bukan mendidiknya.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya kita mengubah arah klik kita, Mak. Bukan hanya pada skandal asmara, tapi juga pada skandal anggaran. Karena perubahan, seperti juga cinta, perlu perhatian.***