Konten dari Pengguna

Tradisi Puter Kayun dan Watudodol: Melestarikan Budaya Lokal di Era Modern

LAILIA ARDHA PRAMESTI
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember
13 Desember 2024 14:45 WIB
Ā·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari LAILIA ARDHA PRAMESTI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber pribadi
ADVERTISEMENT

Menyebut Watudodol tak lepas benak kita dari Banyuwangi, begitu pula bagi masyarakat Boyolangu saat menyebut Buyut Jakso secara otomatis teringat pada tradisi Puter kayun.

Puter kayun merupakan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Boyolangu tepatnya di Kecamatan Giri, Banyuwangi, Jawa Timur. tradisi ini tercipta karena perjalanan ki martojoyo atau dengan nama islaminya "syekh ali murtadho, beliau merupakan enam bersaudara diantaranya:
ADVERTISEMENT
Mereka adalah anak kandung Mas Purbo (pangeran danurejo) cucu Prabu Tawang Alun (syekh abdul karim). Saat itu para keturunan tawangalun ini tertumpas oleh penjajah hanya Prabu Agung Wilis dan Ki Martojoyo yang bertahan hidup. melihat saudara dan orang tuanya telah dihabisi oleh penjajah, Prabu Agung Wilis memutuskan pergi ke suatu bukit melakukan sebuah ritual yaitu tapa muksa, kemudian Ki Martojoyo sendiri memilih mengasingkan diri menghilangkan tedak kerajaanya menyamar sebagai rakyat biasa dan bertani di sebuah pegunungan yg bernama gunung Silangu (sekarang Boyolangu) dengan merawat dua ekor kerbau, pada tahun 1760an tepat pada masa kepemimpinan Mas Alit (bupati pertama banyuwangi). Di tahun itu telah terjadi upaya besarĀ²an di banyuwangi untuk membongkar gunung yg terletak di pinggir pantai untuk dijadikan sebuah akses jalan, namun upaya tersebut gagal dan banyak menelan korban jiwa dikarenakan gunung tersebut dipercaya adalah tempat kerajaan jin yang sangat besar. tentu saja menimbulkan aura yang sangat angker dan otomatis siapapun yang merusak/membongkar tempat itu berurusan dengan para penunggu di sana.
ADVERTISEMENT
Setelah begitu banyak warga meninggal dalam upaya pembongkaran batu gunung tersebut, akhirnya bupati Mas Alit memerintahkan dua ajudan untuk mencari orang sakti artinya orang yang mampu mengatasi raja jin yang menghuni gunung pinggir pantai itu, kebetulan salah satu ajudan mengetahui dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri soal keampuhan Ki martojoyo, ajudan ini pernah dikejutkan saat sedang berteduh dibawah pohon besar, melihat Ki Martojoyo sedang merumput di depanya, hal yang aneh dan membuatnya terheran-heran saat melihat Ki Martojoyo di guyur hujan yg begitu lebat namun tidak ada satu tetes air hujan pun yang membasahi tubuhnya,kemudian si ajudan bertanya "njenengan sinten asmane?, manggen teng pundi?" siapa nama anda, dan dimana anda tinggal?".. dengan berjalan sambil membungkukan kepala ki martojoyo menjawab dengan suara lembut "kulo martojoyo manggen teng gumuk silangu" (saya martojoyo bertempat tinggal di gumuk silangu, gumuk yang artinya bukit atau gunung. mengingat kejadian itu ajudan ini langsung saja bergegas mencari kediaman Ki Martojoyo ke gunung silangu yang sekarang menjadi desa Boyolangu, saat itu karena Boyolangu masih sebuah bukit tentu saja perjalanan menuju kediaman Ki Martojoyo dengan medan yang penuh bebatuan dan tanjakan oleh itu hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sesampainya di tempat tinggal Ki Martojoyo ketika ajudan hendak mengungkapkan tujuan menemuinya Ki Martojoyo mendahului bicara dan sudah membaca apa yang menjadi tujuan si ajudan,"mohon maaf anak muda saya tidak bisa melakukan hal itu tolong sampaikan kepada Mas Alit" kata ki martojoyo dengan santun, mendengar itu si ajudan dibuat heran untuk yg kedua kali si ajudan semakin yakin kalau ki martojoyo adalah orang berilmu dan orang yang mampu mengatasi raja jin batu pinggir pantai, tak mau pulang begitu saja si ajudan berusaha meminta belas kasih Ki Martojoyo supaya mau membantu upaya membongkar batu gunung pinggir pantai itu.
ADVERTISEMENT
dengan menceritakan sudah banyaknya warga yang meninggal dalam upaya ini akhirnya muncullah rasa peduli Ki Martojoyo mendengar ceritanya dan akhirnya mau membantunya, kemudian di panggilah anak angkatnya karena menurut Ki Martojoyo dialah yang lebih ahli menaklukan jin karena kelebihan yang menguasai alam jin, jadi sebelum ki martojoyo menempati gunung silangu ini sudah ada anak muda yang lebih dulu berada di bukit ini, namun dia tidak setiap hari berada di bukit silangu, anak mudah ini kerap berdiam diri di alas kidul yaitu alas purwo, karena usianya yang jauh lebih mudah dari ki martojoyo akhirnya pemuda ini di jadikanlah anak angkatnya,sampai sekarang tidak ada yang tau siapa nama asli anak mudah itu, seperti sengaja dirahasiakan namanya dan asal usulnya hanya mengaku kalau dirinya adalah anak keturunan dari singosari ,dia adalah orang yang tak banyak bicara ki buyut jakso sudah memahami karakternya yang keras dan tak suka banyak bicara .. Mereka berdua selalu melakukan shalat 2 rakaat di atas batu pinggir sungai di bukit silangu ini setiap bulan purnama, dan berdzikir hingga berhari-hari.
ADVERTISEMENT
Kemudian di depan ajudan Ki Buyut Jakso memerintah anak angkatnya untuk mendatangi dan menaklukan raja jin di gunung yg terletak di tepi pantai tersebut dengan menceritakan kembali bahwa sudah banyak memakan nyawa atas angkara para jin di sana. mendengar ini si pemuda gagah tersentuh hatinya ,tanpa bicara dia langsung bergegas mendatangi kerajaan jin di sana. saat sampai di gunung itu sang pemuda singosari ini mengadakan komunikasi langsung kepada raja jin dia berkata dengan tegas, "jika ada korban jiwa lagi dalam pembongkaran gunung ini kerajaanmu akan aku musnahkan dan kau raja jin akan ku lenyapkan pula". tanpa melawan karna dahsyatnya energi suara yang keluar dari pemuda ini menggoncangkan kerajaan besarnya, akhirnya raja jin langsung bertekuk lutut dan meminta ampun kepadanya sambil memohon "jika dibongkar gunung ini tolong sisakan satu batu untuk dijadikan tempat tinggal dan kujadikan tempat kerajan disana,. pemudah sakti ini lalu mengiyakan permohonanya, sampai saat ini batu tersebut masih berdiri tegak terletak di tengah jalan. kemudian dia juga ikut membantu warga membongkar gunung sedikit demi sedikit untuk membuka jalan antara banyuwangi dan situbondo, yang kata orang banyuwangi "ndondol" artinya menjebol hingga kini area itu di sebut WATU DODOL, lalu pemuda singosari kini juga dijuluki buyut kapluk, kapluk dari kata ngepluk yang artinya memecah, karena beliau yg memimpin warga saat memecah batu-batu gunung setelah menaklukan raja jin.
ADVERTISEMENT
Foto pesisir selatan Banyuwangi tahun 1910. Sumber Leiden University Libraries
makam buyut kapluk juga berada di desa Boyolangu hingga kini masih di jaga anak keturunanya. Sepeninggal buyut kapluk (singosari) warga Boyolangu selalu mendatangi Watu dodol sambil membawa tumpeng guna mengingat perjuangan buyut kapluk dan mengadakan syukuran di Watudodol sebagai wujud rasa syukurnya kepada allah swt atas segala nikmat dan rezeki yang dilimpahkan di desanya. lalu seiringnya zaman karena mayoritas penduduk Boyolangu bekerja sebagai kusir otomatis hampir semua penduduk boyolangu memiliki kuda dan dokar. Warga boyolangu beramai-ramai mendatangi watudodol setiap 10 syawal sambil membawa dokar untuk dijadikan kendaraan /alat transportasinya,hingga tak terhitung jumlah dokar di boyolangu pada waktu itu. 10 syawal adalah hari yang sudah disepakati bersama oleh warga boyolangu untuk mengunjungi watudodol dan syukuran di sana. karena semua kusir saat hari raya 1-10 hari adalah waktu libur mereka bekerja alias tidak mengoperasikan dokar kudanya dan memulai kerja kemali serentak hari ke 11 syawal, jadi selain mengenang leluhurnya masyarakat boyolangu juga selamatan berdoa supaya diberi keselamatan dan rizki saat kembali bekerja besok harinya,seiring berkembanya jaman kini perjalanan ke watu dodol dengan berkendara dokar yang dilakukan warga desa boyolangu diberi nama PUTERKAYUN yang kini telah menjadi tradisi warga boyolangu.
Arak-arakan Kebo-keboan Boyolangu. Sumber pribadi
selain puterkayun yang dijadikan tradisi juga ada tradisi kebo-keboan yang tidak kalah menarik perhatian warga lain saat diselenggarakan.tradisi ini juga tercipta karena warga boyolangu yang mengenang cerita ki buyut jaksa yang bertani di bukit Silangu ini dengan merawat dua ekor kerbau dulunya. Kebo-keboan ini adalah karya warga dengan membuat dua kepala kerbau dari rotan dan kain di bentuk semirip mungkin layaknya kepala kerbau asli,setiap setahun sekali kebo-keboan ini dikeluarkan untuk mengelilingi desa (di arak) dengan dilengkapi singkal dan pengendalinya selayak petani yang sedang membajak sawah dengan dua ekor kerbaunya, sambil diiringi banyaknya warga. dua orang yang memasukan kepalanya ke dalam kepala kerbau buatan ini atau pemeran kebo-keboan sering sekali mengalami kerasukan pada saat berjalan mengelilingi desa. Acara ini sudah menjadi tradisi yang tak perna tertinggalkan setiap tahunya,tak lain sebagai bentuk rasa syukur warga kepada allah swt atas kesuburan tanah di desanya dan rezeki pangan yang diberikan dari hasil buminya,kemudian juga untuk mengenang buyut jaksa sebagai orang pertama yang bertani di tanah boyolangu.
Arak-arakan kebo-keboan Boyolangu. Sumber pribadi
Karena tak sedikit masyarakat boyolangu yang bertani setelah sepeninggal ki martojoyo hingga sekarang. Jadi dulunya masyarakat boyolangu ini mayoritas bekerja sebagai kusir dan petani,tak heran jika puterkayun dan kebo-keboan telah menjadi tradisi bersejarah di boyolangu. Acara ini diselenggarakan setiap tahunya di Boyolangu dan menjadi acara yang di nanti-nanti oleh warga sebagai anak cucu dari Ki Buyut Kapluk (singosari) dan Ki Martojoyo alias buyut jakso.
ADVERTISEMENT
Author by Darmadi