Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Militer dan Politik di Indonesia dari Masa ke Masa: Orde Lama-Reformasi
12 Desember 2021 22:23 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Lalu Agung Haris Atmaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan lalu tepatnya 5 Oktober 2021 merupakan hari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semua orang memeringatinya dengan hikmat, namun tahukah kamu mengenai reformasi yang pernah dialami TNI hingga menjadi TNI seperti sekarang?
ADVERTISEMENT
Lalu apakah militer dan politik memiliki hubungan satu sama lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab setelah kamu membaca tulisan ini.
Reformasi TNI, ungkapan yang mungkin jarang terdengar di khalayak ramai. Tetapi penghapusan Dwi Fungsi ABRI sudah pasti familiar di telinga kita.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia menetapkan fungsi dari TNI adalah dalam bidang pertahanan dan keamanan serta tidak bisa terlibat dalam urusan politik.
Jika dahulu seorang tentara memiliki fraksi tersendiri di DPR maka setelah undang-undang ini muncul tentara aktif hanya boleh memilih di satu tempat saja, apakah akan bertahan di politik atau di bidang militer.
Penghapusan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bertujuan untuk memfokuskan peran TNI sebagai garda terdepan pertahanan dan keamanan negara. Pemisahan tersebut membagi ABRI menjadi dua institusi yaitu TNI dan POLRI. TNI fokus pada ancaman militer dari dalam dan luar negeri. Sedangkan POLRI bertugas menjaga keamanan dalam negeri serta mengayomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penghapusan Dwi Fungsi bertujuan untuk memisahkan antara urusan politik dan militer. Meskipun keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.
Setidaknya ada 4 tahapan yang menggambarkan bagaimana keterlibatan militer dalam perpolitikan di Indonesia diantaranya;
Politik dan Militer pada Masa Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Pada masa ini kondisi politik di Indonesia masih belum stabil karena sering terjadi perubahan kabinet dan beberapa konflik politik yang terjadi. Bahkan terjadi beberapa tindak korupsi yang menyebabkan rakyat Indonesia ingin segera melakukan pemilihan umum untuk parlemen.
Nah, keinginan inilah yang memicu terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa ini merupakan kejadian bersejarah di mana terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan sebagian TNI AD dengan tuntutan untuk menghapus parlemen.
Mengapa demikian?, TNI mengalami perpecahan antara dua kubu. Kubu pertama ingin melakukan perubahan dengan memfokuskan diri pada bidang pertahanan dan keamanan. Sedangkan kubu lainnya menginginkan peran ganda bagi TNI baik di politik maupun militer. Karena perbedaan pendapat ini menyebabkan konflik yang cukup besar di kalangan TNI sehingga menyebabkan A.H. Nasution harus di pecat dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Terjadi demonstrasi TNI yang menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) untuk dihapuskan karena DPRS dianggap setuju untuk memfokuskan ABRI hanya di bidang keamanan. Selain itu, masa berpendapat bahwa DPRS seharusnya tidak ikut campur terlalu jauh dalam permasalahan yang di hadapi oleh TNI. Mereka menegaskan tugas DPRS adalah membuat perundang-undangan serta mengadakan pemilu.
Demonstrasi juga dilakukan karena terdapat dugaan adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh DPRS. Namun aksi tersebut tentu saja tidak bisa membubarkan DPRS. Tetapi lembaga ini akhirnya tetap dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 DPRS untuk menjaga kestabilan nasional.
Di waktu bersamaan, A.H. Nasution menawarkan solusi melalui jalan tengah di mana tentara aktif boleh terlibat dalam politik. Keputusan yang diambilnya ini bertujuan untuk meredam konflik di dalam tubuh militer.
ADVERTISEMENT
Politik dan Militer pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1968)
Pada masa demokrasi terpimpin terjadi persaingan antara militer dengan salah satu partai politik. Apalagi terlihat jelas bahwa Presiden Soekarno lebih condong berpihak kepada partai daripada militer. Oleh karena itu, militer juga semakin memperkuat pengaruhnya dengan menduduki berbagai jabatan kepala daerah mulai dari kepala desa, bupati sampai gubernur. Akibatnya banyak tentara aktif yang menjadi kepala daerah.
Politik dan Militer pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Presiden Soeharto menerapkan kebijakan Dwi Fungsi ABRI sebagai kelanjutan dari ide jalan tengah A.H Nasution. Hal ini didukung dengan latar belakang Soeharto yang berasal dari militer, berbeda dengan Presiden Soekarno yang merupakan seorang nasionalis.
Presiden Soeharto juga membuat beberapa kebijakan mengenai Dwi Fungsi ABRI; tentara yang aktif boleh bergabung dengan fraksi militer di DPR. Hal ini semakin memperkuat posisi dan pengaruh militer. Tidak hanya memiliki fraksi di DPR, militer juga bertugas sebagai stabilitator dan dinamisator. Militer dijadikan sebagai alat promosi pemerintahan karena tingginya kepercayaan masyarakat kepada anggota militer.
ADVERTISEMENT
Politik dan Militer pada Masa Reformasi (1998-Sekarang)
Setelah runtuhnya pemerintah orde baru, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan para petinggi ABRI sepakat untuk menghapus Dwi Fungsi yang intinya sebagai berikut:
1. ABRI tidak boleh menjadi alat kekuasaan.
2. Menghapus fraksi militer di DPR.
3. Tidak mengizinkan militer aktif terlibat dalam jabatan sipil.
4. Memecah ABRI menjadi dua institusi yaitu, TNI dan POLRI.
Pada masa reformasi, militer fokus pada bidang pertahanan dan keamanan serta diharuskan untuk bersikap netral dalam urusan politik.
Nah itulah penjelasan singkat mengenai hubungan antara militer dan politik di Indonesia dari masa ke masa.
Bagaimana menurutmu, apakah militer sebaiknya boleh ikut serta dalam urusan politik atau tidak?
ADVERTISEMENT