Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Pemilu Demokratis dapat Menghasilkan Pemimpin Tiranis?
14 Januari 2024 14:39 WIB
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Majunya Gibran Rakabuming Raka —anak sulung Presiden Joko Widodo— dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai cawapres sangat mengejutkan masyarakat. Konstitusi mengenai syarat minimal usia capres dan cawapres berhasil dilangkahi secara legal namun nir-etik lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kala itu diketuai oleh Anwar Usman —paman Gibran dan adik ipar Jokowi. Walaupun Majelis Kehormatan MK mencopot Anwar Usman dari jabatannya karena putusan tersebut, namun hal ini hanya menjadi angin lalu bagi Gibran yang tetap dapat melenggang dalam kontestasi pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam istilah politik, fenomena di atas disebut sebagai legalisme autokrasi , yaitu pembajakan mekanisme konstitusi oleh pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan di tangan anggota kelompoknya. Tentu, fenomena ini sangat kontradiktif dengan ekspektasi dunia pada 10 tahun lalu ketika Jokowi baru saja memulai rezimnya. Bahkan, kala itu sampul Majalah TIME edisi 27 Oktober 2014 menyebutnya sebagai “A New Hope” atau harapan baru untuk demokrasi.
Akan tetapi, hal yang lebih mengejutkan lagi adalah sikap permisif masyarakat terhadap manuver Jokowi ini. Walau indeks demokrasi Indonesia tergolong cacat (6,71), tingkat kepuasan terhadap rezim Jokowi justru memelesat (81-82%). Hal ini juga tampak dalam berbagai survei elektabilitas yang selalu menempatkan paslon Prabowo-Gibran pada posisi teratas. Lalu, mengapa hal ini dapat terjadi? Apakah sebagian besar masyarakat Indonesia justru tidak menginginkan demokrasi?
ADVERTISEMENT
Siklus Politik
Salah satu pandemi kognitif masyarakat adalah menganggap segala sesuatu “sudah ada dari sananya”, tak terkecuali sistem demokrasi yang kini kita rasakan. Alih-alih perjuangan, tidak sedikit masyarakat yang mengira demokrasi sebagai hasil dari menadahkan tangan. Maka, tidak heran jika terdapat anggapan bahwa hanya pemimpin kuatlah yang dapat membuat Indonesia bermartabat.
Platon melalui bukunya, Republik, menggambarkan fenomena psikologis masyarakat di atas sebagai penentu sistem politik suatu wilayah. Sebagai manusia politik, keadaan jiwa masyarakat pada setiap zamanlah yang menyetir siklus sistem politik. Demokrasi, menurut Platon, hanya menjadi salah satu bagian dari siklus ini.
Setidaknya, terdapat lima sistem politik yang membentuk siklus sepanjang sejarah peradaban manusia, yaitu aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Jika menengok ke belakang, tentu model siklus politik Platon ini koheren dengan sejarah Indonesia. Demokrasi pada Masa Reformasi yang kita nikmati saat ini merupakan hasil perjuangan melawan oligarki Orde Baru. Sebagai pengingat, oligarki merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang dari golongan atau kelompok tertentu. Pada masa Orde Baru, sistem ini terejawantahkan dalam praktik-praktik nepotisme yang bahkan terwariskan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Dengan berkaca pada model siklus politik Platon dan fenomena legalisme autokrasi, apakah sistem politik Indonesia akan bergeser menuju tirani?
Transisi Demokrasi-Tirani
Untuk menjawab pertanyaan mengenai potensi transisi demokrasi menuju tirani di Indonesia, kita dapat melakukan studi kasus pada sejarah perpolitikan Jerman dan Filipina.
Republik Weimar —nama Jerman pasca-Perang Dunia I— terbentuk lewat Revolusi November yang berujung pada tumbangnya Kekaisaran Jerman. Hal ini menandai akhir dari sistem politik monarki sekaligus tonggak demokrasi di Jerman. Namun, ‘Masa Reformasi’ Jerman ini hanya bertahan selama 14 tahun. Pada tahun 1933, Partai Nazi dan pemimpinnya, Adolf Hitler, berhasil memenangkan serangkaian pemilu dan menjadi kanselir Jerman. Hal ini mengawali transisi politik Jerman menjadi negara fasis sekaligus menandai akhir dari demokrasinya. Tragisnya, demokrasi tersebut justru berakhir lewat mekanisme khas sistem demokrasi sendiri, yaitu pemilu.
ADVERTISEMENT
Fenomena serupa juga terjadi di Filipina —tetangga dekat Indonesia, bahkan hingga dua kali. Fenomena transisi pertama diawali oleh terpilihnya Ferdinand Marcos lewat pemilu 1965. Marcos merupakan diktator teragung Filipina yang berkuasa selama 21 tahun lewat pembajakan hukum dengan memberlakukan hukum darurat militer (Martial Law). Pada 1986, ia digulingkan oleh kekuatan sipil yang dikenal dengan Revolusi EDSA dan sekaligus menandai kembalinya demokrasi Filipina.
Akan tetapi, pada Pemilu 2022 lalu, mayoritas rakyat Filipina justru memilih anak Ferdinand Marcos, Bongbong Marcos, sebagai presiden. Lebih uniknya lagi, ia berpasangan dengan Sara Duterte —anak sulung Rodrigo Duterte, presiden Filipina sebelumnya yang memiliki tendensi diktator— sebagai wakil presiden. Berbagai pihak, termasuk oposisi, aktivis, akademisi, dan masyarakat khawatir bahwa terpilihnya Bongbong Marcos sebagai presiden akan membawa Filipina kembali pada rezim tirani. Padahal, mereka terpilih (lagi-lagi) melalui mekanisme khas demokrasi, yaitu pemilu.
ADVERTISEMENT
Indonesia Menuju Tirani?
Tepat dalam sebulan ke depan, Indonesia akan menggelar kontestasi demokrasi yang menentukan pemimpin tertinggi selama lima tahun ke depan. Bahkan, berkaca dari dua presiden sebelumnya, besar kemungkinan siapapun presiden yang terpilih akan menjabat selama dua periode hingga 2034 mendatang. Maka, pilihan rakyat pada pemilu kali ini pun akan menentukan sistem perpolitikan Indonesia ke depan.
Tentu, memilih pemimpin merupakan kehendak pribadi. Namun, akumulasi kehendak pribadi ini juga akan berdampak luas bagi negeri. Seperti kata Platon, keadaan jiwa manusia-manusia politiklah yang menentukan sistem politik suatu negara. Artinya, alih-alih tidak berdampak apapun, keterpilihan salah satu dari tiga paslon capres dan cawapres saat ini akan membawa dampak yang berbeda, entah mempertahankan Indonesia pada demokrasi atau mengantarnya pada tirani.
ADVERTISEMENT
Memang, siapapun paslon yang meraih suara mayoritas (50% + 1) pada pemilu kiwari memiliki legitimasi untuk memmimpin negeri ini. Namun, kita perlu mengingat bahwa Adolf Hitler dan Ferdinand Marcos pun mendapatkan legitimasi kekuasaan lewat pemilu. Keterpilihan merekalah yang justru menutup tabir demokrasi di negara masing-masing.
Dengan demikian, kita sebagai rakyat Indonesia dapat menetapkan pilihan secara bijaksana dalam Pemilu 2024 ini. Sadarilah bahwa demokrasi yang saat ini kita rasakan merupakan hasil perjuangan yang berdarah-darah, bukan penadahan tangan yang pasrah.
Waktu seumur hidup saja masih terlalu sedikit untuk umur demokrasi, apalagi Indonesia yang baru melewati pesta perak reformasi.
Dalam mengatasi hal di atas, penting bagi kita untuk menerapkan prinsip minus malum: pemilu tidak ditujukan untuk memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa. Namun, mengapa bukan sebaliknya (maximum bonum)? Sebab, terakhir kali rakyat Jerman melakukan hal serupa, mereka memberi karpet merah bagi Adolf Hitler untuk berkuasa.
ADVERTISEMENT
Maka, prasangka buruk terhadap para paslon sebenarnya berdampak positif bagi demokrasi. Sebab, kekritisan dapat menjadi mekanisme seleksi. Sementara itu, sanjungan menjadi jalan pintas menuju kehancuran demokrasi dan kehadiran tirani.