Konten dari Pengguna

Benarkah Perempuan Penyebab Korupsi?

Leonardo
Panitera untuk mengabadikan yang fana
3 Januari 2024 17:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menko Polhukam Mahfud MD menghadiri pelantikan Amran Sulaiman menjadi Menteri Pertanian di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/10/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menko Polhukam Mahfud MD menghadiri pelantikan Amran Sulaiman menjadi Menteri Pertanian di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/10/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ketika menghadiri Halaqoh Kebangsaan dan Pelantikan Majelis Dzikir Alwasilah pada 17 Desember 2023 lalu, Menkopolhukam yang notabene Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menyebutkan bahwa banyak suami yang terjerumus ke dalam kejahatan disebabkan oleh ketidakbaikan istrinya.
ADVERTISEMENT
Lebih spesifik, ia juga menyatakan bahwa banyak koruptor yang masuk penjara karena tuntutan istrinya. Bukan tanpa alasan, Mahfud menyatakan hal itu di hadapan ibu-ibu yang menjadi mayoritas audiens dari acara tersebut.
Akan tetapi, pernyataan ini kemudian menimbulkan kontroversi, tak terkecuali di media sosial. Banyak pihak, terutama dari kalangan pegiat hak perempuan, aktivis antikorupsi, hingga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengkritik pernyataan ini.
Pernyataan Mahfud tersebut dianggap seksis bahkan misoginis, seolah-olah ingin mengatakan bahwa perempuan bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, pernyataan Mahfud juga cenderung mereduksi masalah korupsi yang sistematis sebagai kesalahan perempuan belaka. Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antara kehadiran perempuan terhadap korupsi?

Petty Corruption

Dalam kesempatan Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Pemuda ICW pada akhir Agustus 2023 lalu, Wakil Ketua KPK periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, mengatakan bahwa KPK hanya dapat menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian di atas 1 miliar rupiah. Beliau menyatakan bahwa penanganan satu kasus korupsi, mulai dari penyidikan hingga eksekusi putusan hakim, menelan biaya paling sedikit 1 miliar rupiah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, akan menjadi tidak logis apabila penanganan yang ditujukan untuk merehabilitasi kerugian negara dilakukan dengan biaya yang lebih besar dari nilai kasusnya. Maka, ketika kasus korupsi mantan Ketua DPD, Irman Gusman, yang “hanya” bernilai 100 juta rupiah mencuat, hal ini menjadi tanda tanya besar bagi publik.
Korupsi skala kecil ini dikenal dengan istilah "petty corruption". Jika dibandingkan dengan korupsi kelas kakap (grand corruption) nilai kerugian negara dari petty corruption cenderung kecil, yaitu di bawah 1 miliar rupiah. Praktiknya pun acap kali dilakukan dalam konteks pelayanan publik, seperti suap, gratifikasi, atau pungli. Namun, karena nilainya yang kecil ini pula, petty corruption kerap kali tidak terjamah oleh KPK karena alasan kalkulasi teknis sehingga cenderung dibiarkan.
ADVERTISEMENT
Padahal, petty corruption yang dilakukan secara masif pun dapat menimbulkan kerugian negara yang serupa dengan grand corruption. Selain itu, hal ini juga membentuk kebiasaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat dan sikap permisif masyarakat. Hanya diperlukan waktu bagi petty corruption untuk bertransformasi menjadi grand corruption.
Oleh karena itu, aspek preventif atau pencegahan sangat dibutuhkan sebagai solusi bagi petty corruption. Lalu, bagaimana hal ini dilakukan sementara KPK tidak memiliki alasan logis untuk melakukannya?
Wakil Ketua KPK Periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, dalam Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Pemuda ICW, Jumat (25/08/2023). Sumber: Dokumentasi ICW

Perempuan dan Korupsi

Walaupun berbagai penelitian belum dapat menemukan kesimpulan kokoh mengenai hubungan antara perempuan dan korupsi, namun studi Bauhr dkk. (2019) memberikan beberapa temuan menarik. Penelitian yang dilakukan pada 85.000 masyarakat Eropa ini menemukan bahwa peningkatan proporsi anggota legislatif daerah perempuan berhubungan dengan penurunan petty corruption.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hanya <10% penduduk yang mengalami petty corruption dalam pelayanan publik di daerah dengan keterwakilan perempuan di legislatif melebihi 30%. Sebaliknya, petty corruption 3,5 kali lebih mungkin terjadi ketika representasi perempuan di ranah legislatif berada pada titik terendah.
Sebagai penelitian korelasional, tentu riset ini belum dapat menjelaskan kausalitas atau hubungan sebab-akibat kehadiran perempuan terhadap pencegahan korupsi. Namun, dapat disimpulkan bahwa kehadiran perempuan berhubungan positif dengan pencegahan korupsi. Semakin tinggi representasi politis perempuan, semakin rendah pula kemungkinan terjadinya kasus korupsi.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran perempuan dapat menjadi solusi dari titik buta penanganan petty corruption. Ketika mekanisme penegakan hukum tidak dapat memberikan kebijakan kuratif, kehadiran perempuan menyediakan langkah preventif. Saat KPK terlalu sibuk mengejar nilai kerugian yang besar, perempuan berperan sebagai “lembaga antirasuah” yang mencegah akumulasi kerugian yang tak kalah akbar.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, budaya patriarki tampaknya menjadi penghalang terbesar untuk solusi keterwakilan perempuan ini. Perempuan kerap kali menjumpai berbagai stigma negatif dalam politik, seperti tidak kapabel, terlalu emosional, hingga tidak rasional. Bahkan, pencalonan perempuan oleh parpol kerap kali hanya dilakukan untuk memenuhi syarat keterwakilan 30% sebagai peserta pemilu.
Tidak sedikit caleg perempuan yang dikondisikan untuk kalah dengan dicalonkan di luar basis partainya. Maka, tidak mengherankan apabila rasio keterpilihan perempuan di ranah politik nasional tidak pernah mencapai 30%. Di sisi lain, perempuan yang berhasil meraih jabatan politik pun tidak lepas dari objektifikasi. Alih-alih berdasarkan gagasan, politikus perempuan dihargai berdasarkan penampilannya belaka.
Pernyataan tersebut dikhawatirkan dapat mendegradasi tingkat keterwakilan perempuan dalam politik yang saat ini sudah cenderung rendah. Lebih dari itu, pernyataan tersebut juga maladaptif terhadap upaya pencegahan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT