Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pilpres 2024: Ajang Membentuk Massa atau Civil Society?
6 Januari 2024 16:23 WIB
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Proses Pilres 2024 telah memasuki masa kampanye sejak 28 November 2023 lalu. Kini, para paslon masih memiliki waktu kurang lebih 1 bulan lagi untuk menggaet suara masyarakat sebanyak-banyaknya. Persis, inilah yang menjadi salah satu ciri khas dari demokrasi, yaitu kumpulan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Demokrasi menjadikan suara mayoritas sebagai legitimasi bagi sistem pemerintahannya. Hal ini tampak dalam syarat keterpilihan paslon, yaitu 50% + 1 suara agar dapat menjalankan kekuasaan. Maka, tidak mengerankan apabila paslon melalui tim suksesnya berlomba-lomba mengklaim kehadiran ribuan hingga jutaan orang dalam kampanyenya. Namun, apakah kumpulan orang banyak serta-merta membuat jalannya demokrasi menjadi baik?
Massa dan Civil Society
Dalam demokrasi, setidaknya terdapat dua jenis kumpulan orang banyak, yaitu massa dan civil society (masyarakat madani). Dua istilah ini tampak serupa dan seolah-olah dapat saling dipertukarkan. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara massa dan civil society.
Massa merujuk pada kumpulan orang yang sifatnya pragmatis. Artinya, kolektivitas yang terbentuk digerakan secara otoritatif oleh pihak luar dalam bentuk provokasi dan manipulasi. Maka, massa kerap kali digunakan sebagai alat untuk tujuan tertentu sehingga mereka yang tergabung di dalamnya bersifat submisif.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan massa, civil society merujuk pada kumpulan orang yang didasari oleh kesadaran akan hak komunal dalam demokrasi. Maka, gerakan yang terbentuk akan selalu berada dalam bingkai moral dan tanpa kekerasan. Selain itu, civil society juga bersifat inklusif untuk motivasi kemanusiaan yang lebih luas (Res Publica).
Namun, dua jenis kumpulan orang banyak tersebut bersifat dinamis dan tidak ajek. Artinya, gerakan civil society dapat berubah menjadi massa dan sebaliknya karena alasan-alasan tertentu. Perubahan ini salah satunya dapat terjadi karena alasan sejarah yang membentuk psikologi masyarakat.
Pascakolonialisme dan Inferiority Complex
Pada saat ini, masyarakat Indonesia sedang memasuki era pascakolonialisme. Penjajahan ratusan tahun secara bergilir oleh bangsa-bangsa asing telah membentuk kepribadian inferior dalam diri masyarakat Indonesia. Sistem pembagian kelas sosial oleh penjajah membuat bangsa Indonesia menginternalisasi mentalitas kelas terbawah. Hal ini tampak dalam pola perilaku masyarakat dalam berbagai segi kehidupan, seperti preferensi ekstrem terhadap produk, institusi pendidikan, bahkan pasangan dari luar negeri. Dalam segi kehidupan politik dan bernegara, mentalitas ini muncul dalam kerinduan untuk memiliki pemimpin yang kuat.
ADVERTISEMENT
Kerinduan tersebut secara implisit mencerminkan inferiority complex , yaitu keinginan yang tidak disadari untuk ditindas. Selain aspek sejarah, terbentuknya mentalitas ini juga dapat disebabkan oleh kondisi kehidupan masyarakat saat kini. Berbagai bentuk marginalisasi dan deprivasi (kemiskinan, intoleransi, diskriminasi, dll.) membuat kerinduan akan kebebasan menjadi tidak relevan. Demi pemenuhan akan berbagai kekurangan tersebut, masyarakat rela menggadaikan kebebasannya kepada figur yang kuat (otoriter/diktator).
Padahal, dengan menggadaikan kebebasan tersebut, masyarakat juga mengalami deindividuasi dan menjadi anonim karena kehilangan identitasnya. Identitas yang menjadi ciri unik dalam diri manusia telah menguap dalam kolektivitas ilusif yang disetir oleh kepentingan pihak luar. Semua hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pemimpin yang kuat justru mencermikan kelemahan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Refleksi Pilpres 2024
Dalam kehidupan politik di Indonesia, lebih sulit untuk membentuk civil society dibandingkan dengan massa. Menjamurnya nepotisme, oligarki, buzzer, politik uang, hingga dinasti menjadi contoh dari massa yang digunakan dalam rangka meraup suara demi mendapatkan legitimasi untuk berkuasa. Walaupun terdiri dari kumpulan orang banyak, kehadiran massa tentu tidak serta-merta mencerminkan demokrasi yang baik.
Jika tidak kritis, masyarakat akan terjebak dalam ilusi bahwa dukungan orang banyak terhadap paslon tertentu menandakan kelayakan mereka untuk memimpin negara ini. Padahal, pemimpin yang mendapatkan legitimasi dari massa sangat berpotensi untuk menjadi pihak yang benar-benar berbeda dari apa yang diharapkan.
Maka, penting bagi masyarakat untuk menguliti: apakah dukungan-dukungan kepada para paslon berasal dari massa atau civil society?
ADVERTISEMENT
Memilih pemimpin dengan massa yang kuat justru hanya akan melanggengkan kelemahan dalam masyarakat.