Konten dari Pengguna

RUU Perampasan Aset dan Pemulihan Distorsi Kognitif

Leonardo
Panitera untuk mengabadikan yang fana
14 April 2024 1:31 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Eks Menkopulhukam notabene Ketua Komite TPPU, Mahfud MD, mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI. Sumber: Rivan Awal Lingga/ANTARA.
zoom-in-whitePerbesar
Eks Menkopulhukam notabene Ketua Komite TPPU, Mahfud MD, mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI. Sumber: Rivan Awal Lingga/ANTARA.
ADVERTISEMENT
Hukum mati saja para koruptor!”, mungkin menjadi reaksi yang paling sering dilontarkan masyarakat Indonesia ketika melihat berita mengenai ringannya vonis hukuman bagi koruptor. Masa tahanan koruptor yang terus menurun seiring dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru —Pasal 603— membuat masyarakat tidak puas. Hukuman yang diberikan dinilai tidak sepadan dengan kerugian yang diakibatkan. Namun, inilah letak kekeliruan terkait upaya pemberantasan korupsi yang payahnya diamini oleh paradigma hukum perundang-undangan Indonesia.
ADVERTISEMENT

Paradigma Retributif

Paradigma hukum retributif memprioritaskan pemberian hukuman setimpal terhadap pelaku sesuai dengan kejahatan yang dilakukan sebagai bentuk rekonsiliasi. Artinya, paradigma ini berfokus pada intervensi terhadap pelaku dengan tujuan tertentu —misalnya memberikan efek jera.
Kerugian yang dialami korban seolah-olah dianggap selesai jika pelaku mendapatkan hukuman berat, seperti hukuman mati. Hal ini seakan-akan menjadi solusi walaupun pada kenyataannya kosong sama sekali.
Dalam sistem hukum perundang-undangan di Indonesia, khususnya KUHP lama (Wetboek van Strafrecht), paragdigma retributif ini sangat kental. Tidak hanya itu, dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mengenai tipikor pun masih mengabdi pada paradigma tersebut. Bahkan, lebih mendekati paradigma permisif karena menurunkan hukuman minimal koruptor menjadi dua tahun.
ADVERTISEMENT

Distorsi Kognitif

Ilustrasi distorsi kognitif. Sumber: iStock.
Paradigma hukum retributif merefleksikan distorsi kognitif dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Distorsi kognitif merupakan cara berpikir yang membuat seseorang mempersepsikan realitas secara keliru. Hal ini biasanya disertai dengan emosi berlebih yang membuat suatu hal tampak rasional, walau sebetulnya sangatlah bias.
Dalam psikologi politik, paradigma retributif mengandung berbagai jenis distorsi kognitif, seperti fallacy of fairness dan overgeneralization. Fallacy of fairness terjadi ketika seseorang berasumsi bahwa segala sesuatu harus diukur berdasarkan prinsip keadilan. Masalahnya, indikator keadilan sendiri sangat subjektif sehingga rentan menghasilkan ketidakadilan. Jika pejabat merugikan negara hingga Rp6 triliun, namun hanya divonis 20 tahun sesuai KUHP baru mengenai hukuman maksimal bagi koruptor; apakah keadilan yang diharapkan dapat terwujudkan?
Di sisi lain, overgeneralization merupakan kesimpulan yang didasarkan hanya pada suatu hal sederhana sehingga cenderung melakukan negasi terhadap kompleksitas realitas. Bentuk ekstrem dari overgeneralization adalah labelling, yaitu asosiasi otomatis terhadap sesuatu yang dihasilkan dari ‘logika’ sempit.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif seseorang yang mengalami distorsi kognitif, cenderung akan terbentuk logika bahwa hukuman terhadap pelaku sama dengan keadilan terhadap korban. Padahal, hal tersebut hanya memuaskan preferensi psikologisnya sebagai penonton alih-alih pembela kepentingan korban. Hukuman mati terhadap koruptor hanya akan menyelesaikan hidupnya, bukan masalah kerugian kekayaan negara yang telah mengalir dan dinikmati oleh kanca-kancanya.
Lalu, bagaimana mengatasi distorsi kognitif yang melatarbelakangi paradigma hukum retributif dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif?

(R)UU Perampasan Aset

Paradigma retributif dalam sistem perundang-undangan terbukti menemui sejumlah kegagalan sebagai solusi yang berorientasi pada korban. Dalam konteks korupsi, pengembalian kerugian negara dapat terhambat karena sejumlah kemungkinan yang menghalangi mekanisme penindakan. Isu yang menjadi kekhawatiran utama, yaitu perlunya pembuktian tindak pidana asal (tipikor atau TPPU) sebelum perampasan aset dilakukan. Masalahnya, proses di pengadilan untuk kasus-kasus tersebut menjadi sangat rumit karena melibatkan jaringan pejabat yang membentuk relasi kuasa dalam penyelesaian perkara.
ADVERTISEMENT
Sebagai upaya pemulihan distorsi kognitif, baik bagi publik dan penegak hukum, diperlukan paradigma restoratif dan rehabilitatif dalam pemberantasan korupsi. Paradigma tersebut menggeser orientasi diskusi dan intervensi hukum pada upaya pemulihan korban dengan tetap memberikan hukuman kepada pelaku.
Dalam konteks tipikor, paradigma restoratif dan rehabilitatif secara efektif dapat diejawantahkan melalui perampasan aset koruptor. Upaya pemulihan korban —negara yang mencakup masyarakat luas— dilakukan melalui pengambilalihan dan pengembalian kepemilikan kepada negara atas aset yang diperoleh melalui hasil kejahatan, termasuk korupsi dan pencucian uang. Dengan ini, perampasan aset menjadi solusi yang sangat rasional dan berpihak pada korban.
Di samping keuntungan praktis di atas, hal terpenting dari perampasan aset ialah menyelamatkan cara berpikir banyak orang dari jurang distorsi kognitif yang menyesatkan. Hukum ada untuk memberikan keadilan, bukan kepuasan psikologis.
ADVERTISEMENT
Dengan (R)UU Perampasan Aset, prinsip dan adagium tersebut terjelma secara sempurna.