Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
RUU Perampasan Aset: Tikus Berdasi Terus Mencuri, Negara Malah Berdiam Diri
13 Oktober 2024 9:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Benidiktus Lasah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perumpamaan nasib RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (selanjutnya disebut RUU Perampasan Aset) sekarang ini layaknya menunjukan negara berdiam diri atas tindakan para "Tikus Berdasi" yang terus menggerogoti seluruh aspek kehidupan bangsa. Perkembangan terakhir RUU a quo telah masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR RI Tahun 2023. Masuknya RUU a quo dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2023 sendiri terjadi setelah Presiden Joko Widodo mengirimkan Surat Presiden Nomor R 22/Pres/05/2023 yang pada pokoknya meminta pembahasan RUU a quo menjadi prioritas utama.
ADVERTISEMENT
Secara historis, RUU Perampasan Aset telah disusun sejak tahun 2008. RUU a quo kemudian masuk ke dalam Prolegnas DPR RI periode 2010-2014 lalu masuk kembali pada Prolegnas DPR RI periode 2015-2019, namun ujungnya tetap mangkrak. Usulan RUU a quo untuk masuk ke dalam Prolegnas Prioritas kembali diusulkan pada tahun 2020, namun ditolak oleh DPR RI kala itu. Kendati telah dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2023 hingga akhir masa jabatan DPR RI Periode 2019-2024, RUU a quo tidak dikunjung dibahas.
Merujuk pada konsiderans menimbang RUU a quo, latar belakang lahirnya sendiri sebab adanya perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dimana sistem atau mekanisme perampasan aset dalam status quo dirasa tidak dapat mendukung usaha penegakan hukum yang berkeadilan. Perampasan Aset dimaksudkan sebagai suatu usaha paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya. Secara sederhana, maksud dan tujuan dari RUU a quo ialah untuk menghadirkan suatu mekanisme pengembalian asset negara yang merugi akibat suatu tindak pidana (recovery asset), terkhusus tindak pidana korupsi. Pentingnya RUU a quo sudah tidak diragukan lagi, tetapi Pemerintah dan DPR RI masih berdiam diri sehingga timbul pula pertanyaan mengapa RUU a quo tidak kunjung dibahas dan disahkan? Apabila ditelisik secara lebih mendalam, maka terdapat beberapa alasan yang patut diduga membuat RUU a quo tidak dikunjung di bahas dan disahkan.
ADVERTISEMENT
Pertama, Ketua DPR Periode 2019-2024 Puan Maharani menyatakan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset belum dapat dilakukan sebab pembatasan menurut tata tertib DPR RI. Puan menyatakan setiap komisi tiap tahunnya maksimal menyelesaikan 2 (dua) RUU sehingga apabila 2 (dua) RUU tersebut belum selesai maka pembahasan RUU lain tidak dapat dilakukan. RUU Perampasan Aset diterima oleh Komisi III DPR RI yang memang kala itu menurut Puan sedang membahas RUU Revisi UU Narkotika dan RUU Revisi Keempat UU Mahkamah Konstitusi.
Kedua, terdapat beberapa pihak yang sebenarnya khawatir atau bahkan takut akan kemungkinan assetnya dirampas oleh negara sehingga berpotensi jatuh miskin apabila sewaktu-waktu mereka melakukan tindak pidana, terkhusus tindak pidana korupsi. Hal ini sebab RUU a quo dapat pula dikatakan bertujuan untuk memiskinkan pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan negara yang mana kita ketahui semuanya itu berasal dari kantong rakyat. Beberapa asset yang dapat dirampas oleh RUU a quo sendiri meliputi aset hasil tindak pidana, asset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, asset pengganti, asset barang temuan yang patut diduga berasal dari tindak pidana, dan asset lainnya merujuk pada Pasal 5 RUU a quo.
ADVERTISEMENT
Ketiga, para wakil rakyat terbelenggu dengan doktrin kedudukan mereka hanya sebatas sebagai “Petugas Partai” atau bahkan mendoktrinisasi diri mereka sebagai “Petugas Partai”. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto yang menyatakan pengesahan RUU Perampasan Aset dapat dilakukan dengan restu Ketua Partai Politik ketika Menkopolhukam Mahfud MD meminta untuk RUU a quo segera dibahas. Pernyatan yang sedemikian rupa tidak layak diucapkan oleh seseorang yang mengaku sebagai wakil rakyat baik sebagai candaan atau tidak. Tugas Wakil Rakyat seharusnya melayani masyarakat dengan tegas dan tegak bukan melayani sekelompok orang atau golongan tertentu.
Keempat, kurangnya komitmen dan ketegasan lebih lanjut dari pemerintah. Sebagaimana kita ketahui memang benar pasca dikirimkannya surat oleh Presiden Joko Widodo, Pemerintah dan DPR bersepakat untuk memasukan pembahasan RUU a quo ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2023. Namun, benar pula bahwa pemerintah mengetahui jelas pembahasan RUU a quo mangkrak, tetapi tidak melakukan usaha lainnya (sejauh yang penulis ketahui). Salah satu usaha yang dapat ditempuh misalnya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah dalam praktik sebelumnya ketika Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
RUU a quo sendiri terus didorong oleh segenap lapisan masyarakat bukan tanpa sebab. RUU a quo pada dasarnya membawa urgensi tertentu untuk segera dibahas bahkan disahkan. Beberapa urgensi tersebut di antaranya:
Pertama, pemulihan asset (recovery asset) atau kerugian negara akibat korupsi sendiri tergolong sulit dilakukan dan intensitasnya masih rendah. Hal ini dibuktikan melalui data dari ICW di mana rata-rata pemulihan asset dengan uang pengganti dalam periode 2018-2022 hanya sebesar 12,20 persen. Kerugian negara setiap tahunnya mencapai Rp36,7 triliun dan yang dapat dipulihkan hanya Rp4,48 triliun. Hal ini menunjukan proses atau sistematika pengembalian asset terlalu sulit dilakukan
Kedua, kerugian negara akibat korupsi selama satu dekade sejak tahun 2013 hingga tahun 2022 mencapai Rp238,14 triliun, terkhusus dari tahun 2020 hingga 2021 menunjukan terjadinya peningkatan kerugian keuangan negara akibat korupsi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, guna mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri di mana pelaku mendapat efek jera dengan tidak mengulangi perbuatannya dan terlebih dari itu untuk melindungi masyarakat. Penjatuhan pidana penjara dalam waktu tertentu atau seumur hidup dirasa tidak mampu mewujudkan keadilan dan memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Keempat, sebagai bentuk respon atas United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003 yang memperkenalkan dalil Non-Conviction Based atau konsep perampasan asset itu sendiri.
Kelima, terjadinya peningkatan jumlah kasus korupsi bahkan tersangka kasus korupsi sebagaimana disampaikan oleh ICW bahwa pada tahun 2023, terdapat 791 kasus dengan 1.695 tersangka. Jumlah kasus dan tersangka kasus korupsi sendiri cenderung meningkat setiap tahunnya, terkhusus dari tahun 2020 hingga tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Keenam, indeks persepsi korupsi Indonesia semakin menurun dengan skor terakhir pada tahun 2022 ialah 34 yang menunjukan kemunduran terhadap penegakan dan pemberantasan korupsi. Selain itu, rendahnya indeks korupsi sebagaimana dinyatakan oleh World Economic Forum tahun 2017 merupakan salah satu penghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara.