Konten dari Pengguna

Tantangan Netralitas ASN Di Pemerintah Daerah

Lia Fitrianingrum
Analis Kebijakan ahli muda Pemerintah Propinsi Jawa Barat
27 Desember 2022 13:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Fitrianingrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber Dokpim Biro Administrasi Pimpinan PemProv Jabar
zoom-in-whitePerbesar
sumber Dokpim Biro Administrasi Pimpinan PemProv Jabar
ADVERTISEMENT
Tahun politis akan dimulai di tahun 2023 menjelang Pilkada serentak di tahun 2024. Aparatur Sipil Negara (ASN) di berbagai Pemerintah Daerah baik tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi mulai diuji netralitasnya. Persoalan netralitas ASN menjadi diskusi yang tidak kunjung usai hingga saat ini, mengingat politik dan birokrasi di Pemerintah Daerah saling terkait dan tarik menarik. Persoalan netralitas ASN tidak hanya baru-baru ini menjadi perdebatan, melainkan sejak era Orde Baru pun sudah berulang kali menjadi sorotan publik. Birokrasi pemerintah selama ini digunakan sebagai alat politik utama dari partai pengusung yang berkuasa dan Kepala daerah terpilih dalam mewujudkan misi dan visi di daerah masing-masing dan melakukan pelayanan kepada masyarakat sesuai janji politiknya. Birokrasi bukan lagi sebagai public servant yang melakukan public service, melainkan menjadi bagian utama dari penguasa dan kekuasaan politik.
ADVERTISEMENT
Pasca pengaturan mengenai netralitas ASN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, diartikan bahwa setiap pegawai aparatur sipil negara tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Dalam praktiknya meskipun telah dilarang dalam Undang-Undang ASN, tetap saja sulit menghilangkan politisasi birokrasi. Netralitas ASN juga diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada yang diatur dalam pasal 283 UU No 7 tahun 2012 dan Pasal 71 (1) UU No 10 Tahun 2016, yang dalam penegakannya masih diperlukan konsistensi.
Politisisasi dan ASN berpolitik praktis di tingkat Pemerintah Daerah masih kerap terjadi, menurut Titi Anggraini (Univ. Indonesia), hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, konstruksi hukum yang belum sepenuhnya mampu menjangkau upaya mewujudkan netralitas ASN. Kedua, masih ada multitafsir dalam memaknai pasal-pasal terkait netralitas ASN. Ketiga, ASN yang belum memiliki paradigma birokrasi yang reformis. Keempat, loyalitas pada negara dipersonalisasi sebagai loyalitas pada individu pejabat/penguasa. Kelima, sarana dan prasarana pengawasan dan penegakan hukum yang belum optimal. Keenam, kondisi masyarakat yang masih permisif. Ketujuh, budaya hukum yang masih lemah dan didorong perilaku koruptif.
ADVERTISEMENT
Apabila dilihat dari hasil survey yang dilakukan oleh KASN tahun 2019 ini, penyebab ASN menunjukan ketidaknetralannya dalam pilkada disebabkan oleh ikatan persaudaraan sebesar 50,76%, kepentingan karier sebesar 49,72%, kesamaan latar belakang (pendidikan dan profesi) sebesar 16, 84%, hutang budi sebesar 9,50% dan tekanan pasangan calon sebesar 7,48%. Jika dilihat dari pihak yang paling mempengaruhi ASN untuk melanggar netralitas pada Pilkada terutama di wilayah Jawa dan Bali yakni tim sukses sebesar 30,6%, atasan ASN sebesar 29,5%, pasangan calon sebesar 20,1% dan partai pengusung sebesar 6,7%. Dari data tersebut terlihat bahwa tantangan ASN menjaga netralitasnya masih mengalami dilematis disetiap tahun politis menjelang pilkada, baik dari sisi personal, karier, dan budaya kerja dengan rantai komando yang begitu kuat.
ADVERTISEMENT
Regulasi yang menaungi ASN sebagai benteng pertahanan ASN dalam menjaga netralitasnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin ASN dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sendiri belum dapat berjalan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena, pertama, adanya hubungan kekerabatan antara ASN dengan calon kepala daerah. Kedua, adanya tekanan struktural karena kepala daerahnya incumbent. Ketiga, adanya kekhawatiran terhadap mutasi jabatan atau mandeknya jenjang karir tidak ikut mendukung petahana. Keempat, tukar jasa berkaitan dengan posisi atau jabatan aparatur sipil negara (ASN). Kelima, pada daerah yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya “pecah kongsi,” atau yang masing-masing maju sebagai kandidat calon kepala daerah, maka ASN akan terpecah soliditasnya yang berakibat kinerja penyelenggaraan birokrasi pemerintahan menjadi tidak efektif dan profesional dalam memberikan pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari berbagai kasus ketidaknetralan ASN dalam pilkada diperlukan strategi penegakan netralitas ASN yang lebih efektif tidak parsial yakni pertama, harus ada konektivitas dan sinergitas seluruh elemen negara: Bawaslu, KASN, Ombudsman, Kemendagri, LPSK, dll. Perlu sistem penanganan pelanggaran terintegrasi sebagai wujud keseriusan. Kedua, harus ada jaminan transparansi dan akuntabilitas proses pengawasan dan penegakan hukum. Ketiga, diperlukan efektifitas Whistle Blowing System sebagai sarana pelaporan bagi kalangan internal dan masyarakat untuk melaporkan adanya perilaku atau tindakan yang melanggar kode etik dan kode perilaku yang dilakukan oleh ASN. Keempat, memberikan akses kemudahan masyarakat untuk melapor dengan jaminan keamanan/perlindungan hukum (terkait kondisi patriarkis masyarakat) dan kelima, melakukan pendekatan saksi administratif ketimbang pemidanaan. Keenam, konsistensi yang tinggi dari penerapan sistem merit. Ketujuh penegakan etika dan keadaban politik. Ketaatan dan komitmen para ASN sangat diperlukan untuk mewujudkan penegakan etika dan keadaban politik. Pada saat yang sama para ASN juga memiliki tugas mulia untuk melakukan perbaikan birokrasi dengan proses demokrasi agar nilai-nilai budaya politik yang terbangun bisa menopang terwujudnya pemilu serentak yang berkualitas. Mengingat semakin transparan dan akuntabel birokrasi akan sulit diintervensi kekuatan politik.
ADVERTISEMENT