Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Suka Duka di Balik Liputan 4 Wartawan kumparan di Palu-Donggala
5 Oktober 2018 11:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Tiket pesawat atas namaku, Soejono Ebenezer Saragih, dan Mirsan Simamora--rekanku sesama wartawan kumparan, terlampir di surat elektronik yang kami terima pada Senin pagi, 1 Oktober 2018.
ADVERTISEMENT
Penerbangan itu bertujuan ke Makassar. Tapi bukan ibu kota Sulawesi Selatan itu tujuan akhir kami, melainkan ke Kota Palu di Sulawesi Tengah yang berjarak sekitar 750 kilometer jauhnya.
"Dari Makassar, kamu cari cara ke Palu," kata Rachmadin Ismail, Wakil Pemimpin Redaksi kumparan, menjelaskan rencana penerbangan itu di rapat redaksi, Senin pagi itu.
Palu dituju karena diporakporandakan gempa berkekuatan 7,4 magnitudo, tiga hari sebelumnya. Menurut Madin, sapaan Rachmadin, bencana alam itu termasuk "peristiwa luar biasa" sehingga patut diliput secara langsung.
Sudah ada fotografer kumparan yang berangkat sehari sebelumnya, yaitu Jamal Ramadhan. Tim wartawan dari partner kami, Makassar Indeks , juga turut berangkat ke sana.
Ini akan menjadi pengalamanku meliput bencana alam "luar biasa". Kendati ibuku sudah khawatir, aku sama sekali tidak gugup.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, kami tiba di Makassar pada Senin sore. Kami harus putar otak lantaran tak ada penerbangan komersil akibat satu-satunya bandara di Palu, Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie, rusak akibat gempa.
Ada dua pilihan: Menunggu hingga Rabu atau mencari cara lain. Mirsan berkata kepadaku, "Ini darurat, kita tidak mungkin hanya menunggu di sini selama dua hari," katanya.
Lalu kami pergi ke Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, markas TNI AU Makassar, bertemu Mayor Henni. Beruntung, kami dibolehkan menumpang di pesawat Hercules keesokan hari.
Selasa pagi, kami tiba di Palu. Pemandangannya sungguh menyayat hati: Bangunan runtuh, listrik terputus, tak ada makanan, dan banyak mayat.
Tak ada transportasi sehingga kami harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk mencari berita.
ADVERTISEMENT
Kami harus mengantre untuk memakai toilet yang airnya kecil dan berpasir. Saat bermalam, kami tidur di lantai markas Komando Resor Militer.
Hingga Rabu, kondisi masih serba-susah, termasuk susah sinyal ponsel. Agar mendapatkan sinyal yang bagus, terutama untuk mengirim video, kami harus pergi ke area bukit. Kami beruntung bisa menyewa motor warga seharga Rp 500 ribu seharian.
Pada pagi hari, ada satu rekan kami sesama wartawan kumparan, Moh. Fajri, berangkat ke Palu bersama rombongan Pemprov DKI Jakarta. Pada malam, kami dikejutkan dengan pesan dari Pemimpin Redaksi kumparan, Arifin Asydhad.
"Besok saya terbang ke Palu, teman-teman mau saya bawakan apa?" begitu kata Pak Pemred.
Butuh 69 menit bagi Mirsan untuk menjawab pertanyaan itu. Mirsan menjawab singkat: "Kalau boleh KFC, Pak," katanya disertai emoticon telapak tangan menempel.
ADVERTISEMENT
Mungkin keberanian Mirsan terpupuk lantaran ia beberapa hari ini cuma makan nasi dan telur rebus. Untunglah Pak Pemred menjawab, "Oke San, saya bawakan."
Pak ASY, begitu biasanya beliau disapa, betul-betul membawa pesanan Mirsan. Selain menengok 4 wartawannya, ia sengaja ingin melihat kondisi Palu, terutama ketersediaan listrik, BBM, dan air. Ia diajak langsung oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan--yang juga meninjau.
Meliput di medan bencana seperti ini merupakan pengalaman berharga. Aku siap karena sudah menjadi tanggung jawabku sebagai wartawan. Apalagi kami punya bos yang mengerti dan rela membawakan KFC.
Sudah empat hari kami meninggalkan Jakarta. Kami belum tahu kapan pulang, masih banyak yang harus diliput dan disiarkan. Setelah memberitakan soal vaksin , kami akan melanjutkan perjalanan. Meski Mirsan menolak divaksin karena takut jarum suntik, kami mohon doa agar tetap sehat dan bisa mengabarkan peristiwa untuk publik.
ADVERTISEMENT
Foto-foto kami: