Konten dari Pengguna

Digitalisasi Perdesaan, Joget Sadbor dan Jebakan Modernisasi Tanpa Pembangunan

Literasi Digital Indonesia
https://kumparan.com/literasidigital-indonesia
7 Desember 2024 13:31 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Literasi Digital Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
-
Kisah “Joget Sadbor” di desa Bojongkembar di Sukabumi – Jawa Barat, sejatinya adalah potret ironis dari sisi lain digitalisasi perdesaan di Indonesia. Apa pasal? Alkisah Gunawan, pemilik akun TikTok @sadbor86 adalah “pahlawan” di desanya lantaran memberikan solusi mendapatkan cuan "jalur cepat" bagi ratusan warga desanya yang rata-rata berprofesi sebagai petani buah manggis dan perajin camilan kerupuk enye, sejak beberapa tahun silam.
Tampak aktivitas pengelola akun Tiktok Sadbor86 yang berjoget bersama warga di Kampung Babakan Baru, Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2024. Akun ini telah memproduksi konten sejak Mei 2023. Kredit foto: Kompas.id
Keinginan memperbaiki kondisi perekonomian melalui teknologi digital adalah jamak dan rasional, termasuk bagi masyarakat perdesaan. Gunawan pun membawa "demam" sebagai konten kreator TikTok ke desanya, sejak beberapa tahun silam. Namun ketika kesediaan dan penggunaan infrastruktur digital di perdesaan tidak dibarengi dengan pemahaman literasi digital yang memadai, maka warga akan menjadi rentan terjerat dengan permasalah hukum (Liu & Zhou, 2023).
ADVERTISEMENT
Dan seperti diberitakan, ternyata salah satu penyawer “Joget Sadbor” adalah operator judi online. Gunawan langsung dicokok polisi pada 31 Oktober 2024 karena dianggap turut mempromosikan judi online. Desanya pun sempat kembali senyap, tak ada lagi ada demam joget-joget warga penuh harap mendapatkan berkah dari Internet sebagaimana sebelumnya, hingga kemudian Sadbor mendapatkan penangguhan penahanan pada 8 November 2024. Sejumlah warga setempat pun kini telah memberanikan diri untuk berjoget kembali di TikTok.
Internet seperti pisau bermata dua, tak hentinya hal ini selalu disampaikan oleh para pegiat literasi digital dalam berbagai kesempatan. Digitalisasi yang masif ke masyarakat Indonesia memang sebuah keniscayaan. Teknologi digital memang menjadi enabler dalam berbagai upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat, apakah itu dari aspek pendidikan, kesehatan sosial, budaya pun tentu saja ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumen visi-misi Asta Cita pemerintahan Prabowo – Gibran, telah ditegaskan tentang rencana membangun infrastruktur digital hingga tak ada lagi desa dengan ketiadaan akses Internet yang memadai. Infrastruktur digital tersebut antara lain akan digunakan untuk digital farming, digitalisasi UMKM, ekonomi digital dan preservasi kebudayaan.
Kita harus memahami apa yang jauh hari telah diwanti-wanti oleh Prof Sajogyo, bapak sosiologi perdesaan Indonesia dari IPB, dengan perspektifnya tentang “modernization without development" (Sajogyo, 1973). Perspektif ini menyoroti persoalan ketimpangan antara penerapan aspek-aspek modernitas di perdesaan dengan hasil nyata dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Sajogyo mengkritik bahwa modernisasi sering kali difokuskan hanya pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik (growth) semata tanpa mempertimbangkan dampak sosial budaya dan distribusi manfaat pembangunan secara merata (equalization).
ADVERTISEMENT
Pun dalam konteks kalkulasi rasional formal, Max Weber (1968) pencetus dasar sosiologi modern berkebangsaan Jerman, telah mengingatkan bahwa yang bisa mendapatkan manfaat ekonomi secara optimal adalah mereka yang memiliki akses ke properti (teknologi digital) dan juga memiliki tingkat pengetahuan (literasi digital) yang memadai.
Digitalisasi perdesaan tentu saja memang menawarkan peluang besar untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakatnya. Namun di sisi lain tantangan yang signifikan pun tak berarti nihil, semisal kesenjangan digital, disrupsi budaya serta perubahan struktur ekonomi. Hal tersebut adalah sekian dari sejumlah isu utama yang mesti dicermati dan dimitigasi guna memastikan digitalisasi di perdesaan berlangsung secara inklusif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Sekedar contoh, (sempat) bergesernya aktivitas ekonomi sebagian warga yang semula bertani dan mengolah hasil kebun atau ladang lantas menjadi kreator konten TikTok, semestinya menjadi “early warning” bagi para pegiat literasi digital pun penyokong program digitalisasi perdesaan. Petani, peladang, pekebun ataupun nelayan pun sejatinya juga masyarakat yang rasional. Jika ada kegiatan lain yang dianggap lebih mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, tentu hal tersebut yang lantas akan dipertimbangkan untuk didahulukan ketimbang melakukan aktivitas tradisional mereka.
Maka kita mesti mahfum bahwa digitalisasi perdesaan jika dipandang hanya membangun infrastrukturnya atau mengejar pertumbuhan ekonominya saja, ini bak membuka kotak pandora untuk hal-hal yang tidak diharapkan. Sebutlah semisal risiko terpapar konten negatif, kecanduan game online atau bahkan menjadi korban penipuan online berkedok arisan, investasi, hingga iming-iming "kartu BPJS".
ADVERTISEMENT
Belum lagi jeratan pinjaman online (pinjol) ilegal, yang faktanya korban terbanyak adalah warga di perdesaan. Kian maraknya judi online pun sudah merambah masuk ke desa-desa, tidak hanya menggaet pemainnya sebagai korban yang penasaran mempertaruhan nyaris segala miliknya, namun juga bermodus jual-beli rekening judi online bermodalkan data pribadi warga. Nyata sudah bahwa judi online dan pinjol ilegal telah mengepung desa, sebagai pembonceng gelap pembangunan teknologi digital (digitalisasi).
Ketika penulis berpartisipasi aktif dalam sejumlah rangkaian lokakarya literasi digital di sejumlah desa lokasi purna pekerja migran Indonesia, tak sedikit peserta yang berkeluh-kesah lantaran diri atau kerabatnya yang sudah telanjur terjebak oleh pinjol ilegal dan/atau judi online. Semua bermula dari motif desakan ekonomi dan keingintahuan untuk menjajal tawaran yang menggiurkan di Internet, namun tanpa dibekali pemahaman tentang literasi digital dan berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
Hal positif dari Internet tentu saja turut diungkap dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh ICT Watch bekerjasama dengan Migrant Care dan ISOC Foundation pada kuartal satu dan dua 2024 tersebut. Semisal yang manfaat dirasakan oleh warga suntuk memperkuat promosi dan pemasaran produk UMKM mereka dan peningkatan kesadaran mendasar tentang keamanan digital. Potongan kisah positif-negatif pemanfaatan teknologi digital di perdesaan telah didokumentasikan dalam film pendek Kelipat Duit Cepat yang diproduksi oleh ICT Watch pada tahun 2024.
-
Pemahaman Kritis
Indonesia sebenarnya telah memiliki Panduan Umum Pengembangan Desa Cerdas yang berbentuk Kepmen Desa PDTT no 55 tahun 2024, yang mensyaratkan bahwa peningkatan jumlah penggunaan teknologi digital dalam keseharian warga desa mesti selaras denngan adanya edukasi literasi digital yang berkelanjutan dan aktivitas produktif dari penggunanya.
ADVERTISEMENT
Maka ketika kemudian dalam Asta Cita tertulis bahwa “mendorong pendidikan yang membantu peningkatan literasi digital pada berbagai tingkat pendidikan untuk mendukung digitalisasi ekonomi”, semestinya ini dapat dimaknai bersama sebagai penguatan kapasitas talenta digital Indonesia di berbagai jenjang pendidikan formal (maupun informal), yang menyelaraskan antara angka pertumbuhan dan kesetaraan secara bermakna bagi para aktor dalam arena ekonomi digital.
Membangun kemampuan digital warga desa lebih dari sekadar tentang kemampuan menggunakan teknologi digital. Literasi digital ini harus mencakup pemahaman kritis tentang bagaimana informasi digunakan dan dampak sosial-ekonomi yang mungkin timbul (Pangrazio, 2016). Jika tidak demikian, maka teknologi digital bisa berubah wujud dari alat pemberdayaan menjadi sesuatu yang mengancam keamanan dan kenyamanan penggunanya.
ADVERTISEMENT
Gerakan Nasional Literasi Digital SIBERKREASI yang diinisiasi oleh multistakeholder Indonesia pada Oktober 2017 memiliki pedoman empat (4) pilar, yaitu Cakap, Aman, Budaya dan Etika Digital. Keempat pilar tersebut, kerap disebut CABE Digital, memberikan arahan tentang pemanfaatan teknologi digital secara komprehensif, tidak hanya dari aspek keahlian operasional teknikal namun juga kemampuan berpikir kritikal.
Literasi digital bukan sekedar kemampuan menggunakan gawai digital, piawai menggunakan aplikasi word processor dan spreadsheet, ataupun yang kini sedang tren adalah mengutak-atik prompt pada berbagai aplikasi Generative Artificial Intelligence (AI). UNESCO pun memberikan penekanan bahwa literasi digital mesti mengandung pelibatan kemampuan berpikir kritis dalam penggunaan teknologi digital dalam ragam aspek kehidupan.
Kembali ke konteks digitalisasi perdesaan, pengusaan literasi digital yang memadai akan menguatkan kesadaran warga tentang peluang yang ada di desa mereka sendiri. Ini dapat menciptakan kesempatan untuk mengembangkan ekonomi lokal dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan, sehingga membantu warga untuk melihat potensi dan nilai hidup di desa mereka (Hidayat et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan perdesaan yang bercorak paguyuban (gemeinschaft), mereka cenderung menerapkan solidaritas mekanik, jika meminjam istilah dari sosiolog Emilee Durkheim (1893). Solidaritas mekanik ini adalah karakteristik masyarakat tradisional atau sederhana, antar anggota masyarakat memiliki kesamaan relatif dalam nilai, kepercayaan, dan pekerjaan, serta menjalin hubungan yang erat berdasarkan norma-norma yang sama.
Maka yang terjadi di desa Bojongkembar dapat dijadikan contoh konkrit ketika digitalisasi perdesaan tidak dibarengi dengan literasi digital, maka berduyun-duyunlah warganya mencoba peruntungan nasib sebagai kreator konten TikTok dan sebagiannya lantas meninggalkan kerja-kerja pertanian, kebun dan ladang mereka. Hal ini sebenarnya juga pernah terjadi dalam kasus lain di tempat yang berbeda.
Pada awal 2023 sempat ramai fenomena “mandi lumpur” atau “guyur-guyur” yang diikuti oleh sejumlah warga desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, NTB. Layar Sari alias Inak Mawar, perempuan usia 55 tahun, adalah salah satu warga desa yang aktif berpartisipasi live TikTok dan meninggalkan sawah garapannya. Motif para kreator konten dadakan di perdesaan Bojongkembar dan Setanggor adalah setali tiga uang, yaitu mendapatkan cuan dengan cepat dari Internet.
ADVERTISEMENT
Maka, kini siapapun yang ingin memajukan perdesaan dengan penguatan aspek digital, tak lagi sepantasnya melihat warganya hanya sebagai “pasar: yang dihitung secara kapita dan daya beli. Digitalisasi perdesaan sedikit-banyak dapat mendisrupsi habitus warganya, dengan membawa perubahan pada cara mereka berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Disrupsi ini terjadi karena digitalisasi mengintroduksi teknologi baru, praktik modern, dan pola interaksi yang berbeda ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa, yang sebelumnya mungkin memiliki kebiasaan tradisional dan konvensional.
Memahami tingkat adaptasi masyarakat perdesaan terhadap teknologi baru, memetakan perubahan dalam aktivitas perekonomian serta dampaknya pada penyesuaian sistem nilai dan norma masyarakat perdesaan adalah kunci untuk memastikan upaya digitalisasi perdesaan memang sungguh tepat menyasar pada peningkatan kapabilitas sosial, budaya dan ekonomi warganya.
ADVERTISEMENT
Adanya pelibatan masyarakat perdesaan secara inklusif dan bermakna dalam setiap perencanaan program digitalisasi di wilayahnya adalah keniscayaan. Pun, digitalisasi harus selaras dan seirama dengan literasinya.
Tanpa hal tersebut, memodidifikasi dari pernyataan Prof Sajogyo di atas, rural digitalisation is nothing but modernisation without development, kala digitalisasi perdesaan rentan menjadi sebuah “jebakan klasik” yang menguntungan segelintir pihak para pemilik modal kapital, pengetahuan ataupun teknologi. Adapun masyarakat desa, alih-alih mendapatkan keberdayaan dan keadilan sosial dan keberdayaan yang semestinya, mereka seakan mesti bersiap menjadi "martir" atas nama pembangunan (digital).
-
*) Tulisan ini adalah penayangan ulang (replikasi) dengan beberapa pembaruan dari artikel opini yang telah dimuat sebelumnya oleh Kompas pada 30 November 2024, menggunakan judul yang sama dengan beralamat di https://www.kompas.id/baca/opini/2024/11/27/kisah-joget-sadbor-dan-jebakan-modernisasi-tanpa-pembangunan. Penulis adalah Pemelajar Sosiologi Digital dan Aktivis Literasi Digital; Pendiri ICT Watch; Sedang Menempuh Program Doktoral Sosiologi Pedesaan di IPB University.
ADVERTISEMENT