Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Suara untuk Mereka yang Tak Didengar: Dedikasi Wahyu Kadri
4 November 2024 8:10 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Liza Fathia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pagi itu jam masih menunjukkan pukul 7.15 pagi, ketika seorang laki-laki berseragam putih dengan postur tinggi, tengah berjalan menyusuri koridor yang masih sepi. Suara langkah kakinya menggema di dinding-dinding rumah sakit yang dingin. Lelaki itu adalah Wahyu Kadri, seorang perawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh yang telah mengabdikan diri merawat pasien dengan gangguan jiwa selama lebih dari tiga dekade. Sebelum pegawai shift pagi tiba, ia memanfaatkan waktu ini untuk menyapa pasien yang terkurung di balik jeruji, memberikan senyuman dan sapaan hangat.
“Assalamualaikum, Pak M. Nur! Peuhaba uroe nyoe? (Apa kabar hari ini?)” ujarnya dalam Bahasa Aceh, berusaha menembus kesunyian. Seorang pasien lansia dengan wajah letih memandangnya, sedikit tersenyum. Momen kecil ini bagi Wahyu adalah peneguhan bahwa keberadaannya di sini berarti.
Di RSJ Aceh-lah, sebuah rumah sakit yang dulunya terpinggirkan dalam pandangan masyarakat, seorang pria bernama Wahyu Kadri telah menorehkan kisah luar biasa selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam seragam perawat yang bersih dan rapi, ia berjalan menyusuri koridor RSJ Aceh, mengingat kembali perjalanan panjangnya yang dimulai pada tahun 1992. Saat itu, jumlah perawat di rumah sakit itu sangat sedikit, dan stigma terhadap pasien gangguan jiwa begitu kuat, membuat banyak orang enggan untuk mencari bantuan. Namun, Wahyu, dengan keyakinannya yang mendalam, sangat optimis jika literasi masyarakat tentang kesehatan jiwa di masa mendatang akan semakin lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Kesehatan Jiwa
Wahyu memulai kariernya ketika RSJ Aceh hanya memiliki empat ruangan dan jumlah pasiennya jauh dari kapasitas. "Kami hanya merawat puluhan pasien, sementara kapasitas bisa seratusan lebih. Saat itu lebih banyak penderita gangguan jiwa berkeliaran di luar sana tanpa perawatan dibandingkan dengan yang dirawat di RSJ," kenangnya dengan nada prihatin. Saat itu, masyarakat lebih memilih untuk mengurung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa berat daripada membawanya ke rumah sakit. Seiring berjalannya waktu, Wahyu memahami bahwa tantangan ini bukan hanya sekadar masalah medis, tetapi juga sosial dan kultural yang membutuhkan perubahan mendasar.
Keberadaan tenaga kesehatan yang terlatih dan berkomitmen, sangat diperlukan untuk menembus stigma tersebut. Ia merasa, jika masyarakat diberi pengetahuan yang tepat tentang kesehatan mental, mereka akan lebih terbuka dalam mencari bantuan. Di sinilah Wahyu memutuskan untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak terdengar.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Pertama: Momen yang Mengubah Segalanya
Ketika Wahyu pertama kali bergabung dengan RSJ Aceh, ia merasakan banyak tantangan. "Masyarakat memandang rumah sakit jiwa dengan penuh stigma. Banyak yang berpikir, 'Lebih baik mengubur saja masalah ini daripada membawanya ke rumah sakit,'" ujarnya. Dalam waktu singkat, Wahyu menyadari bahwa ia tidak hanya harus merawat pasien, tetapi juga mendidik masyarakat.
Salah satu momen paling berkesan dalam hidup perawat jiwa itu terjadi pada tahun 2006, ketika Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, meluncurkan program Aceh Bebas Pasung. Dalam kesempatan berharga ini, Wahyu berkesempatan untuk menjadi bagian dari tim yang menjemput Pak Ibnu, seorang pasien yang telah dipasung selama 17 tahun di Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Saat tim tiba, pemandangan yang mereka temui sangat menyentuh hati, Pak Ibnu terkurung di dalam gubuk reyot, terikat rantai dan tanpa perawatan yang memadai.
ADVERTISEMENT
“Kedua kakinya sudah atrofi (mengecil) dan tidak dapat bergerak lagi akibat bertahun-tahun terisolasi,” ujar Wahyu, suaranya dipenuhi empati. Momen ini bukan hanya sekadar tindakan medis; ini adalah langkah awal menuju harapan baru bagi Pak Ibnu, serta simbol perubahan bagi banyak pasien lainnya yang terjebak dalam stigma dan keterasingan.
Setelah dirawat di RSJ, perubahan drastis terjadi. "Dalam waktu setahun, Pak Ibnu tidak hanya bisa berjalan kembali, tetapi juga beraktivitas seperti orang normal," ungkap Wahyu dengan penuh kebanggaan.
“Bahkan, saat kegiatan Pekan Olahraga Kesenian Rehabilitan Mental (Porkesremen) tahun 2010 di Bogor, kami juga mengikutsertakan Pak Ibnu. Di acara tersebut, Ibu Menkes Endang Rahayu mengumumkan peluncuran program Indonesia Bebas Pasung. Dengan penuh kebanggaan, Pak Ibnu menyampaikan bahwa Aceh telah melaksanakan program ini selama empat tahun, dan ia adalah orang pertama yang dibebaskan dari pasung di Aceh,” kenang Wahyu.
ADVERTISEMENT
Transformasi Kesehatan Jiwa: Dari Stigma ke Penerimaan
Wahyu mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, semakin banyak pasien yang mencari pengobatan di rumah sakit jiwa. "Saat ini, kami merawat lebih dari 350 pasien, sementara sebelumnya hanya puluhan," jelasnya.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, dan mereka kini lebih terbuka untuk mencari perawatan saat diperlukan. Dukungan dari pemerintah berupa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga berperan penting sehingga setiap warga Indonesia, termasuk mereka yang mengalami gangguan jiwa bisa mendapatkan layanan kesehatan dengan gratis. Namun, tantangan tetap ada; masyarakat belum sepenuhnya mampu menangani individu dengan gangguan jiwa setelah mereka keluar dari rumah sakit.
"Setelah dirawat, banyak pasien yang kembali mengalami masalah karena masyarakat tidak tahu cara merawat mereka," kata Wahyu. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) di Aceh terdapat sekitar 13.000 orang dengan gangguan jiwa berat, menunjukkan bahwa banyak yang masih memerlukan perhatian dan perawatan lebih lanjut. Untuk mengatasi hal ini, ia mulai menginisiasi program edukasi bagi keluarga pasien dan masyarakat sekitar. Ia aktif mengadakan penyuluhan di lingkungan tempat tinggalnya tentang cara merawat orang dengan gangguan jiwa di rumah.
ADVERTISEMENT
Keterikatan Emosional dengan Pasien
Setiap hari, laki-laki 54 tahun itu tidak hanya merawat pasien, tetapi juga berusaha membangun hubungan emosional yang kuat. Ia percaya bahwa perawatan yang baik tidak hanya bersifat medis, tetapi juga emosional. Dalam suatu sesi terapi, ia mendapati seorang pasien bernama Ansari yang sering terjebak dalam pikirannya sendiri.
Wahyu mendekat, “Ansari, saya di sini untuk mendengarkanmu. Ceritakanlah apa yang kau rasakan.” Dalam momen ini, Andi membuka diri dan menceritakan ketakutannya akan suara-suara yang mengganggunya. Dengan sabar, Wahyu mendengarkan, memberikan dukungan, dan perlahan-lahan membantu Andi menemukan cara untuk menghadapi masalahnya.
“Ketika pasien merasa didengarkan dan diperhatikan, mereka bisa lebih tenang. Mereka merasa tidak sendirian,” ungkap Wahyu, mengenang betapa pentingnya mendengarkan suara-suara yang sering diabaikan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menghadapi Pandemi dan Inovasi
Saat pandemi COVID-19 melanda, Wahyu menghadapi tantangan baru yang tidak terduga. Ia diamanahkan menjadi kepala ruangan COVID-19 dan harus merawat pasien gangguan jiwa yang terinfeksi virus corona. “Tantangan terbesar adalah bagaimana merawat pasien yang tidak memahami kondisi mereka,” katanya.
Dengan menggunakan APD lengkap dan mengikuti protokol kesehatan, Wahyu dan timnya merawat pasien dengan penuh dedikasi. Ia teringat satu pasien yang gelisah dan tidak mengerti apa yang terjadi. “Kami harus sabar dan kreatif dalam merawat mereka,” ujarnya. Dengan pendekatan yang hati-hati, Wahyu berhasil menenangkan pasien tersebut, membangun rasa percaya diri, dan memastikan mereka mendapatkan perawatan yang diperlukan.
Membangun Kesadaran Masyarakat
Wahyu tidak hanya berjuang di dalam rumah sakit, tetapi juga aktif di Desa Lambroe Dayah, Kuta Baro, Aceh Besar, tempat tinggalnya. Ia memfasilitasi pembentukan kader jiwa di desa untuk membantu masyarakat mengenali dan menangani gangguan jiwa. “Dengan keterlibatan masyarakat, kami bisa menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pasien,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Berkat upaya tersebut, banyak pasien di desanya yang sebelumnya dirawat di RSJ kini dapat hidup mandiri. “Di desa kami, sudah banyak orang dengan gangguan jiwa yang tidak perlu dirawat lagi. Mereka beraktivitas seperti biasa dan teratur minum obat,” tambah Wahyu dengan bangga.
Pesan untuk Generasi Muda
Di tengah segala kesibukan dan tantangan, Wahyu memiliki pesan penting untuk generasi muda yang ingin terjun ke bidang kesehatan jiwa. “Kesehatan mental adalah isu yang semakin penting. Ada banyak orang yang membutuhkan perhatian dan bantuan kita,” katanya, penuh harapan.
Ia percaya bahwa profesi perawat jiwa akan semakin dibutuhkan, terutama dengan meningkatnya masalah kesehatan mental di masyarakat. “Setiap hari adalah kesempatan untuk belajar dan membantu orang lain,” ujarnya, menggugah semangat para calon perawat untuk terlibat.
ADVERTISEMENT
Sebuah Perjalanan Tanpa Henti
Wahyu mengakhiri percakapan dengan harapan yang kuat untuk masa depan kesehatan jiwa di Aceh dan Indonesia. "Saya percaya, dengan kesadaran dan pemahaman yang terus meningkat, kita bisa mengubah stigma menjadi penerimaan dan dukungan," katanya. Di RSJ Aceh, pengabdian Wahyu adalah contoh nyata bagaimana dedikasi dan cinta dapat membawa perubahan bagi masyarakat yang terpinggirkan.
Dalam setiap langkahnya, Wahyu Kadri terus berjuang untuk memastikan bahwa setiap pasien mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan, tanpa stigma dan diskriminasi. Di tengah tantangan, ia tetap menjadi harapan bagi mereka yang mengalami kesulitan, menginspirasi banyak orang untuk bergerak maju dan memperjuangkan kesehatan mental.
Dengan semangat dan dedikasi yang tak kunjung padam, Wahyu akan terus mengukir kisah pengabdian yang membanggakan, menjadikan RSJ Aceh bukan hanya tempat penyembuhan, tetapi juga simbol harapan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT