Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Endorsement dalam Politik Indonesia
22 November 2024 17:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari MOH ALI S, M, M, PSDM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah dinamika politik Indonesia, fenomena kandidat politik yang berlomba-lomba mendapatkan dukungan atau endorsement dari tokoh-tokoh berpengaruh menjadi pemandangan yang lazim, terutama menjelang pemilu. Mantan Presiden Joko Widodo, Presiden terpilih Prabowo Subianto, hingga mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi magnet politik yang kuat. Popularitas mereka tidak hanya berasal dari rekam jejak prestasi, tetapi juga sebagai simbol yang mampu menarik massa dan menciptakan daya tarik elektoral yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menunjukkan bagaimana nama besar tokoh politik menjadi alat untuk menciptakan validasi publik, sekaligus mencerminkan ketergantungan pada figur sentral di tengah sistem demokrasi yang seharusnya lebih fokus pada kapasitas individu kandidat.
Salah satu contoh nyata dapat dilihat pada Pilkada Jakarta 2024. Kandidat yang diusung oleh partai atau koalisi tertentu berlomba-lomba mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh besar. Jokowi, yang tetap menjadi figur sentral dengan tingkat kepercayaan publik yang tinggi, memberikan endorsement kepada pasangan Ridwan Kamil dan Suswono, sebuah langkah strategis untuk meningkatkan daya tarik pasangan tersebut di mata pemilih.
Hal serupa dilakukan oleh Prabowo Subianto yang secara aktif turun langsung untuk mendukung calon dari partainya, serta Anies Baswedan yang sering menjadi rujukan bagi calon gubernur dari berbagai daerah. Para kandidat ini tidak hanya berharap untuk menarik dukungan pemilih, tetapi juga ingin memanfaatkan pengaruh tokoh-tokoh tersebut untuk memperkuat posisi mereka di tengah persaingan yang ketat.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tidak lepas dari dinamika psikologis dan sosial yang melatarbelakangi strategi politik semacam ini. Berdasar dari perspektif Self-Esteem Theory, para kandidat yang merasa kurang percaya diri terhadap kemampuan atau daya tarik politiknya cenderung mencari dukungan dari figur besar untuk meningkatkan harga diri mereka. Ketika Ridwan Kamil mendapatkan dukungan dari Jokowi, hal ini bukan hanya sekadar strategi elektoral, tetapi juga mencerminkan upaya untuk meningkatkan validasi publik melalui figur yang telah memiliki legitimasi kuat di mata masyarakat.
Fenomena ini mencerminkan lanskap politik yang masih bergantung pada figur sentral, menandakan bahwa daya tarik individu kandidat sering kali kurang menjadi fokus. Sehingga mendapatkan endorsement dari tokoh seperti Jokowi adalah cara untuk mengurangi risiko kehilangan kepercayaan pemilih, terutama di tengah persaingan yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang Social Identity Theory. Di Indonesia, pemilih sering kali mengidentifikasi diri mereka dengan tokoh atau kelompok tertentu. Kandidat yang mendapatkan dukungan dari tokoh besar berharap dapat memanfaatkan identitas sosial yang melekat pada tokoh tersebut untuk memperkuat citra mereka. Misalnya, Anies Baswedan yang dianggap sebagai simbol perubahan oleh sebagian pendukungnya, sering kali diminta memberikan dukungan kepada kandidat lain, terutama untuk menarik simpati pemilih yang telah memiliki loyalitas tinggi terhadap Anies. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan kapasitas kandidat dan pendidikan politik masyarakat agar pemilu dapat lebih mencerminkan penilaian berbasis kompetensi dan integritas, bukan semata-mata asosiasi dengan nama besar.
Lebih jauh, fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui konsep Impression Management. Dalam politik, persepsi publik menjadi elemen yang sangat krusial. Kandidat menggunakan endorsement sebagai alat untuk membentuk kesan positif di mata pemilih. Ketika Prabowo Subianto turun langsung untuk mendukung calon kepala daerah, langkah ini merupakan bentuk pengelolaan kesan yang bertujuan memperkuat citra kandidat di mata masyarakat. Prabowo ingin memberikan pesan bahwa kandidat tersebut memiliki kualitas yang sejalan dengan visi dan misi dirinya, sekaligus meningkatkan kredibilitas partainya di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT
Padahal, dengan banyaknya kandidat politik berlindung di balik nama besar menyoroti tantangan etika politik, di mana integritas individu tergantikan oleh pragmatisme elektoral, berisiko mengaburkan kualitas kepemimpinan sejati. Namun, meskipun strategi ini efektif dalam meningkatkan elektabilitas dalam jangka pendek, ketergantungan pada dukungan tokoh besar memiliki risiko tersendiri.
Kandidat yang terlalu mengandalkan nama besar dapat dianggap kurang mandiri atau tidak memiliki visi yang jelas. Selain itu, fenomena ini dapat memperkuat polarisasi di tengah masyarakat, terutama jika tokoh yang memberikan dukungan memiliki basis pendukung yang kuat namun juga menghadapi oposisi yang signifikan. Akibatnya, pemilih cenderung melihat kandidat bukan sebagai individu yang kompeten, tetapi sebagai "perpanjangan tangan" dari tokoh yang mendukung mereka.
Oleh karena itu, Untuk mengatasi ketergantungan yang berlebihan pada dukungan tokoh besar, diperlukan langkah-langkah strategis baik dari sisi kandidat maupun masyarakat. Pertama, kandidat perlu fokus pada pengembangan visi, misi, dan program kerja yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini akan membantu mereka membangun citra diri yang autentik, sehingga pemilih dapat melihat kompetensi mereka tanpa harus bergantung pada figur lain. Kedua, membangun hubungan langsung dengan konstituen melalui dialog terbuka dan komunikasi yang transparan dapat menciptakan kepercayaan yang lebih kuat dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberdayakan melalui pendidikan politik yang mendorong pemahaman tentang pentingnya menilai kandidat berdasarkan kapasitas dan integritas mereka, bukan semata-mata karena dukungan dari tokoh tertentu. Dengan demikian, pemilih akan lebih kritis dan independen dalam menentukan pilihannya.
Selain itu, partai politik harus berperan lebih aktif dalam membangun kader yang kompeten dan memiliki rekam jejak yang baik, sehingga kandidat tidak lagi bergantung pada dukungan tokoh besar untuk memenangkan hati rakyat. ya meskipun itu agak sulit mengingat partai hanya mementingkan citra dan magnet individu secara langsung. Terbukti, akhir-akhir ini malah banyak calon malah muncul dari publik figur seperti artis, yang memang rekam jejak politik dan kapasitasnya masih dipertanyakan.
Fenomena berlindung di balik nama besar ini sebenarnya mencerminkan dinamika politik Indonesia yang masih bertumpu pada figur sentral. ya meskipun strategi ini terbukti efektif dalam menarik perhatian publik, ketergantungan yang berlebihan pada endorsement dari tokoh berpengaruh dapat melemahkan proses demokrasi yang seharusnya lebih fokus pada kapasitas individu kandidat.
ADVERTISEMENT
pada akhirnya di daerah juga melakukan hal yang sama. Para calon merapat ke tokoh sentral yang memang memiliki capital ekonomi yang kuat seperti pengusaha dan tokoh agama seperti kiai, kepala adat dan lainnya.
Untuk menciptakan politik yang lebih mandiri dan berbasis kompetensi, semua pihak, baik kandidat, masyarakat, maupun partai politik, perlu berperan aktif dalam mengubah paradigma ini. Agar supaya demokrasi Indonesia dapat berkembang menuju sistem yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.