Konten dari Pengguna

Post-Truth Era dan Fenomena Industri Buzzer dalam Preferensi Elektoral Pilpres

MOH ALI S, M, M, PSDM
Mahasiswa Pascasarjana Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga Surabaya
22 Maret 2024 13:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MOH ALI S, M, M, PSDM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi industri buzzer by pixels
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi industri buzzer by pixels
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 telah berakhir. Warga negara telah menggunakan hak suara mereka dengan memilih calon presiden dan calon wakil presiden yang mereka dukung. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil final mengenai siapa pemenangnya.
ADVERTISEMENT
Namun, pesta demokrasi ini bukan hanya sekadar proses elektoral untuk memilih pemimpin di tempat pemungutan suara. Lebih dari itu, pesta demokrasi mencerminkan secara mendalam beragam aspek budaya, pengalaman, keyakinan, dan nilai-nilai demokrasi yang sedang dijalin.
Pertanyaannya, apakah pesta demokrasi yang telah berlangsung merupakan ungkapan dari semangat demokrasi yang menghargai kebebasan, keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, dan akuntabilitas, atau sebaliknya? Gelombang penolakan, protes, keluhan, keberatan, dan demonstrasi terkait penyelenggaraan Pilpres 2024 menunjukkan bahwa pesta demokrasi tersebut jauh dari esensi demokrasi! Mari kita bahas satu persatu soal penyebab dari adanya gelombang tersebut.
Media sosial telah menjadi alat utama bagi kandidat politik dan partai untuk menyebarkan narasi mereka dan mempromosikan kampanye mereka kepada pemilih. Dari meme lucu hingga video viral, kampanye politik digital memiliki kemampuan untuk menjangkau pemilih secara langsung dan emosional. Ini memberi kesempatan bagi kandidat yang lebih tidak dikenal atau memiliki anggaran kampanye yang lebih kecil untuk bersaing secara lebih merata dengan kandidat yang lebih mapan.
ADVERTISEMENT
Platform media sosial juga menjadi tempat di mana opini publik dibentuk dan diungkapkan secara terbuka. Melalui fitur seperti like, share, dan komentar, masyarakat dapat berpartisipasi dalam diskusi politik dan memberikan umpan balik langsung kepada kandidat dan partai. Selain itu, alat analisis data dan kecerdasan buatan digunakan untuk mengukur sentimen publik secara real-time, memberikan wawasan berharga kepada kandidat tentang preferensi elektoral dan strategi kampanye mereka.
Di tengah-tengah era di mana informasi menjadi senjata utama dalam pertempuran narasi, kita menghadapi tantangan besar dalam membedakan antara fakta dan opini, kebenaran dan pemalsuan. Hal ini memiliki dampak yang signifikan pada kepercayaan masyarakat terhadap institusi, pemerintah, dan media. Ketika informasi yang tidak diverifikasi dengan cepat menyebar, masyarakat sering kali merasa kehilangan pegangan dan kepercayaan pada otoritas yang ada.
ilustrasi Post-Truth by Pixels
Selain itu, fenomena “Post-truth” juga memperkuat polarisasi masyarakat. Dengan munculnya narasi yang ekstrem dan penuh emosi, perbedaan pendapat semakin membesar dan kedalaman pemahaman bersama semakin tergerus. Ini menciptakan ketegangan sosial yang bisa berujung pada konflik dan ketidakstabilan.
ADVERTISEMENT
Konsep "Post-truth" telah menarik perhatian banyak orang. Istilah ini, yang pertama kali muncul pada awal 1990-an, merujuk pada situasi di mana opini dan emosi seseorang lebih memengaruhi pembentukan opini daripada fakta yang objektif. Namun, di era digital saat ini, fenomena ini telah berkembang pesat, didorong oleh industri buzzer yang semakin memperkuat citra post-truth tersebut.
Post-truth era muncul sebagai hasil dari pergeseran perilaku komunikasi manusia. Tidak lagi hanya berpegang pada fakta dan logika, banyak dari kita lebih cenderung mempercayai narasi yang sesuai dengan keyakinan dan emosi kita sendiri. Ini terjadi tidak hanya karena akses mudah ke informasi yang melimpah di era digital, tetapi juga karena lingkungan online yang memungkinkan penyebaran informasi yang tidak diverifikasi dengan cepat dan luas.
ADVERTISEMENT
Pentingnya kebenaran objektif tampaknya memudar, digantikan oleh preferensi pribadi dan opini bersifat subjektif. Dalam konteks politik, misalnya, banyak keputusan pemilih tidak lagi didasarkan pada program atau rekam jejak kandidat, tetapi lebih pada narasi yang memicu emosi tertentu.
Selain itu, industri buzzer telah menjadi salah satu elemen kunci dalam memperkuat post-truth era. Buzzer adalah individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan pesan tertentu secara online, seringkali tanpa memperhatikan kebenaran atau fakta yang mendasarinya.
Mereka menggunakan media sosial dan platform online lainnya untuk menyebarkan narasi yang sesuai dengan kepentingan klien mereka. Bahkan seringkali menggunakan taktik yang tidak etis, seperti menyebarkan berita palsu atau memanipulasi informasi, untuk mencapai tujuan politik mereka.
Peran buzzer dalam membentuk opini publik sangat kuat. Mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat dengan cepat dan efektif. Kekuatan ini didasarkan pada sifat viral dari konten online dan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat pada platform digital. Terbukti hasil kerja mereka sangat berpengaruh secara signifikan dalam pilpres 2024 kali ini.
ADVERTISEMENT
Kita sebagai pemikir kritis tentu sangat ironi melihat kondisi ini. Namun, Meskipun demikian, kehadiran digital juga telah mendorong partisipasi pemilih yang lebih aktif. Dengan kemudahan registrasi pemilih secara online, penyiaran debat politik secara langsung melalui internet, dan kampanye get-out-the-vote yang dipimpin oleh media sosial, masyarakat semakin merasa terlibat dalam proses politik dan lebih mungkin untuk menggunakan hak pilih mereka.
Post-truth era dan fenomena industri buzzer memunculkan tantangan besar dalam upaya memahami dan mengelola informasi di era digital ini. Dengan mengakui kompleksitasnya, kita dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk membangun masyarakat yang lebih berpikir kritis, serta membangun fondasi informasi yang lebih kuat dan akurat.
Salah satunya dengan memasifkan pendidikan tentang literasi media, di mana masyarakat perlu dilengkapi dengan keterampilan untuk memilah informasi, mengevaluasi sumber, dan membedakan antara fakta dan opini.
ADVERTISEMENT
Transparansi dan akuntabilitas juga tak kalah penting bagi pemerintah, platform media sosial, dan industri untuk beroperasi dengan transparan dan bertanggung jawab atas informasi yang disajikan kepada masyarakat. Ditambah dengan penguatan pengawasan, di mana regulasi yang ketat diperlukan untuk mengendalikan penyebaran informasi palsu dan praktik buzzer yang tidak etis.
Terakhir soal pemberdayaan individu, di mana masyarakat perlu dilatih untuk menjadi kritis terhadap informasi yang mereka terima, serta merasa nyaman untuk mempertanyakan dan mencari informasi tambahan. Hanya dengan demikian kita dapat menghadapi masa depan yang dipenuhi dengan tantangan informasi dengan keyakinan dan ketenangan pikiran.