Konten dari Pengguna

Bagaimana Pinjaman China Menjadi Jebakan Utang Tak Berujung Bagi Sri Lanka

Lusi Rahmawati
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
30 April 2024 10:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lusi Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Negara China (Sumber: Unplash.com/Planet Volumes)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Negara China (Sumber: Unplash.com/Planet Volumes)
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2013, China dibawah kepemimpinan Xi Jinping menginisiasi sebuah skema pendanaan yang dikenal dengan Belt and Road initiatiative (BRI) yang merupakan kegiatan ekonomi, diplomatik, dan geopolitik yang beragam sebelumnya Bernama “New Silk Road’ yang kemudian di ubah menjadi “One Belt One Road”. Jalur sutra ekonomi ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi China dengan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tengah. Dimana skema ini kemudian menimbulkan perdebatan, apakah skema tersebut dibuat semata-mata hanya sebagai strategi China dalam memperkuat geopolitiknya atau juga menjadi bagian dari upaya penyelesaian kesenjangan pembangunan global.
ADVERTISEMENT
Kemudian ditemukan bahwa, ekspansi kapital ini dimanfaatkan oleh China untuk memperkuat pengaruh ekonomi dan politiknya. Hingga tidak mengherankan apabila ekspansi kapital China ini kemudian dilakukan secara agresif sehingga dapat mengancam kondisi perekonomian negara-negara yang menerina pinjaman.
China’s Debt-trap atau jebakan utang China, sebuah istilah yang kemudian muncul sebagai pandangan skeptis dari bangsa-bangsa barat yang berniat memojokkan China dalam perang dagang. Pandangan ini diberikan sebagai upaya untuk mengalahkan China dalam perang dagang.
Namun, nyatanya pinjaman dana dan investasi yang diberikan oleh China kemudian memunculkan dilema dan kenggalan, seperti yang dialami oleh negara Sri Lanka. Dimana awalnya Sri Lanka menandatangani perjanjian kerjasama dengan negara China. Kerjasama atersebut berupa investasi dan pinjaman uang yang diberikan oleh negara China untuk pembangunan infrastuktur di negara tersebut. Salah satunya adalah proyek pembangunan Pelabuhan Hambantota, yang dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian negara Sri Lanka. Pembangunan Pelabuhan ini dinilai baik karena letaknya yang sangat strategis dan bernilai ekonomis yang cukup tinggi. Dimana hal tersebut dapat memberikan keuntungan secara ekonomis bagi kedua negara. Sri Lanka mendapatkan pinjaman hingga sebesar 2 milliar dollar Amerika Serikat dalam rangka untuk mendanai pengembangan pembangunan proyek Pelabuhan Hambantota tersebut.
ADVERTISEMENT
Tapi, fakta yang terjadi kemudian tidaklah sesuai harapan. Dimana keuntungan yang didapatkan dari Pelabuhan Hamnbatota ini ternyata tidak mencukupi, bahkan untuk sekedar membayar pinjaman kepada China. Pinjaman yang tidak bisa dibayarkan ini pun akhirnya mencapai ujungnya, dimana telah sampai pada masa tenggat atau pembayaran utang Sri Lanka kepada China.
Hal tersebutlah yang kemudian berdampak pada menguatnya dominasi Cina dalam mengontrol bahkan mengambil alih dan menguasai asset-aset strategis yang dimiliki negara Sri Lanka. Ketidakmampuan membayar pinjaman utang itu pun memaksa Sri Lanka untuk mau tidak mau menyerahkan hak Kelola atas Pelabuhan Hambantota kepada China. Pada tahun 2017, China secara resmi mengambil alih pelabuhan ini untuk 99 tahun lamanya dan memiliki hingga 85% saham pelabuhan. Tidak hanya pelabuhan, tetapi juga area seluas 130.000 hektar yang berada di sekitar pelabuhan tersebut ikut diambil alih oleh China.
ADVERTISEMENT
Pinjaman yang didapatkan oleh Sri Lanka dari Negra China tersebut nampaknya tidak melalui studi serta pertimbangan yang cukup layak sehingga mengakibatkan ketidakmampuan dalam pengembalian pinjaman. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan kegagalan pembayaran utang ini adalah biaya perawatan pelabuhan yang terbilang cukup besar, sehingga menguras pendapatan keuntungan yang didapatkan. Meskipun jangka waktu pembayaran utang yang diberikan oleh China cukup panjang, namun bunga yang tinggi menjadi beban yang menyebabkan kegagalan bayar hutang karena kemampuan bayar utang negara Sri Lanka yang relatif rendah. Inilah yang kemudian menyebabkan negara Sri Lanka terjebak pada "Perangkap Hutang" yang sangat serius.
Lusi Rahmawati, Mahasiswa Ekonomi Syari'ah UIN Sunan Gunung Djati