Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
'Art Jakarta 2019': Pergulatan Keseharian Manusia
1 September 2019 8:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Art Jakarta kembali digelar tahun ini dengan manajemen baru, lokasi baru yang lebih besar, dan penataan yang lebih menyerupai art fair besar dunia.
Sejatinya art fair, sebagai pasar seni, jarang menawarkan tema besar, namun terkadang ada benang merah yang ditemui. Pergulatan keseharian manusia yang disampaikan mulai dari abstrak sampai satir jenaka cukup mewarnai Art Jakarta 2019.
Dimulai dari karya raksasa Justian Jafin (3x6 meter) yang memaparkan secara gamblang isu inkompetensi sumber daya manusia lini bawah saat dihadapkan dengan persaingan asing seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketimbang mengutuk persaingan, sang perupa lebih menyoroti ketiadaan pelatihan dari Pemerintah yang seolah membiarkan pekerja lini bawah tersingkir begitu saja. Kutipan "Kami akan damai ketika urusan perut selesai" di sudut kanan mengunci narasi karya.
ADVERTISEMENT
Melankolia agraria yang sama juga disampaikan Ja Nuri dalam lukisan yang menggambarkan terpuruknya petani konvensional didera berbagai tantangan zaman.
Jompet Kuswidananto menyoroti lebih jauh pergulatan antar-negara. Bagi Jompet, sejak masa kolonial sampai merdeka, Indonesia dipenuhi serigala-serigala yang berebut kemewahan rapuh dan pengeras suara 'pemonopoli' kebenaran semu.
Kerajaan Thailand memang pantas bangga karena tak pernah dijajah, namun bukan berarti hilir-mudiknya berbagai bangsa tidak meninggalkan jejak pada peradaban setempat. Perupa perempuan, Pannaphan Yodmanee, merangkai instalasi semen dan besi pondasi berkarat sebagai basis melukis sebaran sisa-sisa budaya, sebuah karya yang cukup jeli dan arif untuk perupa yang masih muda.
Namun, saat sebuah negara menang persaingan pasar, apakah pekerjanya serta-merta berhenti bergulat dengan kehidupan? Mungkin tidak, contohnya adalah industri garmen Cina. Dikemas oleh Huang Po-Chih dalam instalasi pakaian yang tergantung rapi dan steril, narasi tersurat dalam label "Sorry today I don't have the day off" yang disembunyikan di balik serba keteraturan dan kebaruan. Sudah menang bersaing, tapi tetap tak pegang kendali atas jadwal hidupnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Terlebih di kalangan eksekutif, pergulatan bukan hanya dengan pekerjaan namun juga kehidupan sosial. Menamai karyanya “Namaste”, Naufal Abshar membidik dengan jeli seorang wanita karir sukses yang masih dituntut hidup sehat, bergaul luas, dan tanggap terhadap isu-isu terkini seperti penggunaan katun 100 persen agar tidak mencemari alam. Makin ke atas makin dilihat, sehingga makin tak boleh bercela.
Pekerja kreatif lepasan pun, yang dianggap sebebas burung, tak sepi dari pergulatan. Richard Irwin Meyer, pelukis Amerika yang lama bermukim di Indonesia, sempat mengalami patah pergelangan tangan yang mengancam kemampuannya berkesenian. Berhasil sembuh operasi tanpa fisioterapi memadai, ia rayakan dengan sebuah abstrak yang meliuk menggigit.
Jaeyong Kim, sebaliknya, masih bergulat dengan obesitas, dan memutuskan untuk menumpahkannya dalam donat bermedium keramik-kristal yang menggiurkan. Tersembunyi lebih dalam di karya ini episode perjuangan awal yang berat sebagai seniman, di mana Jaeyong nyaris banting-setir menjadi penjual donat.
ADVERTISEMENT
Pergulatan hidup memang tak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Bahkan dalam diam sekalipun manusia modern masih harus berjuang memilah di antara derasnya arus informasi banal, seperti ditampilkan oleh instalasi “Wave of Tomorrow” dari Isha Hening. Selain isu ini, tentunya masih banyak perspektif lain yang ditawarkan. Penikmat seni juga dapat rileks menikmati karya kelas dunia dari Koonz, Madsuki, dan Takashi Murakami melalui Phillips Auction yang kembali hadir di Indonesia setelah partisipasi perdananya pada Mei lalu di sebuah art fair lain di Jakarta.
Bila masih merasa kurang rileks, bilik suara interaktif dari Cheuk Wing Nam menyuguhkan sensasi tersendiri. Mungkin karena berasal dari Hong Kong yang begitu hiruk-pikuk, terutama pada bulan-bulan terakhir ini, sang perupa mengolah kesunyian, suatu terapi yang sebenarnya diperlukan oleh mayoritas warga Jakarta yang selalu digondol bermacam pergulatan.
ADVERTISEMENT