Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meluruskan Kembali Makna Hari Ibu, Belajar Dari Sosok Rahmah El-Yunusiyah
23 Desember 2024 17:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari M Chozin Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemarin, tanggal 22 Desember, diperingati sebagai Hari Ibu. Ditilik dari sejarah lahirnya, saya berfikir mungkin istilah yang lebih tepat adalah Hari Perempuan. Sebab, sejarah lahirnya Hari Ibu justru bukan bicara dalam konteks sosok Ibu sebagai perempuan yang melahirkan anak dan mengasuhnya, melainkan lebih bicara pada soal hak-hak perempuan itu sendiri. Hal ini berbeda dengan peringatan Mother’s Day di Amerika Serikat yang diperingati pada setiap bulan Mei. Peringatan Hari Ibu di Indonesia adalah bicara soal kesetaraan hak-hak kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Mari kita baca kembali sejarahnya! Peringatan Hari Ibu pertama kali dicetuskan pada forum Kongres Perempuan III di Bandung tahun 1938. Penetapan tanggal 22 Desember mengacu kepada peristiwa 10 tahun sebelumnya, dimana 30 organisasi perempuan berkumpul di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Sebutlah beberapa nama organisasi perempuan zaman itu yang berkumpul, diantaranya: Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sedjati, Wanita Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo, Taman Siswa, Jong Islamieten Bond, Jong Madoera, dan sebagainya. Mereka berkumpul untuk membicarakan mengenai kesetaraan hak kaum perempuan terutama dalam pendidikan, keluarga, dan kehidupan berbangsa.
Lalu apa bedanya dengan peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April? Secara substansi sebenarnya sama-sama membicarakan soal hak-hak kaum perempuan, bicara soal emansipasi. Oleh karena itu, waktu pertama kali Pemerintah menetapkan Hari Kartini sebagai peringatan hari emansipasi kaum perempuan, mendapatkan banyak protes dari berbagai kalangan karena sudah ada Hari Ibu yang juga memiliki substansi yang sama. Tetapi hikmahnya, dalam satu tahun, Indonesia memiliki dua hari yang dikhususkan untuk memperingati emansipasi kaum perempuan. Menunjukkan betapa kuatnya peran kaum perempuan di Indonesia, bahkan jauh sebelum kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Tanpa bermaksud melupakan yang lain, saya ingin menceritakan salah satu sosok perempuan di era tahun 1920-an yang kiprahnya bukan saja nasional, tetapi bahkan internasional. Adalah Rahma El-Yunusiyah (1900-1969), sosok perempuan Minang yang paling menginspirasi dan mampu mengubah dunia. Umur 23 tahun, Rahmah El-Yunusiyah mendirikan sebuah pesantren khusus bagi perempuan Diniyah Putri di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia mendirikan lembaga pendidikan bagi kaum perempuan sebab di zaman itu memang tak ada lembaga pendidikan bagi kaum perempuan. Di manapun, yang bisa bersekolah hanyalah kaum laki-laki.
Pesantren yang dirintis oleh Rahmah El-Yunusiyah sampai sekarang masih hidup dan telah melahirkan ratusan ribu alumni kaum perempuan terdidik. Jika kita pernah melewati salah satu jalan terbesar di Jakarta, yaitu jalan HR Rasuna Said, itu adalah nama sosok singa betina podium yang melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Saking berpengaruhnya pidato-pidatonya, Rasuna Said sampai dikenai sanksi larangan untuk bicara di depan publik (speek delict). Rasuda adalah salah satu hasil didikan Rahma El-Yunusiyah di pesantren Diniyah Putri. Contoh alumnus lainnya adalah Haryati Subakat, pemilik brand kosmetik terbesar di negeri ini, Wardah.
ADVERTISEMENT
Kiprah Rahma El–Yunusiyah tak hanya di dalam negeri, ia bahkan telah mengubah dunia. Dikisahkan, tahun 1950-an, pimpinan tertinggi Universitas Al-Azhar Abdurrahman Taj datang dari Mesir ke Padang Panjang, mengunjungi pesantren Diniyah Putri. Dalam kunjungan tersebut, ia terkesima menyaksikan sebuah lembaga pendidikan yang semua muridnya perempuan bisa menguasai bahasa Arab, mengerti ilmu agama secara mendalam, dan menghasilkan banyak karya luar biasa di berbagai bidang.
Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1957, Rahmah El-Yunusiyah diundang ke Al-Azhar untuk mengajar. Rahmah kemudian mendapat gelar kehormatan Syaikhah, sebuah gelar selevel profesor yang sebelumnya tak pernah diberikan kepada kaum perempuan. Dalam sejarah pendidikan dunia Islam, Rahmah adalah penerima gelar pertama Syaikhoh. Sejak saat itu pula, selama 1000 tahun lebih sejarah berdirinya Universitas Al-Azhar, pertama kali membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Rahmah El-Yunusiyah hanyalah satu dari ratusan bahkan jutaan kaum perempuan inspiratif Indonesia yang berhasil memperjuangkan kesetaraan hak-hak kaumnya sehingga mampu mengubah dunia. Indonesia patut berbangga, bahwa di negeri inilah lahir dan bertumbuh kaum perempuan berdaya yang tak sekedar memainkan peran sekunder saja, melainkan peran-peran utama dalam perjalanan bangsa. Peringatan Hari Ibu adalah momentum bagi kita semua untuk kembali menegaskan bahwa kaum perempuan adalah setara dan wajib memerankan kesetaraannya demi kemajuan bangsa.