Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Nestapa Negeri Paradoks
15 Juni 2021 13:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari M Febriyanto Firman Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebulan sudah pasca libur hari raya Idul fitri yang kedua di masa pandemi covid-19 di negeri ini, dengan kebijakan yang sama tahun lalu menjelang libur lebaran selalu ada pelarangan mudik dari pemerintah, tetap dengan keterangan untuk menekan angka penyebaran virus corona sebagai solusi agar rakyat Indonesia agar tidak terjadi kerumunan saat libur lebaran (mudik).
ADVERTISEMENT
Sejak Ramadhan kemarin hingga hari ini saja, ada beberapa kebijakan dikeluarkan pemerintah yang dirasa kurang tepat dan terlihat paradoks, sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Dari mulai pelarangan mudik namun dibukanya tempat wisata, pelarangan mudik dan menonaktifkan alat transportasi umum untuk mudik namun tetap boleh datangnya warga asing masuk dengan pesawat sewaan sekalipun.
Hingga tentang Tes Wawasan Kebangsaan pegawai KPK, dalam pernyataan resmi di youtube Sekretariat Presiden, Senin (17/5/2021), Presiden Joko Widodo meminta agar hasil TWK tidak digunakan sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK yang masuk dalam kategori Tak Memenuhi Syarat (TMS).
Namun hingga sekarang belum ada penjelasan lanjutan dari pimpinan KPK setelah ada pernyataan dari Presiden tersebut. Ditambah lagi tentang pembatalan pemberangkatan jemaah haji 2021 yang diumumkan oleh Kemenag melalui Keputusan Menteri Agama No. 660/2021 tentang pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun 1442H/2021M.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari berbagai pertimbangan yang dijadikan landasan Kemenag, bahwa dari masyarakat yang sudah mendaftar dan seharusnya berangkat tahun lalu akan kembali kecewa, ditambah lagi tudingan penggunaan dana haji pemerintah menguap ke publik, belum lagi surat bantahan dari pihak Pemerintah Saudi Arabia tentang pelaksanaan ibadah haji.
Melihat beberapa kebijakan yang paradoks dan dirasa ambigu membuat kita sebagai rakyat bertanya-tanya tentang kegagalan komunikasi pemerintah saat ini.
Adanya kegagalan komunikasi pemerintah berarti ada faktor gangguan yang menimbulkan tidak konsisten kebijakan, jika demikian dalam ilmu komunikasi faktor noise atau gangguan ini juga menentukan sukses atau tidaknya sebuah komunikasi.
Noise dalam komunikasi dapat berupa gangguan jasmani, gangguan teknis, gangguan semantik dan psikologis (West dan Turner, 2008).
ADVERTISEMENT
Penjelasan dari beberapa gangguan di atas, Pertama untuk gangguan jasmani disebabkan kondisi biologis misalnya di saat mengambil keputusan para pejabat sedang puasa sehingga kurangnya asupan air dan menyebabkan kurangnya konsentrasi saat pengambilan keputusan tentang pelarangan mudik lebaran untuk menekan tingkat penyebaran COVID-19.
Namun di sisi lain Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyatakan bahwa tidak ada larangan operasi destinasi wisata buka selama masa libur lebaran.
Kedua gangguan teknis bisa terjadi dikarenakan adanya komponen teknis yang menghambat penyaluran informasi. Seperti saat Presiden melakukan pernyataan resmi di youtube Sekretariat Presiden, Senin (17/5/2021), Presiden Joko Widodo meminta agar hasil TWK tidak digunakan sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK yang masuk dalam kategori Tak Memenuhi Syarat (TMS).
ADVERTISEMENT
Namun pernyataan presiden tersebut tetap tidak diindahkan oleh pimpinan KPK dan tetap melakukan pemecatan beberapa pegawainya setelah Tes Wawasan Kebangsaan.
Kemudian pertanyaannya adalah, apakah informasi yang disiarkan via youtube Sekretariat Presiden tersebut sampai ke pimpinan KPK? Atau adanya kendala jaringan internet? Mungkin juga karena suatu hal lain sehingga tidak sampainya pesan Presiden ke Pimpinan KPK tersebut.
Ketiga dari gangguan semantik penyebabnya karena adanya kendala kebahasaan dalam menyampaikan dan menerima informasi. Seperti saat para WNA masuk ke Indonesia sedangkan kondisi dalam negeri masih dalam masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat(PPKM), dan saat menjelang hari raya Idul fitri Pemerintah kembali melarang rakyatnya untuk mudik, akan tetapi santer terdengar diberbagai media banyaknya WNA asal China dan India masuk dengan bebas.
ADVERTISEMENT
Dengan analisis sederhana ini, bisa dikatakan bahwa mereka Warga Negara Asing (WNA)tidak paham dengan bahasa PPKM sehingga mereka tetap masuk dengan mudah meski positivity rate covid-19 di sini masih masuk kategori 'very high incident' karena berada di angka 32 persen pada Senin (5/4) dan masuk 'high incident' karena berada di angka 19,5 persen pada hari Selasanya, kata Windhu Purnomo seorang Epidemiolog Unair.
Sedangkan menurut WHO di atas 20 persen itu 'very high incident'. dan baru terkendali itu kalau sudah masuk 'moderate incident' antara 2-5 persen. Lalu kenapa masih boleh masuk WNA-nya ya?
Kemudian yang keempat gangguan psikologis, untuk dapat memahami ini perlu kita jelaskan konsep ‘frame of reference’ (Schramm & Robert, 1971) yang diartikan sebagai keseluruhan nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga preferensi politik individu.
ADVERTISEMENT
Sehingga jika timbul perbedaan antara komunikator dan komunikasikan dari frame of reference, semakin besar juga potensi noise komunikasi serta mengurangi efektivitas komunikasinya.
Melihat dari beberapa contoh misalnya, tentang imbauan Presiden Joko Widodo tentang jajarannya agar tidak ada yang main-main soal akuntabilitas penggunaan anggaran khususnya untuk masa pandemi seperti ini, disampaikan saat membuka rapat koordinasi nasional pengawas intern Pemerintah 2020 melalui video konferensi dari Istana Merdeka, Jakarta(15/6/2020).
“Pencegahan harus diutamakan, tata kelola yang baik harus didahulukan, tetapi kalau ada yang bandel, ada mens rea(niat jahat), maka silakan bapak ibu digigit dengan keras, uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus kita jaga," ujar Presiden Jokowi.
Hingga terjadinya penangkapan Menteri Sosial, Julian Batubara, yang terdakwa kasus korupsi dana bantuan social untuk penanganan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan adanya ketidakcocokan data pasien COVID-19 antara yang ada di tingkat daerah dengan pusat, seperti milik Pemprov DKI Jakarta dan Sumatera Barat dengan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat.
Terlepas dari semua hal di atas, implikasi sebagian publik merasa kecewa dan tidak percaya lagi terhadap pemerintah. Dikarenakan inkonsistensi dari pemerintah juga memicu kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Sehingga menyebabkan adanya political prejudice (prasangka politis) dari masyarakat kepada pemerintah.
Sebagaimana yang katakan oleh J. Michael Sproule “Ketika orang ditipu, mereka tidak mempercayai sumber yang telah menipunya. Jika mayoritas dari sumber informasi yang ada di masyarakat bertindak tanpa mempertimbangkan kejujuran dalam berkomunikasi, maka semua komunikasi menjadi lemah” (1980:282).
Komunikasi pada pemerintah menjadi subsistem dari sistem politik negara, sehingga ketika komunikasi sebuah negara baik maka akan timbul kualitas dan kuantitas yang baik pada peredaran informasi di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian untuk mendukung kondisi darurat seperti pandemi saat ini, seharusnya setiap otoritas hendaknya memiliki perencanaan dan strategi komunikasi yang mumpuni.
Tentunya dengan komunikasi yang baik akan mempertimbangkan aspek keterbukaan informasi publik. Sehingga negara harus memastikan tidak ada warganya yang sedih atau nestapa akibat kebuntuan komunikasi.
Maka ketika komunikasi terdapat gangguan dipastikan menjadikan kurang optimalnya penyampaian pesan agar mudah dimengerti, semoga ke depan negara kita tercinta ini dapat lebih baik dalam komunikasi dan penyampaian keputusan atau aturan kepada rakyatnya. Amiiin