Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Adat Harus Berubah: Pesan Kritis Buya Hamka di Balik Karya Sastra
16 Agustus 2024 10:19 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Jonson Handrian Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia dikenal dengan kekayaan budayanya yang beragam, termasuk adat istiadat yang mengakar kuat di berbagai daerah. Adat ini telah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat selama berabad-abad, membentuk ident
ADVERTISEMENT
itas kolektif dan memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, adat juga sering kali menjadi hambatan yang menahan perubahan sosial yang diperlukan. Buya Hamka, seorang ulama, sastrawan, dan pemikir terkemuka Indonesia, dengan berani menyuarakan kritiknya terhadap adat melalui karya-karya sastranya, terutama novel-novel yang ia tulis. Melalui kritiknya, Buya Hamka menunjukkan bahwa adat bukanlah sesuatu yang sakral dan tak boleh diganggu gugat, melainkan harus berubah dan beradaptasi seiring dengan perubahan zaman.
Di Sumatera Barat, khususnya dalam masyarakat Minangkabau, adat memainkan peran yang sangat penting. Adat Minangkabau dikenal dengan sistem matrilinealnya, di mana garis keturunan diturunkan melalui pihak ibu, dan perempuan memiliki peran sentral dalam keluarga. Selain itu, adat juga mengatur segala aspek kehidupan, mulai dari tata cara
ADVERTISEMENT
pernikahan hingga pembagian harta warisan. Bagi masyarakat Minangkabau, adat adalah pedoman hidup yang diwariskan dari nenek moyang dan harus dijaga dengan baik. Namun, di balik nilai-nilai positif yang ada, adat juga bisa menjadi hambatan bagi perubahan sosial.
Adat sering kali dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah, sehingga ketika ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, adat justru menjadi penghalang. Misalnya, dalam hal pernikahan, adat yang kaku sering kali menyebabkan konflik antara individu dan masyarakat, terutama ketika ada perbedaan status sosial atau pandangan hidup yang berbeda. Hal ini yang kemudian menjadi perhatian Buya Hamka dalam karya-karyanya.
Hamka sangat cermat dalam membangun narasi yang menunjukkan dinamika kompleks antara adat, perempuan, dan orang luar (outsider) dalam masyarakat Minangkabau. Dalam banyak karyanya, ia menampilkan ketegangan antara institusi adat yang selama ini dianggap sebagai pemegang otoritas sosial, namun di tangan Hamka, institusi ini sering kali menjadi sumber dari ketidakadilan dan penderitaan. Konflik antara adat yang kaku dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman menjadi tema sentral dalam karya-karyanya, di mana adat bukan lagi sebagai solusi, melainkan sebagai penghalang yang mengekang kebebasan individu.
Perempuan dalam karya-karya Hamka juga sering kali ditempatkan dalam posisi yang paradoksal. Meskipun secara tradisional mereka memiliki kekuatan sosial melalui kepemilikan harta pusaka dan peran sentral dalam sistem matrilineal Minangkabau, Hamka menggambarkan mereka sebagai korban dari adat yang mengekang. Tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel Hamka sering kali terjebak dalam situasi yang membuat mereka kehilangan otonomi, di mana mereka dipaksa untuk mengikuti aturan-aturan adat yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan pribadi mereka. Hal ini mencerminkan kritik Hamka terhadap ketidakmampuan adat untuk memberikan ruang bagi kebebasan dan kebahagiaan individu, terutama bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, orang luar atau outsider dalam narasi Hamka sering kali digambarkan sebagai figur yang berhasil melampaui batas-batas adat. Meskipun pada awalnya mereka dianggap sebagai ancaman bagi tatanan sosial yang mapan dan mengalami berbagai kesulitan dalam berintegrasi dengan masyarakat Minang, Hamka sering kali memberikan akhir yang bahagia bagi tokoh-tokoh ini. Ini menunjukkan pandangan progresif Hamka bahwa keterbukaan terhadap pengaruh luar dan kemampuan untuk beradaptasi adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Narasi ini menantang pandangan tradisional bahwa outsider tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang sangat terstruktur seperti Minangkabau, dan justru menawarkan alternatif yang lebih inklusif dan adaptif.
Kritik Buya Hamka terhadap adat melalui karya-karyanya masih sangat relevan hingga saat ini. Di era modern, di mana perubahan sosial dan teknologi berlangsung dengan cepat, adat yang kaku bisa menjadi penghalang bagi kemajuan. Buya Hamka mengingatkan kita bahwa adat bukanlah sesuatu yang sakral dan tidak boleh diubah, melainkan harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kritiknya juga mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali nilai-nilai adat yang ada, dan untuk mencari keseimbangan antara adat dan kebutuhan individu.
ADVERTISEMENT
Salah satu novel Buya Hamka yang paling terkenal, "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck," mengangkat tema tentang konflik antara adat dan cinta. Dalam novel ini, kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati harus berakhir tragis karena perbedaan status sosial yang diatur oleh adat. Zainuddin, yang meskipun berdarah Minangkabau, tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat karena tidak dibesarkan di tanah Minang. Di sisi lain, Hayati, seorang gadis Minang yang terikat oleh adat, harus tunduk pada aturan-aturan adat yang ketat dan akhirnya menikah dengan pria lain yang dianggap lebih pantas menurut adat.
Melalui novel ini, Buya Hamka mengkritik adat yang kaku dan tidak memberikan ruang bagi kebebasan individu. Ia menunjukkan bagaimana adat bisa menjadi sumber ketidakadilan, terutama ketika aturan-aturan yang ada tidak lagi relevan dengan keadaan zaman. Zainuddin dan Hayati adalah korban dari adat yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial, dan melalui kisah ini, Buya Hamka menyampaikan pesan bahwa adat harus berubah agar tidak menjadi penghalang bagi kebahagiaan dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Dalam novel lainnya, "Di Bawah Lindungan Ka'bah," Buya Hamka kembali mengangkat tema tentang perjuangan melawan adat. Novel ini bercerita tentang Hamid dan Zainab, dua orang muda yang saling mencintai namun terhalang oleh adat yang mengatur hubungan mereka. Hamid, yang berasal dari keluarga miskin, tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada Zainab karena merasa tidak pantas menurut adat. Pada akhirnya, keduanya harus mengorbankan cinta mereka demi menjaga kehormatan keluarga dan adat yang berlaku.
Buya Hamka menggunakan kisah ini untuk menggambarkan betapa adat yang kaku bisa mengekang kebebasan individu dan menghalangi cinta sejati. Ia juga menunjukkan bahwa adat sering kali menempatkan martabat keluarga di atas kebahagiaan pribadi, sehingga individu harus mengorbankan perasaan mereka demi menjaga reputasi keluarga. Melalui "Di Bawah Lindungan Ka'bah," Buya Hamka mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali nilai-nilai adat yang ada, dan untuk mencari keseimbangan antara adat dan kebutuhan pribadi.
ADVERTISEMENT
Novel "Merantau ke Deli" mengisahkan tentang perjalanan seorang pemuda Minangkabau, Midun, yang merantau ke Deli (sekarang Medan) untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Novel ini menggambarkan bagaimana adat Minangkabau ditantang oleh perubahan zaman dan ekonomi. Midun, yang berasal dari keluarga sederhana, harus menghadapi berbagai tantangan di perantauan, termasuk tekanan adat yang masih kuat meskipun jauh dari kampung halaman.
Melalui novel ini, Buya Hamka mengkritik adat yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan ekonomi. Ia menunjukkan bahwa dalam dunia yang terus berubah, adat yang kaku justru bisa menjadi beban yang menghambat kemajuan individu dan masyarakat. Midun adalah contoh dari generasi muda yang harus berjuang melawan adat untuk mencapai impian mereka, dan melalui kisah ini, Buya Hamka menegaskan bahwa adat harus berubah agar dapat mendukung kemajuan, bukan menghambatnya.
ADVERTISEMENT
Pengaruh kritik Buya Hamka terhadap pandangan masyarakat terhadap adat juga tidak bisa diabaikan. Melalui karyanya, ia telah membuka mata banyak orang tentang pentingnya menyesuaikan adat dengan perubahan zaman. Karyanya juga menginspirasi generasi muda untuk berpikir kritis terhadap adat dan tidak takut untuk mengejar impian mereka meskipun terhalang oleh aturan-aturan yang ada.
Terakhir, Buya Hamka, melalui novel-novelnya, telah memberikan kritik yang tajam terhadap adat yang kaku dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Melalui kisah-kisah tragis seperti "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck," "Di Bawah Lindungan Ka'bah," dan "Merantau ke Deli," ia menunjukkan bahwa adat yang tidak berubah justru bisa menjadi sumber ketidakadilan dan penderitaan. Namun, Buya Hamka juga menunjukkan bahwa adat masih memiliki nilai yang penting, asalkan mampu beradaptasi dan berkembang seiring dengan perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempertimbangkan kembali peran adat dalam kehidupan kita. Adat yang adaptif dan fleksibel bisa menjadi sumber kekuatan bagi masyarakat, sementara adat yang kaku dan tidak berubah justru bisa menjadi penghalang bagi kemajuan. Seperti yang ditunjukkan oleh Buya Hamka, perubahan adalah bagian dari kehidupan, dan adat pun harus berubah agar tetap relevan dan mendukung kesejahteraan masyarakat.