Konten dari Pengguna

Skema Kompetitif Esports: Hadiah yang Menggiurkan dan Keberlangsungan Profesi

Maaghna Ramadhan
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
25 Januari 2023 6:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maaghna Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi arena kompetisi olahraga elektronik (Sumber: Yan Krukau-Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi arena kompetisi olahraga elektronik (Sumber: Yan Krukau-Pexels)
ADVERTISEMENT
Saat berusia 14 tahun, tepat setelah Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya secara memaksa mengenalkan permainan video game online kompetitif pertama saya, DOTA 2. Saya bermain dari fajar terbit hingga ia kembali terbenam.
ADVERTISEMENT
"Enak juga, ya. Bermain game sebagai profesi," ucap saya dalam hati.
Namun, kalimat itu muncul bukan tanpa alasan. Setelah bermain, saya beberapa kali melihat beberapa turnamen DOTA 2, mulai dari turnamen nasional hingga turnamen internasionalnya, The Internasional (TI).
Waktu itu, tim asal Amerika Serikat, Evil Geniuses menjuarai TI 5. Mereka (EG, singkatan tim tersebut) mendapatkan "kado" sebesar 6,6 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 98,7 miliar. Namun, niat menjadi proplayer saya urungkan karena beberapa hal, salah satu di antaranya adalah kesehatan.
Olahraga elektronik atau e-sport sedang digandrungi dan dijadikan cita-cita bagi beberapa kalangan masyarakat. Beberapa alasan yang dipilih ialah hobi yang menghasilkan, hadiah dari turnamen dengan jumlah yang tidak sedikit, dan masih banyak alasan lainnya.
Ilustrasi game mobile. Foto: aslysun/Shutterstock
Dapat diambil contoh pada salah satu game online yang sangat populer saat ini, yakni Mobile Legends: Bang-Bang (MLBB). Data dari media Indonesia menyebutkan, dari 90 juta total pemain aktif di seluruh dunia, sekitar sepertiga pemainnya tersebar di Tanah Air dengan 34 juta pemain MLBB.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari mereka pasti memimpikan untuk bermain di liga kasta tertinggi MLBB yakni MLBB Professional League (MPL). Hal ini bukan tanpa alasan, pemain yang baru bermain di MPL diberi upah di atas Rp 7 juta, menurut salah satu mantan pemain profesional dari tim Rex Regum Qeon (RRQ).
Upah tersebut juga disokong dengan gaming house, makan yang teratur, juga dengan insentif lainnya. Dengan prestasi yang didapat, tentunya bukan tidak mungkin upah tersebut akan naik seiring dengan berjalannya waktu.
Di samping upah yang sangat tinggi untuk pemain profesional pemula yang bermain di suatu kasta tertinggi, hadiah yang bisa didapat dari sebuah turnamen tingkat nasional, regional, maupun internasional menjadi alasan penggiat hobi bermain video game daring kompetitif ini berkeinginan menjadi pemain profesional.
Mobile Legends Professional League (MPL) Indonesia. Foto: Moonton
Sebut saja MPL Indonesia Season 10 dengan total hadiah 300 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 4,7 miliar dengan juara pertama mendapatkan 64 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 1 miliar. The International (TI) Dota 2 Championship menyediakan hadiah yang fantastis juga.
ADVERTISEMENT
Melansir esports.id, pada gelaran TI10 yang diselenggarakan tahun 2021 lalu, Valve selaku penyelenggara acara menjanjikan total hadiah 40 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 627 miliar dengan juara pertama mendapatkan sekitar 18 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 282 miliar.
Namun, dengan bayaran yang menggiurkan, ditambah dengan pekerjaan yang “hanya” bermain game daring, ada bayaran lain yang harus menjadi taruhan. Dengan latihan intens, scrim, membahas replay yang bisa menghabiskan waktu 10 jam lebih sehari di depan layar, pasti akan menimbulkan konsekuensi yang berdampak jauh pada kesehatan pemain.
Evos Esports, rival dari RRQ memiliki Integrated Training Facility yang menyediakan berbagai kebutuhan pemain dalam berlatih, mulai dari kesehatan fisik, mental, dan juga jadwal latihan yang dimonitori oleh tenaga ahli. Namun, apakah hal ini cukup untuk pemain dalam jangka waktu panjang dan berkelanjutan?
Pemain Mobile Legends, Jess No Limit. Foto: EVOS Esports
Sebut saja dua pemain MLBB, yakni Justin “Jess No Limit” dan Gustian “R E K T”. Mereka berdua merupakan idola pemain MLBB di Indonesia dan dunia pada eranya. Namun setelah 4 tahun berkarier, mereka berdua memutuskan untuk pensiun dari skena kompetitif profesional MLBB.
ADVERTISEMENT
Dengan alasan kesehatan, karier mereka harus berakhir di tim Evos Esports. Hal yang serba indah untuk dijadikan profesi ternyata terdapat konsekuensi di dalamnya. Faktanya, setelah 4 tahun berkarier, penurunan performa akan terjadi dan kebanyakan pemain profesional olahraga elektronik pensiun pada jangka pendek.
Mungkin ada nama-nama seperti Puppey, Faith_Bian, dan nama-nama lain yang mampu bertahan di skena kompetitif olahraga elektronik ini dengan lebih dari 10 tahun bertanding, namun kebanyakan pemain profesional akan pensiun di umur-umur paling produktif manusia pada umumnya.
Lalu, dengan pertimbangan kesehatan, keberlangsungan profesi, kesempatan untuk bermain di tim profesional, uang yang menggiurkan, ketenaran yang akan didapat, apakah layak untuk kita mempertimbangkan sebagai pemain profesional olahraga elektronik?
Ilustrasi pertandingan E-sport. Foto: Dok. Bob Frid-USA TODAY Sports
Menjadi pemain profesional olahraga elektronik memang dianggap menjanjikan, namun banyak pertimbangan yang harus dilakukan sebelum memutuskan untuk terjun ke ranah profesional. Kesehatan dan keberlangsungan profesi menjadi salah satu alasan yang harus dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertimbangkan semuanya, apakah layak untuk mendedikasikan diri untuk terjun ke skena profesional olahraga elektronik?
Ahli kesehatan Dr. Tood Sontag mengungkap mengenai (alasan mengapa) pensiunnya seorang atlet.
“Koordinasi mata-tangan mereka mulai memburuk saat mereka menginjak usia 25 tahun,” ujar Sontag.
”Seseorang yang berusia 18 tahun dan sudah bermain suatu game selama 10 tahun dan mereka lebih cepat daripada pemain yang lebih tua. Sangat sulit untuk terus bersaing setelah menginjak umur 20-an dan tidak banyak tempat (berkembang) yang tersedia," tambahnya.
Ilustrasi bermain game. Foto: Shutterstock
Sementara itu, pilihan gaya hidup dari seorang gamers juga dapat mengakhiri kariernya. Pemain yang tidak memperhatikan pola makan dan berolahraga secara teratur akan berakhir dengan berbagai macam masalah kesehatan. Menambahkan hal tersebut dengan hidup yang penuh tekanan, beberapa pemain memilih untuk pensiun dikarenakan masalah kesehatan.
ADVERTISEMENT
Contoh terbaru dari bahasan ini ialah pemain League of Legends paling tenar di Cina, Jian “Uzi” Zihao. Dalam sebuah wawancara dengan Nike, Uzi mengungkapkan bahwa dokter mengatakan bahwa tubuhnya seperti orang berusia 50 tahun. Saat pemain berumur 23 tahun itu pensiun, ia berkata: