Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Anak Muda Mandiri Hasilkan Pangan di Kampung Mlaswat
11 September 2020 14:19 WIB
Tulisan dari MaCe Papua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemenuhan pangan merupakan kebutuhan manusia paling mendasar. Ketahanan dan kemandirian masyarakat untuk menghasilkan bahan pangan sendiri memerlukan pertanian berkelanjutan. Sayangnya, di era modern ini tak banyak anak muda yang memiliki ketertarikan pada kegiatan pertanian. Padahal, ketika pandemi COVID-19 menghambat distribusi antarwilayah seperti saat ini, kemandirian dan ketahanan pangan amat diperlukan agar masyarakat tak bergantung pada pasokan pangan dari wilayah lain maupun dari bantuan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Untunglah masih ada anak muda peduli pertanian di Papua Barat. Berbeda dengan teman-teman sebaya yang mulai merantau dan merindukan kehidupan perkotaan yang modern, Naomi Kemesrar (19 tahun) dan Yoab Sagisolo (21 tahun), dua anak muda dari Kampung Mlaswat, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, ini justru gigih mengelola kebun kampung mereka dengan mempraktikkan kegiatan pertanian. Keduanya telah aktif bercocok-tanam sejak ikut Sekolah Transformasi Sosial (STS) November 2019 silam hingga kini.
STS merupakan bagian dari rangkaian kegiatan School of Eco Involvement (SEI) yang diadakan Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan Indonesian Society for Social Transformation (INSIST). Tujuannya membangun ketangguhan kampung di bidang pangan, energi, dan pengelolaan lingkungan. Selama kegiatan berlangsung, para peserta wakil dari kampung-kampung terpilih diajarkan cara bercocok tanam secara organik dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di kampung masing-masing.
ADVERTISEMENT
Selain Mlaswat, kegiatan ini diikuti peserta dari 9 kampung lain di Papua Barat, yakni Suswa - Kombif, Malalilis, Klatomok, Klasowoh, Malawer, Klayili, Kwakeik dan Kamandu Tetar. Usai mengikuti STS, peserta meneruskan Sekolah Kampung atau Sekolah Lapang. Selama 3 bulan, mereka mempraktikkan pengetahuan yang didapatkan dari STS di kampungnya masing-masing.
“Dulu sebelum belajar pertanian, setiap hari sepulang sekolah hanya diisi duduk-duduk saja. Paling bantu orang tua ke hutan cari buah-buahan atau tangkap ikan. Sekarang sibuk di kebun hampir setiap hari. Saya pun jadi tahu kalau pertanian itu ternyata penting. Kita jadi tahu cara menanam yang betul. Biar tanaman tidak mati, harus dikasih pupuk, biar subur. Kita bisa petik sayur sendiri tanpa harus pergi ke pasar,” ujar Naomi ketika dihubungi tim EcoNusa.
ADVERTISEMENT
Naomi sempat mengalami banyak kesulitan saat awal-awal belajar bercocok tanam, terutama saat harus membuat bedeng dan pupuk organik. Tapi akhirnya Naomi berhasil menanam sayur-mayur dan telah beberapa kali memanennya. Kangkung, kacang panjang, bayam, sawi, dan rica atau cabai, semua tumbuh subur di tangannya. Remaja yang baru saja lulus SMA ini juga menularkan pengetahuannya kepada warga kampung. Ia membagikan bibit tanaman yang ia kembangkan. Naomi mengajarkan cara bertanam dan membuat pupuk organik dengan praktik langsung di kebun kampung.
“Di kampung ini, banyak anak muda lulusan sarjana. Banyak yang sarjana pertanian. Tapi ketika kembali ke kampung, mereka tidak bawa ilmu apa-apa yang bisa ditularkan untuk membangun kampung ini. Saya tidak ingin seperti mereka. Saya ingin bagi ilmu pertanian yang saya punya kepada warga kampung, agar semua orang bisa menanam segala macam sayur dan buah,” kata Naomi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Yoab yang tinggal tak jauh dari rumah Naomi, tidak hanya menanami kebun kampung dengan sayuran saja. Ia juga menanam buah-buahan dan tanaman obat, seperti pohon pepaya, daun gatal dan juga sirih.
Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, Yoab mulai berpikir untuk memasarkan hasil kebunnya. Baru-baru ini, ia menanam sirih dan mencoba menjualnya. Sirih cukup diminati warga karena budaya mengunyah sirih masih kental dilakukan di kampungnya. Hasilnya cukup lumayan untuk menambah penghasilan.
Sebelum mengikuti STS, Yoab sebetulnya sedang bersiap untuk merantau ke kota mengikuti jejak teman-temannya. Namun, ia mengurungkan niatnya dan memutuskan tetap tinggal di kampung. Setelah mengikuti sekolah lapang dan mengelola kebun kampung, ia pun semakin mantap dengan keputusannya untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya. Ia ingin fokus mengembangkan potensi kampungnya dengan bercocok tanam.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin mulai membiasakan diri untuk menyiapkan hasil bagi diri sendiri dan generasi ke depan nanti. Sebab, kebanyakan dari kita ini tidak sadar kalau tanah kita ini sangat subur. Tapi, kita justru tidak mengajak diri sendiri untuk memajukan tanah sendiri,” tutur Yoab.
Baik Yoab maupun Naomi memiliki mimpi besar, suatu hari usaha mereka menanami kebun kampung dengan bermacam-macam tanaman pangan dapat menjadi sumber penghasilan bagi warga di kampung Mlaswat. Keduanya berharap, hasil kebun itu tak hanya dapat dikonsumsi sendiri, melainkan juga dapat dijual ke kampung atau daerah lain di kemudian hari.
”Warga yang mandiri memenuhi kebutuhan pangannya sendiri tentu tak akan mudah tergiur dengan tawaran pihak lain yang ingin menguasai sumber daya alam di sekitar kampung. Tetapi, kalau anak muda tak ada lagi yang tertarik bertani dan memuliakan tanah mereka, suatu saat nanti kita bisa benar-benar kehilangan tanah, sumber air, sumber pengetahuan dan sumber penghidupan.
ADVERTISEMENT
Melalui rangkaian Program School of Eco Involvement, salah satunya STS ini, Yayasan EcoNusa berharap pesertanya menjadi kader-kader tangguh dan mandiri, mampu mengambil keputusan atas sumber-sumber hidupnya, dan menjadi penggerak untuk kampungnya,” ungkap Carmelita Mamonto, Koordinator Program SEI dan Penghubung Program Region Maluku Yayasan EcoNusa.