Konten dari Pengguna

Pesona Empat Musim di Jepang: Dari Sakura hingga Salju

Mahardika Miftahul Falah
Mahasiswa Universitas Airlangga, Fakultas Ilmu Budaya, Program Bahasa dan Sastra Jepang
11 Oktober 2024 15:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahardika Miftahul Falah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan salah satu negara di Benua Asia yang memiliki empat musim atau kisetsu. Empat musim di antaranya adalah musim dingin atau fuyu (冬), musim semi atau haru (春), musim panas atau natsu (夏), dan musim gugur atau aki (秋). Pada bulan Juni hingga Juli muncul musim hujan atau tsuyu di sebagian besar wilayah Jepang, kecuali Hokkaido. Ada juga musim topan atau taifuu yang muncul dari Pasifik Selatan yang sering kali membawa malapetaka dan kehancuran pada wilayah yang terkena dampaknya, yang muncul pada bulan Agustus hingga bulan Oktober. Maka dari itu, jika musim hujan dan musim topan diikutkan, maka dapat dikatakan bahwa Jepang memiliki enam musim (Kawazoe & Kuwabara, 1972).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya sebagai Fenomena alam, kisetsu juga menjadi inti dari identitas budaya Jepang. Pergantian musim menjadi cerminan siklus kehidupan masyarakat Jepang, yang terukir dalam literatur klasik, seni visual, dan berbagai bentuk perayaan tradisional. Mulai dari haiku atau puisi singkat yang menggambarkan perubahan alam, hingga seni ikebana atau merangkai bunga yang sangat simple, terinspirasi dari dinamika musim di Jepang (Yuana, 2019). Pemahaman tentang pergantian musim secara mendalam, membuat masyarakat Jepang untuk hidup selaras dengan alam dan menghargai setiap momen. Dinamika pergantian musim sangat memengaruhi kehidupan masyarakat Jepang secara mendalam, baik dalam bidang kebudayaan, kesenian, ataupun aktivitas sehari-hari. Setiap musim membawa pesona alam yang berbeda, menciptakan siklus kehidupan yang kaya dan beragam.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa konsep yang tak luput dari keterkaitan keberagaman musim di Jepang dan aktivitas masyarakat Jepang yang beragam terkait dengan musim yang dilaluinya. Yang pertama adalah teori pemikiran atau konsep mono no aware (もののあわれ) yang merupakan teori pemikiran tentang kepekaan terhadap sesuatu di sekitarnya yang menyatu dengan dirinya (Syafirin, 1988:165). Teori pemikiran ini membuat masyarakat Jepang lebuh sadar dengan lingkungan sekitar, dan membuat mereka lebih mencintai alamnya. Selain mono no aware budaya Jepang juga dilandasi dengan konsep wabi sabi (Nurjanah, 2022). Wabi menggambarkan kesederhanaan, simple atau pandangan tentang tidak bermewahan adalah suatu hal yang bagus, sedangkan sabi berarti tenang, sepi.
Ilustrasi kembang sakura bermekaran. Credits: freepik
1. Musim Semi (Haru): Keindahan Sakura dan Tradisi Hanami
Di Jepang, musim semi atau dikenal sebagai musim sakura dimulai sekitar bulan Maret hingga Mei. Bunga sakura khas Jepang yang menjadi simbol harapan dan pembaharuan mekar pada musim semi di Jepang. Setiap tahun, masyarakat Jepang dan wisatawan dari seluruh dunia menantikan momen di mana sakura mulai bermekaran dan mulai berguguran. Tradisi hanami atau melihat bunga sakura adalah salah satu kebiasaan kuno yang masih dipertahankan hingga kini yang menjadi bagian penting dari budaya Jepang. Hanami bukan hanya sekadar kegiatan menikmati keindahan bunga, tetapi juga sebagai momen kebersamaan keluarga, teman, dan kolega di bawah pepohonan sakura yang indah.
ADVERTISEMENT
Sakura yang hanya mekar dalam waktu singkat dianggap sebagai lambang kefanaan, yang mengingatkan masyarakat untuk menghargai setiap momen kehidupan. Keindahan sakura juga banyak diabadikan dalam puisi tradisional Jepang seperti haiku, yang menggambarkan perubahan alam dan perasaan mendalam tentang kehidupan. Selain hanami, musim semi juga menjadi waktu untuk perayaan Hinamatsuri (festival anak perempuan), yang semakin memperkaya budaya Jepang pada musim ini.
Ilustrasi Hanabi Taikai. Credits: ©JNTO
2. Musim Panas (Natsu): Festival dan Semangat Kebersamaan
Musim panas di Jepang berlangsung dari bulan Juni hingga Agustus, dengan suhu yang hangat dan lembap, serta hujan monsun yang kadang terjadi. Musim ini adalah waktu bagi masyarakat Jepang untuk merayakan berbagai festival atau matsuri yang meriah. Salah satu festival paling terkenal adalah Tanabata, festival yang merayakan legenda cinta Orihime dan Hikoboshi, di mana masyarakat menuliskan harapan mereka di kertas berwarna-warni dan menggantungnya di cabang bambu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Obon, festival untuk menghormati roh leluhur, juga merupakan salah satu tradisi penting di musim panas. Selama Obon, orang-orang kembali ke kampung halaman untuk berziarah ke makam leluhur mereka, diiringi oleh Bon Odori, tarian tradisional untuk merayakan hidup dan kematian. Puncak musim panas di Jepang ditandai dengan Hanabi Taikai, festival kembang api yang menghiasi langit malam di seluruh negeri. Hanabi bukan hanya sekadar pertunjukan kembang api, melainkan juga simbol perayaan kehidupan dan harapan.
Ilustrasi dedaunan musim gugur. Credits: freepik
3. Musim Gugur (Aki): Perburuan Daun Momiji yang Memukau
Ketika musim gugur tiba, sekitar September hingga November, Jepang dipenuhi dengan daun-daun indah yang berubah warna menjadi merah, kuning, dan oranye yang memikat. Fenomena ini dikenal sebagai koyo atau momijigari (perburuan daun momiji). Sama halnya dengan hanami di musim semi, momijigari adalah tradisi yang dinikmati oleh masyarakat Jepang dengan mengunjungi taman, pegunungan, dan kuil untuk menikmati keindahan alam yang berubah warna.
ADVERTISEMENT
Musim gugur juga dianggap sebagai musim untuk merenung dan berterima kasih atas hasil panen, seperti yang terlihat dalam berbagai festival panen dan pesta syukuran. Suasana tenang dan indah dari musim gugur sering kali diabadikan dalam karya seni dan sastra, menggambarkan perenungan tentang kehidupan yang senantiasa berubah.
Ilustrasi salju di musim dingin. Credits: freepik
4. Musim Dingin (Fuyu): Kedamaian dalam Salju dan Kehangatan Onsen
Musim dingin di Jepang, yang berlangsung dari Desember hingga Februari, membawa suasana tenang dengan hujan salju yang menyelimuti sebagian besar wilayah utara Jepang seperti Hokkaido dan Pegunungan Alpen. Salju yang tebal memberikan peluang untuk berbagai aktivitas musim dingin, seperti ski dan snowboarding di resor-resor terkenal. Selain itu, festival salju seperti Sapporo Snow Festival menghadirkan pahatan salju raksasa yang menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Musim dingin juga menjadi waktu di mana masyarakat Jepang merasakan kehangatan onsen atau pemandian air panas alami, yang dipercaya dapat menyembuhkan tubuh dan menyegarkan pikiran. Onsen sering kali terletak di pegunungan, memberikan pengalaman berendam di air panas sambil menikmati pemandangan salju yang menutupi lanskap alam. Tradisi ini mencerminkan keseimbangan antara ketenangan alam dan kebutuhan manusia akan kenyamanan fisik.
Pengaruh Kisetsu dalam Budaya dan Kehidupan Sehari-hari
Kisetsu, atau pergantian empat musim di Jepang, memiliki dampak mendalam pada kehidupan masyarakat Jepang, mulai dari pola makan hingga cara berpakaian, bahkan dalam seni dan sastra. Setiap musim membawa dengan sendirinya makanan khas, seperti kaiseki ryori di musim semi yang disajikan dengan bahan-bahan segar, atau nabe di musim dingin yang memberi kehangatan.
ADVERTISEMENT
Di bidang seni, perubahan musim telah menjadi tema utama dalam banyak karya sastra, terutama dalam haiku, yaitu puisi singkat yang dapat menggambarkan seluruh perasaan dan suasana hati hanya dengan merujuk pada elemen alam di sekitar. Seniman ukiyo-e atau sumi-e, seperti Hokusai dan Hiroshige, juga sering menggambarkan keindahan musim dalam lukisan-lukisan mereka, yang mengabadikan keindahan alam dalam visual yang penuh makna (Amelia, Fitriana; Martia, 2019).
Selain itu, festival-festival tradisional yang terkait dengan pergantian musim menegaskan hubungan erat masyarakat Jepang dengan alam. Mereka merayakan musim tidak hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan hidup, di mana perubahan musim mencerminkan perubahan dalam diri manusia, mulai dari kelahiran, pertumbuhan, hingga kematian dan regenerasi.
ADVERTISEMENT
Dengan empat musim yang berbeda, Jepang menawarkan pengalaman yang kaya dan bervariasi sepanjang tahun. Setiap musim membawa keunikan tersendiri, mulai dari mekarnya sakura di musim semi, keceriaan festival musim panas, keindahan daun momiji di musim gugur, hingga ketenangan salju di musim dingin. Bagi masyarakat Jepang, kisetsu bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga elemen penting dalam kehidupan dan budaya mereka, yang tercermin dalam tradisi, seni, dan cara pandang mereka terhadap dunia. Dan juga, tidak terlepas dari konsep dasar pemikiran akulturasi Shinto dan Budha yaitu konsep wabi sabi, dan mono no aware (Sunarni & Hudayat, 2021).