Konten dari Pengguna

Male Gaze dan Representasi Perempuan pada Media Kumparan

Mahdizal Khalila
Nama saya Mahdizal Khalila asal Kota Padang. Saya adalah Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Saya senang berbagi opini dalam mengupas permasalahan yang sedang terjadi. Harapan saya, opini ini dapat bermanfaat bagi orang lain
9 Oktober 2024 15:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahdizal Khalila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Freepik
ADVERTISEMENT
Media massa memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk persepsi masyarakat tentang gender. Dalam hal ini, platform media seperti Kumparan memainkan peran penting dalam membingkai peran dan representasi perempuan di ruang publik. Salah satu isu yang mengemuka adalah bagaimana media tersebut, secara sadar atau tidak, memperkuat konsep male gaze—pandangan patriarkal di mana perempuan digambarkan sebagai objek bagi konsumsi laki-laki. Dengan fokus pada rubrik Woman di Kumparan, analisis ini akan mengeksplorasi bagaimana konsep male gaze bekerja, terutama melalui penggunaan tema, estetika, dan pemilihan konten yang cenderung mengkomodifikasi perempuan.
ADVERTISEMENT

Konsep Male Gaze dan Pengaruhnya dalam Media Massa

Istilah male gaze pertama kali diperkenalkan oleh Laura Mulvey dalam analisisnya terhadap film pada tahun 1975. Menurut Mulvey, male gaze merujuk pada bagaimana perempuan sering kali direpresentasikan melalui sudut pandang laki-laki heteroseksual, di mana tubuh perempuan diobjektifikasi untuk memuaskan keinginan visual laki-laki. Di media massa, konsep ini tidak terbatas pada film, tetapi meluas ke berbagai platform, termasuk berita, iklan, hingga media sosial. Representasi semacam ini memperkuat relasi kekuasaan patriarkal dengan menempatkan perempuan sebagai subjek yang dilihat dan laki-laki sebagai pelihat.
Pada konteks media digital seperti Kumparan, male gaze dapat bekerja secara subtil melalui pemilihan tema, visual, dan bahasa. Rubrik Woman yang dimaksudkan untuk membahas isu-isu yang relevan dengan perempuan justru bisa menjadi wadah yang mereproduksi stereotip gender. Topik-topik yang diangkat, pemilihan warna, dan pengemasan konten sering kali mengikuti narasi dominan yang mengedepankan tampilan fisik perempuan daripada memberdayakan perempuan melalui diskusi yang lebih mendalam mengenai peran sosial, politik, atau ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT

Rubrik Woman di Kumparan: Analisis Gender dalam Estetika dan Tema

Kumparan sebagai salah satu media arus utama di Indonesia menawarkan berbagai macam topik, salah satunya rubrik Woman yang ditujukan khusus untuk audiens perempuan. Namun, jika kita analisis secara kritis, rubrik ini tidak luput dari bias gender yang sering kali melekat pada banyak media mainstream lainnya. Rubrik ini mencakup berbagai subtema seperti karier, fashion, kecantikan, wellness, cinta, dan gaya hidup. Di permukaan, variasi topik ini seolah mencerminkan usaha untuk merangkul kepentingan perempuan modern yang memiliki banyak peran. Namun, fokus yang terlalu besar pada estetika, kecantikan, dan hubungan asmara, dengan dominasi warna pink—yang kerap diasosiasikan dengan stereotip femininitas—mengindikasikan bahwa representasi yang diberikan masih sangat terbatas dan terjebak dalam konstruksi tradisional tentang perempuan.
ADVERTISEMENT
Penggunaan warna pink sebagai elemen visual utama dalam rubrik Woman menegaskan keterikatan dengan stereotip feminin. Warna ini, yang telah lama diasosiasikan dengan kelembutan dan kesan “girly,” mengarahkan pandangan pada citra tradisional perempuan sebagai makhluk yang lembut dan berfokus pada estetika. Penggunaan estetika ini tidak hanya memperkuat pemisahan gender secara visual, tetapi juga mempertegas peran yang diberikan kepada perempuan dalam media ini—sebagai obyek yang harus terlihat menarik dan diinginkan.
Subtema dalam rubrik Woman lebih jauh mempertegas gagasan ini. Misalnya, subtema "beauty" yang sering kali membahas tips kecantikan, perawatan tubuh, atau produk kosmetik. Di satu sisi, ini mungkin tampak seperti penyediaan informasi yang relevan bagi audiens perempuan. Namun di sisi lain, ini memperkuat obsesi pada penampilan fisik sebagai bagian penting dari identitas perempuan. Fokus ini, terutama bila dikaitkan dengan male gaze, menunjukkan bagaimana media memperlakukan perempuan sebagai subjek visual yang dinilai berdasarkan daya tarik estetis mereka, bukan kontribusi intelektual atau peran sosial-politik mereka.
ADVERTISEMENT

Pembingkaian Perempuan sebagai Objek dalam Relasi Gender

Salah satu aspek penting dari male gaze adalah bahwa ia memperlakukan perempuan sebagai objek visual yang pasif, sementara laki-laki diwakili sebagai subjek aktif yang memiliki kontrol atas narasi. Dalam konteks Kumparan, rubrik Woman sebagian besar tidak memunculkan perempuan sebagai subjek yang kuat dengan agen penuh atas narasi hidup mereka. Sebaliknya, mereka cenderung digambarkan melalui aspek visual dan estetis yang mengarah pada pemenuhan pandangan luar. Ini memperkuat gagasan bahwa perempuan, baik dalam media maupun kehidupan nyata, terus dinilai dan dikontrol oleh pandangan laki-laki, terutama dalam konteks penampilan dan daya tarik fisik.
Sebagai perbandingan, subtema yang lebih substansial seperti "career" jarang mendapatkan perhatian yang sama dengan topik-topik seperti kecantikan atau cinta. Konten yang berfokus pada karier perempuan sering kali ditutupi oleh diskusi yang tetap terikat pada bagaimana penampilan fisik mempengaruhi kesuksesan, atau bagaimana seorang perempuan harus menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesionalnya. Alih-alih memberdayakan perempuan dengan narasi yang menunjukkan kapasitas intelektual atau pencapaian mereka, rubrik ini cenderung kembali ke narasi tradisional tentang perempuan sebagai penjaga keseimbangan antara peran domestik dan publik, tetap terjebak dalam batasan gender tradisional.
ADVERTISEMENT

Konstruksi Feminin dalam Male Gaze: Perlawanan atau Reproduksi?

Dalam buku Feminism and History yang disunting oleh Joan Wallach Scott, dibahas secara mendalam bagaimana sejarah feminisme tidak hanya melawan ketidakadilan gender, tetapi juga mengkritik representasi perempuan dalam narasi sejarah yang dikendalikan oleh laki-laki. Sejarah perempuan sering diabaikan atau dipinggirkan dalam diskursus dominan, dan ini dapat dilihat pula dalam media arus utama yang lebih berfokus pada bagaimana perempuan dilihat oleh laki-laki daripada bagaimana perempuan memandang diri mereka sendiri.
Kumparan, dalam hal ini, tidak sepenuhnya melawan narasi tersebut. Dengan menggunakan estetika tradisional yang melayani konstruksi feminin dalam male gaze, media ini secara tidak langsung mereproduksi gagasan patriarki bahwa perempuan harus “menyenangkan” atau terlihat baik dari luar. Representasi ini mengabaikan keberagaman pengalaman dan identitas perempuan, serta tantangan-tantangan nyata yang mereka hadapi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
ADVERTISEMENT

Kebutuhan Akan Reinterpretasi Peran Media

Untuk mengatasi reproduksi male gaze di media seperti Kumparan, diperlukan pendekatan yang lebih kritis dalam merancang konten. Rubrik Woman dapat menjadi platform yang lebih memberdayakan jika menampilkan narasi perempuan yang lebih beragam dan mendalam. Ini termasuk membahas isu-isu yang lebih luas dan kompleks yang mempengaruhi kehidupan perempuan, seperti ketidaksetaraan upah, kekerasan berbasis gender, akses terhadap pendidikan, serta keterlibatan perempuan dalam politik dan gerakan sosial.
Selain itu, estetika yang digunakan juga perlu diubah agar tidak selalu terjebak dalam kode-kode warna dan simbolisme gender yang membatasi. Media massa perlu menyadari bahwa warna, visual, dan cara penyajian berita memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang gender. Menggunakan palet warna yang lebih netral dan menampilkan perempuan dari berbagai latar belakang dan profesi tanpa mengedepankan aspek visual yang berlebihan dapat membantu mendekonstruksi narasi patriarkal.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan: Membuka Jalan Baru untuk Representasi Perempuan

Rubrik Woman di Kumparan, meskipun bertujuan untuk memberikan ruang bagi perempuan, masih terjebak dalam konstruksi gender yang dipengaruhi oleh male gaze. Ini dapat dilihat dari penggunaan estetika tradisional seperti warna pink dan fokus yang berlebihan pada kecantikan dan hubungan asmara, yang secara tidak langsung memperkuat pandangan patriarkal terhadap perempuan sebagai objek visual.
Untuk benar-benar memberdayakan perempuan, media seperti Kumparan harus mengubah cara mereka merepresentasikan perempuan, tidak hanya dalam hal konten, tetapi juga estetika dan pendekatan yang lebih kritis terhadap gender. Dengan demikian, media dapat menjadi agen perubahan sosial yang memperjuangkan kesetaraan dan mengatasi bias gender yang telah lama mengakar dalam masyarakat kita.