Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pendidikan Antikorupsi Lewat Sekolah dan Media Sosial
28 Agustus 2023 16:39 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Maichel Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hal itu dapat dimulai dengan mensosialisasikannya kepada masyarakat sipil, pejabat, aparatur sipil negara, pegawai swasta, kepala sekolah, guru, siswa dan lainnya lewat dunia pendidikan dan media massa.
Pendidikan antikorupsi berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai budaya antikorupsi kepada masyarakat hingga menyentuh ranah kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Ranah kognitif, yaitu upaya memberikan wawasan dan pengetahuan tentang korupsi dan dampaknya yang begitu masif bagi kehidupan masyarakat.
Ranah afektif, yaitu memunculkan moral dan integritas dari masyarakat dengan menanamkan nilai-nilai budaya antikorupsi agar memiliki watak, karakter, dan sikap antikorupsi yang mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ranah psikomotorik, yaitu kesadaran moral untuk dapat bertindak dan melawan praktik korupsi di sekitar lingkungannya.
Jika pendidikan antikorupsi telah membudaya di sekolah maka kepala sekolah, guru, dan siswa dapat menjadi agent untuk memberantas dan mencegah perilaku korupsi yang terjadi di lingkungannya. Dan bila telah membudaya dilakukan lewat media massa, maka masyarakat secara kolektif akan jadi agent dalam mengawasi dan memberantas korupsi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian saat budaya antikorupsi mampu tersosialisasi pada masyarakat dengan baik, maka masyarakat dapat berperan dalam memberantas korupsi di negeri ini.
Hal ini juga dapat dilihat bagaimana kasus korupsi yang terjadi beberapa bulan belakangan, proses pengungkapan (exposure) kasus korupsi itu dapat dilakukan lantaran masyarakat yang menggunakan media sosial (netizen/warganet) memviaralkannya.
Warganet berperan dan berfungsi sebagai kontrol sosial kepada para pejabat atau pegawai negeri yang sering melakukan flexing atau memamerkan harta kekayaannya di media sosial.
Maka pejabat dan pegawai negara seluruh aktivitasnya di media sosial telah diawasi oleh netizen/warganet. Apa pun postingan atau aktivitas mereka yang flexing dapat diviralkan oleh warganet hingga akhirnya diproses oleh KPK.
Bahan pembelajaran dan kajian tentang budaya antikorupsi dalam bidang formal dapat dilakukan melalui pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang berkesinambungan, sedangkan non-formal dapat dilakukan lewat media massa seperti koran, majalah, buku, televisi, radio dan media sosial.
ADVERTISEMENT
Target untuk pendidikan antikorupsi di bidang formal bertujuan untuk membudayakan antikorupsi bagi siswa dan mahasiswa, kemudian jadi salah satu upaya dari mensosialisasikan budaya anti korupsi sejak dini.
Sedangkan di bidang formal targetnya adalah masyarakat pada umumnya yang bertujuan untuk membudayakan budaya anti korupsi dan memberikan pemahaman serta pengetahuan objektif tentang korupsi sekaligus menjadikan masyarakat agen bagi pemberantasan korupsi.
Dunia Pendidikan dan Media Sosial
Memberikan pembelajaran tentang antikorupsi di dunia pendidikan menjadi hal yang pantas untuk diperhatikan oleh pemerintah, kepala sekolah dan guru. Sebab, perkara korupsi setiap tahunnya tidak pernah habis di Indonesia. Bahkan di media massa beritanya tidak pernah ketinggalan untuk dimuat dan telah jadi asupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Komisi pemberantasan korupsi (KPK) juga mempublikasikan laporan kasus korupsi secara transparansi di laman resminya. Artinya perkara korupsi sudah jadi masalah sosial yang menggerogoti pemerintah, maka butuh pembaharuan watak dan budi pekerti bagi generasi penerus bangsa agar budaya anti korupsi dapat di terapkan dan dibiasakan oleh masyarakat.
Butuh adanya formula dan inovasi terkait pemberantasan korupsi yang terjadi di negeri ini oleh berbagai pihak, tidak terkecuali dengan memberikan pendidikan anti korupsi lewat sekolah dan perguruan tinggi sebagai pencegahan korupsi sejak dini yang berkesinambungan.
Maksudnya yaitu diterapkan di kurikulum dan berlanjut pada tiap jenjang satuan pendidikan, supaya watak dan budi pekerti dari siswa dan mahasiswa terbangun untuk menerapkan budaya anti korupsi.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana konsep dasar pendidikan yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara lewat bukunya yang berjudul Menuju Manusia Merdeka, menjelaskan dasar pendidikan sebagai tuntunan dalam hidup bagi siswa agar dapat menguasai diri (zelfbeheersching) sebagai tujuan pendidikan dan maksud keadaban, dengan cara membangun karakter, watak, budi pekerti yang jadi dasar gerak pikiran, perasaan dan kehendak.
Maka lewat konsep pendidikan yang memprioritaskan menuntun watak atau budi pekerti diharapkan budaya antikorupsi mampu diberikan sejak sekolah hingga perguruan tinggi hingga diterapkan dan jadi kebiasaan.
Media sosial juga menjadi alat yang strategis dalam memberikan sosialisasi budaya antikorupsi kepada masyarakat secara umum, sebab berdasarkan laporan data dari We Are Social menunjukkan bahwa pengguna aktif media sosial di Indonesia berada pada angka 167 juta jiwa di bulan Januari 2023.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan populasi di dalam negeri Indonesia maka persentase 6,4 persen dari jumlah seluruh populasi indonesia. Artinya, populasi Indonesia juga banyak yang mengakses media sosial dalam kehidupannya sehari-hari.
Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi bisa dioptimalkan di media massa, seperti media sosial. Sebab masyarakat yang menggunakan media sosial angkanya cukup tinggi, maka pendidikan anti korupsi dapat dilakukan pada media sosial.
Pendidikan antikorupsi lewat dunia pendidikan bisa dilakukan melalui penerapannya pada kurikulum, ekstrakurikuler, dan lingkungan sekolah. Perlu ikut sertanya berbagai pihak yang berada di dunia pendidikan dan juga pemerintahan.
Berdasarkan fakta dari Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai tren penindakan kasus korupsi yang dirilis setiap tahunnya, menunjukkan korupsi sektor pendidikan konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum (APH).
ADVERTISEMENT
Setidaknya dari 2016 hingga 2021 semester 1, sektor pendidikan masuk dalam lima besar korupsi berdasarkan sektor, bersama dengan sektor anggaran desa, transportasi, dan perbankan. Meski terdapat faktor keaktifan dan fokus APH dalam melakukan penindakan, namun butuh bantuan berbagai elemen. Maka urutan tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi.
Kasus korupsi di dunia pendidikan jadi sektor yang cukup tinggi angkanya, maka pendidikan anti korupsi membudaya di dunia pendidikan harus jadi formulasi dan langkah konkret guna mencegah dan memberantas korupsi di sekolah dan perguruan tinggi.
Dengan membudayakan pendidikan antikorupsi di sekolah, menjadikannya kajian pokok dan bahasan materi yang termuat pada kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler dan jadi budaya di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi, maka korupsi di dunia pendidikan mestinya dapat ditanggulangi.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus korupsi yang berawal dari viral di media sosial , kemudian jadi perbincangan warganet, hingga akhirnya diproses oleh KPK, lalu sampai pada meja pengadilan tipikor. Media sosial telah terbukti mampu jadi senjata mematikan dalam mengungkap perilaku korupsi pejabat dan aparatur sipil negara saat flexing atau pamer harta di media sosial.
Membudayakan budaya antikorupsi jadi suatu yang tidak sukar untuk dilakukan oleh warganet di media sosial. Hal itu bertujuan agar pengetahuan terhadap kasus korupsi dan diskusi terhadap korupsi tidak hanya jadi perbincangan warganet kala itu viral saja.
Lebih daripada itu, warganet juga dapat menjadi mata dalam pengungkapan perilaku korupsi di negeri ini dengan pengetahuan dasarnya tentang korupsi, analisis dan pengawasan serta pengungkapannya.
Hal tersebut mungkin dapat diterapkan pada media sosial bila sosialisasi budaya anti korupsi telah menyentuh tingkatan berpikir C4 (menganalisis).
ADVERTISEMENT
Di dunia pendidikan budaya antikorupsi juga mesti diterapkan oleh guru, kepala sekolah serta di lingkungan sekolahnya sejak dini, sehingga tercapainya keterampilan berpikir antikorupsi siswa sesuai taksonomi bloom, dianya berada pada C1-C4, yaitu mengetahui, memahami, menerapkan, dan menganalisis.
Sebelum mencapai tahap analisis maka perlu pembelajaran yang mampu menyentuh ranah kognitif dengan pembelajaran high order thinking skill di sekolah, dengan begitu banyak siswa yang punya pengetahuan luas terhadap korupsi dan mampu mengungkapkan korupsi atau yang terindikasi korupsi di sekitarnya.