Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pemimpin dan Rakyat dalam Keakraban
18 Agustus 2017 22:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Iphos
Apalah artinya pemerintahan, semangat yang bergelora, malah juga ketentaraan, kalau ikatan batin antara pemerintah dan rakyat tak terjalin dengan baik? Apalah pula artinya revolusi nasional, jika segala tindakan hanyalah ditentukan oleh situasi lokal tanpa keterkaitan dengan pertimbangan nasional?
ADVERTISEMENT
Revolusi kemerdekaan adalah saat ketika keakraban nasional dan keintiman sosial-politik dipertebal. Tiada anggota masyarakat yang sedemikian rendah, sehingga bisa dilihat hanya dengan sebelah mata. Tiada peristiwa sosial yang sedemikian kecil, sehingga boleh dilewatkan begitu saja.
Persatuan dan kesatuan bangsa adalah segala-galanya dalam perjuangan kemerdekaan. Tantangan sangatlah besar dan pengorbanan tidak cukup dilakukan seorang diri. Dukungan harus datang dari seluruh lapisan masyarakat.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Keharmonisan hubungan antara pemimpin dan masyarakat adalah kunci utama pembangunan. Disinilah, figur pemersatu diperlukan untuk merajut hubungan yang harmonis di antara keberagaman. Menciptakan jembatan komunikasi serta kerjasama yang sinergis demi kemajuan bangsa. Seorang pemimpin haruslah merangkul semua.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Mahfud MD, agenda reformasi di negara kita saat ini terseok-seok karena politik kita banyak dikuasai oleh para demagog. Demagog diartikan sebagai agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukannya untuk mendapatkan kekuasaan belaka. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji manis agar dipilih tetapi apabila sudah terpilih tidak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.
Lebih lanjut, Prof. Mahfud MD menilai bahwa lembaga politik kita kini didominasi oleh para demagog yang (biasanya) tampil sebagai elite politik bukan karena kapabilitasnya, melainkan karena kolusi politik yang dibangunnya. Politik demagog ini menyebabkan Parpol dan lembaga politik lainnya menjadi sesat. Sebab dari sanalah jabatan politik dan kebijakan publik ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.
ADVERTISEMENT
Negara ini telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I.J. Kasimo, Muhammad Roem, dan Wilopo yang tampil ke dalam tampuk kekuasaan bukan karena premanisme, suap, atau kolusi melainkan karena integritas, kapabilitas, dan keikhlasannya.
Rakyat mendambakan kehadiran elite-elite politik yang mampu menjaga amanah serta tulus memperjuangkan rakyat. Usaha mereka menjalin kebersamaan dan tenun kebangsaan adalah kunci terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Pemimpin bangsa tidak boleh hanya mewakili suara dari suku Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Madura, atau Tionghoa. Tidak juga suara warga Bali, Banten, Banjar, dan Minahasa. Ia haruslah mampu mengayomi rakyat Indonesia, seluruhnya.
Didampingi Sultan Hamengku Buwono IX, Presiden Soekarno memasuki lapangan upacara pembukaan Kongres Pemuda Indonesia (10 November 1945). Foto: Iphos
ADVERTISEMENT
Presiden memberi wejangan di hadapan pemuda. Foto: Iphos
Sambutan masyarakat pada kedatangan Jenderal Soedirman di Manggarai. Foto: Arsip Nasional RI
Betapa kecintaan masyarakat pada Jenderal Soedirman tampak saat Beliau datang di Stasiun Manggarai 1 November 1946. Foto: Arsip Nasional RI
Bung Hatta dan Ibu Rahimi Hatta berkunjung ke asrama pengungsi yang berasal dari Jawa Barat. Foto: Iphos
Pada Juni 1947, Gubernur Sumatera Teuku Moh. Hasan berkunjung ke Muara Enim, Sumatra Selatan. Foto: Iphos
Presiden Soekarno menghadiri Konferensi Pemuda Chung Hwa Chung Hui pada Bulan April 1948. Foto: Iphos
Pemuda Tionghoa dalam barisan Chung Hwa Chung Hui di Yogyakarta. Foto: Iphos
Upacara penyambutan Ir. Soekarno di Sibolga. Foto: Iphos
ADVERTISEMENT
Bung Karno di Padang Sidempuan, Tapanuli. Foto: Iphos
Sambutan rakyat saat pemimpin bangsa berkunjung ke Surau Syech Daud Rashidi di Balingka, dekat Bukittinggi. Foto: Iphos
Dukungan rakyat dari bekas kota pembuangan, Bengkulu. Foto: Perpustakaan DHN '45
Bung Karno saat mengunjungi Riau. Foto: Iphos