Konten dari Pengguna

Memaknai Pendidikan Indonesia, Kini dan Nanti

Mardani Rivaldi
ASN di Badan Riset dan Inovasi Nasional
13 Mei 2024 15:08 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardani Rivaldi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan statistik tahun 2023, garis kemiskinan masyarakat Tangerang Selatan menunjukkan pada rata-rata Rp. 782.543 per-bulan. Pada wilayah ini, tidak jarang anak-anak yang berasal dari keluarga berlatar belakang menengah ke bawah memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencari nafkah demi menyambung kehidupan keluarga. Bukan tuntutan orang tua, kebanyakan dari mereka memiliki rasa mawas diri agar tidak menjadi beban keluarga.
ADVERTISEMENT
Jika untuk sekedar makan saja mereka kerap kesulitan dan rela bekerja menjadi buruh kasar, tentu pendidikan menjadi hal dengan prioritas ke-sekian bagi mereka.
Suka atau tidak suka, di Indonesia kondisi finansial keluarga merupakan faktor kunci yang menentukan sejauh mana anak dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Bahkan saat ini kebanyakan skema beasiswa yang tersedia di Indonesia telah banyak dinikmati oleh anak dari latar belakang keluarga berada. Mengapa? Karena beasiswa terutama untuk program luar negeri pada umumnya mempersyaratkan adanya sertifikasi bahasa yang untuk mendapatkannya selain dibutuhkan kemampuan otak, juga kemampuan finansial.
Menurut Lestari Eko Wahyudi, et al. (2022), Kualitas pendidikan ditentukan setidaknya ditentukan oleh beberapa hal, di antaranya:
ADVERTISEMENT
Kita tentu sependapat bahwa saat ini, semakin berkualitas pendidikan maka akan semakin mahal pula biaya yang harus dibayarkan terhadap institusi penyelenggara pendidikan.
Semua anak jika dapat memilih, tentu akan memilih lahir dari keluarga gunung hijau dengan berbagai kemudahan dan privilege yang akan dirasakan. Di satu sisi, tentu tidak tepat dan elok jika kita menyalahkan sistem yang ada saat ini karena semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh fasilitas pendidikan yang baik.
ADVERTISEMENT

Berkaca pada Masa Kecil Pribadi

Masih segar di ingatan penulis yang berasal dari kalangan keluarga menengah, lahir dan dibesarkan di Bandung pada awal dekade 1990, telah banyak terjadi perubahan pada praktik kehidupan yang disebabkan karena perkembangan teknologi dimulai dari bidang informasi komunikasi, transportasi, hingga material dan kebanyakan dialami oleh penulis sebagai penonton, bukan sebagai pelaku.
Orang tua penulis sebagaimana mayoritas generasi Baby Boomer (Badan Pusat Statistik mengelompokkan Baby Boomer sebagai generasi yang lahir pada rentang tahun 1946 - 1964) yang memberi pendidikan pada tatanan keluarga dengan tajuk feodal dan latar belakang keluarga menengah (yang saat itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sedikit kebutuhan sekunder) telah membuka pandangan penulis dalam memaknai arti pendidikan saat ini.
ADVERTISEMENT
Pola pendidikan feodal yang cenderung keras, dan tertutup karena cenderung menganggap tabu akan hal-hal baru seperti teknologi sedikit banyak mempengaruhi bagaimana kemampuan individu untuk melihat dinamika yang terjadi di luar.
Sependek ingatan penulis, gawai teknologi baru dapat dirasakan oleh keluarga penulis pada awal tahun 2004 ketika orang tua penulis membeli sebuah komputer pada pameran tahunan dengan spesifikasi Intel Pentium 4 di mana kebutuhan terhadap komputer oleh masyarakat telah meningkat dan komputer telah berubah menjadi kebutuhan sekunder.
Akan tetapi saat itu gawai yang ada tersebut praktis hanya boleh digunakan untuk kegiatan mengetik. Penulis mengasumsikan motif pembatasan penggunaan teknologi tersebut adalah karena mungkin saat itu penguasaan aplikasi komputer oleh masyarakat masih sangat jarang dan jika rusak, kapasitas masyarakat untuk melakukan perbaikan pun sangat terbatas. Di sisi lain, kondisi finansial yang menuntut orang tua menabung selama bertahun-tahun untuk mendapatkan komputer tersebut pun sedikit banyak menimbulkan kekhawatiran jika komputer tersebut rusak karena digunakan oleh anak-anak.
ADVERTISEMENT
Saat itu, di Indonesia terutama bagi keluarga menengah ke bawah mungkin menjadi hal lumrah bahwa memiliki mimpi setinggi langit merupakan hal yang tidak wajar. Padahal, mimpi dan ide gila anak-anak saat itu kini telah banyak terwujud dapat diciptakan oleh mereka di masa depan seperti gawai ponsel pintar, laptop, hingga adanya mobil listrik!

Pendidikan Kini dan Nanti

Pesatnya perkembangan teknologi menuntut agar semua stakeholder dalam dunia pendidikan "bebenah". Dari tatanan terkecil anak yaitu lingkungan keluarga, orang tua sebagai faktor paling berpengaruh harus dapat dengan bijak memilih dan memilah konten teknologi yang sangat beragam serta tersedia pada berbagai platform.
Sekolah sebagai tempat pendidikan utama juga dituntut harus dapat melakukan penyesuaian terhadap adanya teknologi baru yang jika tidak dilakukan, anak sebagai peserta didik justru akan "tertinggal" dalam hal penyesuaian terhadap teknologi tertentu.
Ilustrasi Anak Indonesia sedang Berada Dalam Ruang Kelas. Sumber: Gambar ini dihasilkan menggunakan teknologi A.I. Image Generator melalui website https://generated.photos/human-generator/6641c57fd8c44c000d7790a4 dan website Canva
Sebagai contoh, saat ini maraknya penggunaan teknologi kecerdasan artifisial tentu harus dapat diperkenalkan kepada anak usia dini. Pesatnya teknologi digital saat ini justru akan menjadikan pisau bermata dua yang dikhawatirkan dapat mengancam "eksistensi manusia". Telah banyak riset dan opini yang menyatakan bahwa teknologi di masa depan akan dapat menggantikan peran manusia di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, ilmu dan pengetahuan menjadi sangat penting untuk dibekali pada anak-anak karena di masa yang akan datang tentu akan banyak teknologi-teknologi baru yang mungkin saat ini dianggap tidak mungkin diciptakan. Dengan bekal ilmu dan pengetahuan, generasi penerus bangsa tentu akan dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal. Hal ini juga secara tidak langsung akan memperkuat keahlian sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing secara global.
Oleh karenanya, saat ini para stakeholder pendidikan secara kolektif harus dapat menciptakan lingkungan pendidikan agar anak-anak "melek" teknologi. Setiap akses terhadap ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi merupakan hal yang wajib dimiliki oleh setiap anak, terlepas dari apapun latar belakang keluarga dan kemampuan finansialnya!
ADVERTISEMENT
Tidak terbayangkan, betapa sangat terbelakang dan tertinggal wawasan serta kemampuan anak dengan latar belakang finansial yang terbatas jika dibandingkan dengan anak sebaya yang memiliki kemampuan finansial keluarga lebih.

Kisah dari Selatan Tangerang

Di Tangerang Selatan, terdapat sekolah rakyat inklusif yaitu Sekolah Hikari yang kini berusaha memperkenalkan teknologi penerbangan, antariksa, kecerdasan buatan hingga pentingnya edukasi lingkungan bagi anak-anak sekolah. Tujuan utama program yang disuntikkan sejak usia dini di Sekolah Hikari adalah untuk merangsang imajinasi dan menjadikan anak dari kalangan manapun sebagai seorang pemimpi.
Uniknya, Sekolah Hikari yang merupakan bentukan dari Yayasan Semarak Pendidikan Indonesia, organisasi masyarakat madani yang berorientasi pada manfaat sosial justru didirikan untuk membantu anak-anak dari keluarga yang memiliki keterbatasan dari segi finansial.
Kegiatan di Sekolah Hikari, Tangerang Selatan. Sumber: Dokumentasi Sekolah Hikari
Sekolah Hikari yang telah konsisten menerapkan skema subsidi membebaskan iuran sekolah bagi anak yatim dan keringanan iuran bulanan bagi anak guru dan perawat. Selain itu, bagi masyarakat sekitar kurang mampu, Sekolah Hikari juga memberlakukan skema pembayaran menggunakan kotoran sapi atau kambing yang dapat dijadikan sebagai pupuk, atau membayar dengan tenaga yaitu kerja bakti membersihkan area sekolah dua hari dalam satu bulan.
ADVERTISEMENT
Sejak awal pendiriannya, Sekolah Hikari mengadopsi skema pendidikan ala Jepang yang telah disesuaikan secara khusus dan terbukti efektif bagi anak Indonesia. Tata kelola pendidikan dan pembelajaran Sekolah Hikari didukung oleh tenaga-tenaga ahli pendidikan dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah dan Human Development Faculty of Toyama University, Mejiro University, dan Aichi University of Education.
Kisah Sekolah Hikari ini dapat dijadikan sebagai pilot project yaitu dimulainya "babak baru" bagi pendidikan sekolah di Indonesia. Dengan keberhasilan Yayasan Semarak Pendidikan Indonesia menyelenggarakan pendidikan yang inklusif dan sesuai dengan perkembangan zaman, diharapkan unit sekolah lain pun dapat berinovasi dan bereksperimen untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak dari latar belakang keluarga kurang mampu untuk memperoleh pendidikan yang layak dan sesuai dengan perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT

Upaya Kolektif-Kolaboratif

Terlepas dari keterbatasan dalam memaknai berbagai hal, penulis sangat yakin bahwa dengan adanya keinginan, ikhtiar dan doa, kita semua dapat melakukan upaya kolektif-kolaboratif untuk membenahi sistem pendidikan di Indonesia.
Untuk para pengusaha yang memiliki kemampuan finansial, buatlah institusi pendidikan berkualitas. Tak masalah untuk berorientasi mencari keuntungan, tapi sisihkan pula sedikit ruang untuk anak-anak yang kurang mampu untuk berkesempatan menimba ilmu.
Sementara itu untuk para pembuat kebijakan, buatlah kebijakan yang dapat menciptakan pemerataan institusi pendidikan. Jangan sampai sekolah negeri, sekolah yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas kualitasnya tertinggal jauh dari sekolah-sekolah swasta dalam hal inovasi.
Terakhir, untuk para orang tua, ciptakan rumah yang kondusif bagi anak. Mengingat orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak, sudah sepantasnya orang tua memberikan perhatian lebih banyak bagi anak-anaknya terutama dalam hal pembelajaran dari rumah. Bijaklah memilih dan menggunakan teknologi.
ADVERTISEMENT
Referensi: