Konten dari Pengguna

Fenomena Multitasking : Trend Anak Muda yang Merusak Otak

Maria Benita Wilona Kaulika
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
7 Desember 2024 14:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Benita Wilona Kaulika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Orang yang Sedang Melakukan Multitasking. Sumber : Freepik.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Orang yang Sedang Melakukan Multitasking. Sumber : Freepik.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan multitasking telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan saat ini. Banyak dari masyarakat terutama anak muda saat ini yang memilih melakukan berbagai macam kegiatan dalam satu waktu. Aktivitas seperti mengetik sambil mendengarkan musik atau membaca sambil makan adalah contoh multitasking yang biasa dilakukan. Secara teoritis, multitasking dianggap mampu meningkatkan produktivitas karena berbagai tugas dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Namun, apakah benar demikian?
ADVERTISEMENT

Jenis Multitasking

Kebiasaan multitasking sebenarnya tidak hanya mencakup kebiasaan mengerjakan dua macam tugas saja. Menurut Salvucci dan Taatgen (dalam Yuliana & Tyas, 2022), multitasking dibedakan menjadi dua tipe yakni concurrent multitasking dan sequential multitasking.
Concurrent multitasking adalah kebiasaan mengerjakan dua atau lebih tugas secara bersamaan dalam jangka waktu yang serupa dan dengan masa interupsi yang singkat sehingga pengerjaan lebih fokus dan meminimalisir keterhambatan proses. Hal ini berdampak pada adanya peningkatan performa kerja individu. Contohnya ketika kita mendengarkan video penjelasan materi di kanal Youtube seraya mencatat dan mengerjakan tugas sekolah.
Sementara itu, sequential multitasking adalah kemampuan seseorang dalam melakukan transisi pengerjaan tugas lain setelah terselesaikannya tugas pertama. Peralihan tugas ini membutuhan waktu rata-rata 9 menit sebelum melanjutkan tugas berikutnya.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Fungsi Otak Manusia ketika Melakukan Multitasking?

Otak manusia, di satu sisi memiliki struktur kompleks yang memungkinkan pengolahan informasi secara paralel dan serial. Hal ini memungkinkan manusia untuk mengolah berbagai informasi dalam jangka panjang. Akan tetapi di sisi lain, kapasitas kemampuan kognitif sebenarnya terbatas. Otak manusia dirancang untuk fokus pada satu tugas dalam satu waktu. Lobus frontal, bagian otak yang bertanggung jawab untuk fungsi eksekutif seperti perhatian, perencanaan, dan pengambilan keputusan, hanya memiliki kapasitas terbatas untuk mengelola informasi secara simultan. Ketika seseorang mencoba melakukan multitasking, otak akan bekerja lebih keras untuk membagi perhatian. Hal ini tidak hanya mengurangi produktivitas tetapi juga berisiko merusak fungsi otak dalam jangka panjang. Yuliana & Tyas menyebutkan bahwa terjadi "switching cost" atau proses hilangnya waktu dan energi untuk menyesuaikan diri dengan tugas baru.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga ditegaskan oleh Timotius (2018), yang menyebutkan bahwa multitasking menyebabkan beban kognitif yang tinggi. Otak harus terus-menerus mengalihkan perhatian, yang dapat mengurangi efisiensi dan meningkatkan risiko kesalahan. Inilah sebabnya, menurut Timotius, multitasking adalah "musuh konsentrasi."
Ilustrasi Reaksi Seseorang dengan Kebiasaan Multitasking. Sumber : Freepik.

Faktor yang mempengaruhi kemampuan otak saat multitasking

Terdapat tiga hal yang mempengaruhi kemampuan otak dalam melakukan multitasking. Yang pertama ialah kemampian otak. Orang dengan kemampuan otak yang baik lebih mampu melakukan kebiasaan multitasking tanpa mengurangi kualitas pekerjaan. Faktor berikutnya ialah kesadaran individu atau biasa disebut dengan mindfulness. Kegiatan multitasking yang dilakukan secara sadar dan bermakna dapat meningkatkan produktivitas. Yang terakhir ialah persepsi diri. Pribadi yang percaya diri mampu multitasking cenderung lebih sukses dalam melakukannya.

Dampak Apabila Terlalu Sering Melakukan Multitasking Dalam Psikologi

Penelitian yang diulas Diana Putri Arini (2020) menunjukkan bahwa multitasking berdampak buruk pada kinerja kerja dan belajar. Aktivitas seperti membalas pesan saat belajar atau membuka media sosial sambil bekerja dapat menurunkan daya ingat dan kemampuan fokus.
ADVERTISEMENT
Multitasking juga berdampak pada kesehatan mental. Wetherell & Carter (2013) menjelaskan bahwa multitasking dapat meningkatkan stres karena beban kerja yang dipersepsikan lebih besar dari kapasitas individu. Hal ini sesuai dengan teori biopsikologi yang menjelaskan bahwa stres akut dapat memengaruhi sistem limbik otak, yang bertanggung jawab atas emosi dan motivasi, sehingga menurunkan performa kerja.
Selain itu, multitasking dapat memicu kecemasan teknologi, terutama ketika seseorang merasa harus terus terhubung melalui media sosial atau aplikasi pesan instan. Akibatnya, multitasking menjadi penyebab tidak langsung dari masalah psikologis seperti kelelahan mental dan burnout.

Cara Mengurangi Kebiasaan Multitasking

Terdapat banyak cara untuk mengurangi kebiasaan multitasking. Dari berbagai cara tersebut, fokus utamanya adalah bagaimana kita dapat memprioritaskan tugas dan membagi waktu dalam mengerjakan tugas. Dengan menetapkan batasan waktu, kita dapat menghilangkan distraksi-distraksi yang ada. Jangan lupa juga untuk mencatat setiap tugas yang akan kita kerjakan dalam selang waktu tersebut agar kita dapat berfokus dengan hasil yang ingin dicapai.
ADVERTISEMENT
Dengan strategi yang tepat, kita mampu meminimalisir dampak negatif multitasking. Akhir kata, beban pekerjaan itu bergantung pada kemampuan kita menata pembagian tugas. Fokus yang penuh pada satu tugas dalam satu waktu akan menghasilkan pekerjaan yang lebih berkualitas dan tentunya mendukung kesehatan psikologis kita.
Referensi:
Arini, D. P. (2020). Multitasking Sebagai Gaya Hidup, Apakah Dapat Meningkatkan Kinerja: Sebuah Kajian Literatur. Jurnal Psikologi MANDALA, 4(1).
Barks, A.,Searight,H.R., & Ratwik, S. (2011). The Effect of Text Messaging on Academic Performance. Journal of Pedagogy and Psychology 4 (1), 4-9.
Timotius, K. H. 2018. Otak dan perilaku. Penerbit Andi.
Wetherell, M.A.,& Carter, K. (2013). The Multitasking Framework: The Effect of Increasing Workload on Acute Psychobiological Stress Reactivity. Stress and Health 30 (2), 103-109.
ADVERTISEMENT
Yuliana, I., & Tyas, Z. E. 2022. Struktur, Fungsi Otak, Proses, dan Perilaku Psikologis Manusia. Antologi Neurosains dalam Pendidikan, 1.