Konten dari Pengguna

Arab Spring: Revolusi Pemerintahan yang Disalahgunakan

Marista Indy Haqiena
seorang mahasiswa menempuh program studi Antropologi di Universitas Gadjah Mada
3 Desember 2021 15:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marista Indy Haqiena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pengunjuk rasa berkumpul di Lapangan Tahrir Kairo untuk rapat umum pada 25 November 2011, menjelang pemilihan parlemen. Sumber gambar: Petter Macduarmid 2011 Getty images
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjuk rasa berkumpul di Lapangan Tahrir Kairo untuk rapat umum pada 25 November 2011, menjelang pemilihan parlemen. Sumber gambar: Petter Macduarmid 2011 Getty images
ADVERTISEMENT
Dunia Arab masih menyimpan banyak misteri yang belum sepenuhnya bisa diungkap. Setiap peristiwa yang terjadi di dalamnya pun memiliki berbagai alasan yang mendasari peristiwa-peristiwa itu terjadi; pembangunan piramida-piramida raksasa, harta karun tersimpan di dalam bumi, peradaban kuno Nabatean, konflik antarsaudara yang tidak kunjung usai, dan yang terbaru di dekade ini adalah peristiwa The Arab Spring. The Arab Spring atau “musim semi Arab” adalah istilah yang menunjukkan kejatuhan beruntun rezim pemerintahan otoriter di dunia Arab.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Arab Spring pertama kali dipicu oleh pembakaran diri seorang pemuda di Tunisia sebagai bentuk protes kepada pemerintahan Tunisia. Pembakaran ini menyebabkan pemuda tersebut meninggal dan mengundang respons dari masyarakat. Gerakan demonstrasi semakin marak dilakukan. Gerakan demonstrasi yang awalnya dipicu oleh persoalan pembakaran seorang pemuda, berkembang pada isu pengangguran dan tingginya biaya hidup, kemudian berkembang ke arah lainnya. Peristiwa ini merupakan pemberontakan pertama di Tunisia setelah kemerdekaan pada tahun 1956. Kemudian disusul oleh negara lain seperti Mesir dan Libya.
The Arab spring merupakan proses perubahan sistem pemerintahan, mengakhiri era kediktatoran pemimpin negara yang telah memimpin puluhan tahun bahkan pemerintahan yang telah membentuk dinasti. The Arab Spring menjadi momentum kebangkitan harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih demokratis di kawasan dunia Arab. Namun sayangnya, proses yang dilalui tidak semudah yang dibayangkan. Ada perjuangan dan pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk hasil yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
The Arab Spring telah mengorbankan lebih dari 60.000 jiwa di seluruh dunia Arab sejak 2011 karena konflik yang berkepanjangan. Konflik yang tidak hanya ada di Tunisia melainkan juga ada di negara-negara lain dunia Arab. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yang ada di Tunisia juga ada di negara Arab lainnya bahkan beberapa ada yang lebih buruk. Cukup disayangkan juga, revolusi pemerintahan yang diinginkan oleh masyarakat kontra-pemerintah justru dimanfaatkan oleh negara adidaya untuk mempertahankan atau menyebarluaskan ideologi dan sekutu mereka, misalnya pada masyarakat Suriah.
Konflik masyarakat Suriah dimulai sejak tahun 2011. Konflik antarsaudara ini terjadi sebab adanya perbedaan pendapat terhadap revolusi pemerintahan. Rakyat tidak puas terhadap rezim pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, sehingga aksi demonstrasi dan protes dilakukan oleh rakyat. Namun, Presiden Bashar al-Assad menolak untuk mundur. Konflik antara rakyat kontra-pemerintah dan pemerintah tidak bisa dihindarkan. Tidak berhenti di situ, konflik semakin diperkeruh dengan munculnya ISIS, kelompok yang menginginkan pemerintahan Islam di Suriah. Konflik ini terbagi menjadi tiga kubu; pemerintah Presiden Bashar al-Assad, rakyat kontra-pemerintah, dan kelompok ISIS.
ADVERTISEMENT
Konflik tiada henti terus berlangsung dan negara-negara lain mencoba mengambil peran dalam perang ini. Amerika Serikat memberi dukungan terhadap rakyat kontra-pemerintah. Amerika serikat menuding Presiden Bashar al-Assad sebagai pemimpin diktator karena telah melakukan kekerasan seperti penggunaan senjata kimia dan penembakan pada demonstran yang menginginkannya untuk mundur dari jabatan presiden. Amerika Serikat menghambat ekspor-impor di Suriah dan secara aktif melibatkan diri dalam konflik Suriah pada tahun 2013. Di samping itu, Rusia mendukung pemerintahan Presiden Bashar al-Assad untuk mempertahankan posisinya. Rusia tidak menginginkan adanya transisi demokratis yang menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad. Rusia berperan dalam meningkatkan pasokan senjata militer ke Suriah dan terlibat secara militer dalam konflik Suriah.
Kedua negara adidaya, Amerika Serikat dan Rusia, tentunya memiliki latar belakang mengapa mereka mau mengambil peran dalam konflik Suriah ini. Amerika Serikat selalu fokus pada pemenuhan energi untuk kebutuhan negaranya, terutama terhadap minyak Timur Tengah. Selain itu, jika pemerintahan Presiden Bashar al-Assad berhasil digulingkan, maka Amerika Serikat dapat memperluas pengaruh politiknya di Suriah. Beda cerita lagi dengan Rusia. Rusia berusaha melindungi aset perdagangan di negaranya dan menjaga pengaruhnya di Timur Tengah. Rusia dikenal bersekutu baik dengan Suriah sebagai ex-Uni Soviet, ini merupakan keunggulan lain yang dimiliki Rusia daripada Amerika Serikat. Bagaimana pun, ada udang dibalik batu dalam konflik Suriah.
ADVERTISEMENT
The Arab Spring bertujuan untuk menghentikan pemerintah otoriter di dunia Arab. Namun sayangnya, aksi yang berujung konflik justru banyak memakan korban dari masyarakat sipil dan ditunggangi oleh elite dunia. Tujuan mulia yang justru disalahgunakan dan menciptakan dampak buruk di dalam masyarakat. Arab spring memiliki tujuan yang mulia, mengharapkan kondisi yang lebih baik untuk masyarakat dunia Arab. Namun, apakah konflik internal di tiap negara Arab mampu mengubah tatanan pemerintahan menjadi lebih baik? Konflik yang mengorbankan banyak korban jiwa seharusnya mampu menjadikan pemerintahannya berkaca dan menjadi lebih baik.