Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kualitas Keluarga yang Responsif Gender
18 Februari 2021 13:18 WIB
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menyoal kualitas keluarga, perlu dipahami terlebih dahulu tentang keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
ADVERTISEMENT
Ketahanan keluarga adalah suatu kondisi dinamika keluarga yang memiliki keuletan, ketangguhan, dan kemampuan fisik, materiil, dan mental untuk hidup secara mandiri (PP No. 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera).
Saat ini masih penggodogan RUU Ketahanan Keluarga. Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, menyebutkan bahwa “Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.”
Pembangunan keluarga adalah upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
ADVERTISEMENT
Relasi keluarga berkualitas yang responsif gender secara konseptual diorientasikan pada terbangunnya pemahaman tentang gender yang adil, ada proses penghargaan secara positif terkait peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, kesetaraan relasi : memahami kesetaraan dan keadilan (peran, tanggungjawab, dll) dalam rumah tangga dan responsif terhadap hak anak.
Adapun mengenai pelaksanaan pembangunan keluarga mempunyai 5 (lima) dimensi/aspek yang tercantum dalam Permen PPPA No. 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, yaitu landasan legalitas dan keutuhan keluarga. Perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan, berpengaruh kepada jaminan perlindungan dan ketertiban dalam pelaksanaan perkawinan dan kejelasan asal-usul anak (hak identitas anak, dll, sebagaimana dalam UU Perlindungan Anak).
Salah satu indikasi ketidakutuhan keluarga terjadi pada keluarga yang suami dan istrinya tidak tinggal menetap dalam satu rumah, sehingga pembinaan keluarga dan pengasuhan anak cenderung mengalami masalah. Kondisi fisik yang sehat bagi semua anggota keluarga merupakan syarat yang penting bagi tercapainya ketahanan keluarga (kebutuhan pangan, kondisi fisik dan kesehatan).
ADVERTISEMENT
Ketahanan ekonomi. Tingkat kesejahteraan ekonomi adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan keluarga untuk melangsungkan kehidupannya secara nyaman dan kebersinambungan (pendapatan dan tempat tinggal yang tetap dan mencukupi).
Demikian juga menyangkut ketahanan sosial psikologi. Keluarga memiliki ketahanan sosial psikologis yang baik, apabila keluarga tersebut mampu menanggulangi berbagai masalah non-fisik (pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif, kepedulian antara suami-isteri dan kepuasan terhadap keharmonisan keluarga), termasuk siklus kekerasan dalam rumah tangga. Dan, Ketahanan sosial budaya yang dapat dilihat dari sudut pandang hubungan keluarga terhadap lingkungan sosial sekitarnya.
Tujuan pembangunan keluarga adalah meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (Pasal 4, ayat 2 UU No. 52/2009).
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi dan kemajuan di era globalisasi yang didukung kemajuan teknologi informasi ini, keluarga memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas keluarga yang responsif gender. Dengan demikian mampu menghantarkan generasi muda bangsa melewati masa tumbuh kembangnya dengan baik. Masa bermain, waktu belajar, saat membantu orang tua maupun bersosialisasi dengan masyarakat lainnya.
Tanpa Subordinasi
Keluarga harmonis yang berwawasan gender adalah keluarga yang mampu menjalankan fungsinya sesuai dengan anjuran yang teruang dalam PP No 21 Tahun 1994, menghargai hak-hak asasi dan memenuhi kriteria pokok yang mengacu pada kesetaraan gender dan keadilan gender. Maka kemudian, harapannya ada kesamaan bagi anggota keluarga laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan haknya sebagai manusia, tanpa terkendala oleh jenis kelaminnya, terdapat praktik perlakuan yang adil terhadap anggota keluarga laki-laki dan perempuan karena adanya kebutuhan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Keadilan juga perlu ditegakkan bila ada anggota keluarga yang mempunyai kebutuhan khusus. Oleh karena itu, di dalam sebuah keluarga harmonis yang berwawasan gender perlu dihindarkan marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban ganda. Marginalisasi, artinya tidak ada anak yang dinomorduakan. Semua anggota dalam keluarga perlu diberi kesempatan belajar, baik secara formal, non-formal dan tentu saja belajar secara informal dari orang tua. Subordinasi, artinya tidak ada penindasan terhadap salah satu anggota rumah tangga. Bapak, ibu dan anak-anak harus mempunyai peran yang adi dan seimbang, sesuai kemampuannya.
Stereotip atau pelabelan negatif, artinya tidak boleh ada cap yang diberikan kepada salah satu anggota keluarganya berkaitan dengan jenis kelaminnya. Hindari ucapan-ucapan, seperti dasar perempuan lamban atau dasar laki-laki tak berguna, dll. Kekerasan, artinya tidak boleh ada tindakan kasar terhadap salah satu anggota keluarga. Perlakukan setiap anggota rumah tangga dengan baik. Perlu diingatkan pada semua anggota keluarga bahwa kekerasan adalah tindak pidana yang tidak perlu delik aduan bagi polisi untuk menyidiknya.
ADVERTISEMENT
Beban ganda, artinya beban pekerjaan yang seimbang antar-anggota keluarga.Berikan kesempatan kepada anggota keluarga untuk punya waktu beristirahat agar tidak terlalu capai dan selalu sehat. Keluarga yang berkualitas dengan responsif gender, sekurangnya akan mampu menjadi benteng bagi dampak-dampak negatif dan kontraproduktif bagi anak-anaknya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan terus menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam domain mental spiritual, sosial, akademik maupun religi melalui pola pendidikan yang bercorak demokratis dan inklusif (terbuka). Saling menghargai pendapat anak dan orang tua.
Akhirnya, keluarga layak terus menerapkan 8 (delapan) fungsi keluarga dalam menegakkan fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, kesehatan reproduksi, social society, pendidikan, dan pembinaan lingkungan.