Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ulama di Balik Proyek Tambang, Antara Surga dan Duniawi
2 Agustus 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Marsha Odelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika ulama mulai merambah ke dunia tambang, kita patut bertanya: apakah ini bagian dari dakwah atau sekadar upaya mencari keuntungan duniawi? Baru-baru ini, Nahdlatul Ulama (NU) mengumumkan rencananya untuk mengelola tambang mulai tahun ini, suatu langkah yang memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Langkah ini terlihat sebagai upaya untuk mencari sumber pendapatan baru di tengah kondisi ekonomi yang menantang, namun tak sedikit yang skeptis terhadap motif sebenarnya di balik keputusan ini.
ADVERTISEMENT
Meski tujuannya tampak mulia, kehadiran ulama di dunia pertambangan menimbulkan pertanyaan mengenai apakah mereka benar-benar siap menghadapi tantangan kompleks dalam industri ini. Tidak hanya soal teknik dan ekonomi, tetapi juga dampak lingkungan dan sosial yang sering kali diabaikan. Bahkan Presiden Jokowi telah menandatangani revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, yang memberikan izin pengelolaan pertambangan batu bara kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, dengan mencabut izin dari perusahaan lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang apakah ormas dapat bertanggung jawab dalam mengelola dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan tambang, yang sering kali berdampak negatif bagi masyarakat sekitar. Banyak yang khawatir bahwa pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan dapat membuka celah bagi praktik korupsi dan nepotisme, mengingat posisi mereka yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum di Indonesia yang mengutamakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Peran Ulama seharusnya lebih kepada mengawasi tambang dan mendampingi korban dampak tambang, bukan menjadi pengelola. Hal ini selaras dengan peran ulama sebagai penjaga moralitas dan keadilan sosial. Alih-alih terjun ke dalam industri yang penuh dengan konflik kepentingan dan risiko, seharusnya mereka fokus pada pendampingan dan advokasi terhadap masyarakat yang terdampak oleh aktivitas pertambangan. Ulama, yang seharusnya menjadi pilar keadilan sosial, justru terjebak dalam pusaran kepentingan ekonomi yang pragmatis.
Bahkan dari Muhammadiyah juga menunjukkan bahwa mereka telah menerima izin untuk mengelola tambang, suatu keputusan yang dianggap membingungkan banyak pihak. Hal ini menambah daftar panjang organisasi keagamaan yang kini merambah ke dunia bisnis tambang. Mengingat posisi Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, langkah ini tentunya mengundang pertanyaan tentang motivasi di balik keputusan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan bahwa ulama akan mengelola tambang dengan "ramah lingkungan" tentu terlihat optimis. Namun, perlu diingat bahwa niat baik tidak selalu sejalan dengan kemampuan praktis. Memang, ulama memiliki komitmen terhadap kesejahteraan masyarakat, tetapi mengelola tambang adalah proses yang kompleks dan seringkali bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Kita harus mempertimbangkan pengalaman dan keahlian yang diperlukan dalam industri pertambangan.
Banyak korporasi yang memiliki latar belakang dalam pengelolaan lingkungan masih menghadapi tantangan besar dalam menerapkan praktik ramah lingkungan. Bahkan kita bisa melihat data dari Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) yang menyatakan bahwa Indonesia menyumbang hampir 60 persen dari hilangnya hutan oleh pertambangan di 26 negara yang diteliti. Apakah ormas keagamaan ini memiliki sumber daya, pelatihan, dan pemahaman yang memadai untuk mengatasi masalah yang muncul, seperti pengelolaannya, pemulihan lahan, dan dampak sosial dari aktivitas tambang?
ADVERTISEMENT
Sementara niat untuk mengelola tambang secara berkelanjutan patut dihargai, penting untuk tidak terjebak dalam euforia tersebut tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan. Pengalaman menunjukkan bahwa komitmen terhadap keberlanjutan sering kali terabaikan dalam praktik. Oleh karena itu, lebih baik bersikap skeptis dan memastikan bahwa pernyataan tentang pengelolaan ramah lingkungan didukung dengan rencana konkret dan akuntabilitas yang jelas.
Dari sudut pandang etika dan moral, keterlibatan ulama dalam bisnis tambang bisa menjadi preseden yang buruk. Ini bukan hanya soal potensi konflik kepentingan, tetapi juga tentang bagaimana peran ulama dipersepsikan oleh masyarakat. Apakah ulama akan tetap dihormati sebagai "penjaga moral", ataukah mereka akan dilihat sebagai pelaku bisnis yang sama pragmatisnya dengan korporasi lainnya?
Dalam konteks ini, keputusan NU dan Muhammadiyah untuk mengelola tambang bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga ujian bagi integritas moral dan etika mereka. Mengelola tambang mungkin bisa mendatangkan keuntungan duniawi, namun apakah itu sepadan dengan risiko kehilangan integritas di mata umat? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
ADVERTISEMENT