Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menghentikan Pencurian Ikan oleh Kapal Asing
11 Juni 2020 17:05 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Mas Achmad Santosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memperingati Hari Internasional Perlawanan Terhadap IUU Fishing, 5 Juni 2020 (UN International Day Against IUUF)
Perang terhadap pelaku pencurian ikan (illegal fishing) mulai digemakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Menteri Edhy pada saat membuka rakor pertama kelanjutan Satgas Kepresidenan 115 (20 Mei 2020) yang lalu menginstruksikan agar pelaku illegal fishing yang berasal dari negara lain harus ditangani tanpa kompromi.
ADVERTISEMENT
Pernyataan MKP ini tentu saja melegakan kita semua dan sekaligus sebagai modal awal pemerintahan Jokowi Jilid 2 ini melakukan penguatan upaya pemberantasan IUUF. Saat ini Ada dua tantangan Indonesia untuk memberantas IUUF.
Pertama, mencegah dan menangani masuknya kapal ikan asing (KIA) yang menangkap ikan di wilayah laut teritorial maupun ZEE Indonesia. Kedua, mencegah dan menangani IUUF Kapal Ikan Indonesia (KII) yang berjumlah sangat banyak dengan bobot yang beragam (1 - 200 gross tonnage). Bobot 200 GT ini adalah bobot maksimal kapal pengangkut ikan yang diperbolehkan pemerintah. Di awal periode pemerintahan Jokowi Jilid 1 dengan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP), Tantangan yang dihadapi Indonesia tidak hanya illegal fishing oleh KIA dan praktek IUUF oleh KII, tetapi terdapat ribuan kapal ikan dengan ukuran besar (kapal penangkap dan pengangkut) memadati wilayah perairan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kapal-kapal ini di atas kertas dimiliki oleh badan hukum dan pengusaha Indonesia, tetapi sesungguhnya hampir keseluruhan dikendalikan oleh pengusaha dan badan hukum asing yang berada di luar negeri. Blok Maluku dikuasai oleh jaringan pengusaha Thailand dan Tiongkok, dan blok Papua dimiliki oleh jaringan pengusaha Tiongkok. Kapal-kapal ini yang disebut dengan kapal pseudo asing. Berbaju Indonesia tetapi pengendalian kegiatan dilakukan oleh pengusaha dan badan hukum asing.
Kapal-kapal pseudo asing ini memadati WPP WPP yang menjadi lumbung ikan nasional. Global Fishing Watch (2019) mengidentifikasi pada tahun 2012-2014, konsentrasi kapal pseudo asing yang bercampur dengan kapal ikan berbendera asing berada di laut Arafura (Wilayah Pengelolaan Perikanan/WPP 718) dan Samudera Pasifik Utara Papua (WPP 716 dan WPP 717). 90% kapal penangkap berbendera Tiongkok dan Taiwan dengan ukuran 30 GT-1500 GT. Sedangkan 80% Kapal pengangkut berbendera Thailand, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, dan Filipina dengan ukuran kapal antara 900 GT-7000 GT.
ADVERTISEMENT
Dapat dibayangkan sulitnya pada saat itu menghadapi tiga kategori pelaku usaha untuk mengawasi mereka agar tidak melakukan IUUF. Pada saat itu KIA yang masuk secara ilegal sulit dibedakan dengan kapal pseudo asing berizin. Kapal kapal ikan dari masing-masing negara Tiongkok, Thailand, dan Vietnam serupa, bangunan fisik maupun tampilan luar kapal. Saking banyaknya kapal pseudo asing ini maka apabila ada KIA dari negara-negara di atas tidak ada yang dapat membedakan, kecuali petugas memeriksanya dengan sangat detil.
Titik-titik persebaran kapal kapal tersebut dengan menggunakan data Automatic Identification System (AIS) terlihat sangat padat di WPP 718 (laut Arafura). Mengawali pemerintahan jilid 1 Presiden Jokowi, Menteri Susi di akhir Oktober 2014, tidak perlu menunggu lama melarang kapal-kapal pseudo asing buatan Tiongkok, Thailand, Taiwan, Jepang dan negara-negara lain di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah pada saat itu hanya dapat memberikan izin penangkapan dan pengangkutan ikan untuk pengusaha dan modal nasional. Presiden Jokowi dan Menteri Susi menginginkan nelayan nasional harus menjadi tuan rumah di negara sendiri. Melihat kepadatan kapal pseudo asing dan KIA di wilayah laut kita dengan bobot kapal yang sangat besar, tidak heran di saat itu banyak nelayan Indonesia tidak berani masuk ke wilayah-wilayah yang menjadi lumbung ikan nasional. Kepadatan kapal-kapal besar di WPP Indonesia tidak memberikan dampak ekonomi, antara lain pemasukan negara dari pajak. Data pada Tabel 1 di bawah ini kinerja pemasukan pajak tahun 2014 sebesar 851 miliar, lalu naik menjadi 1.144 triliun di tahun 2015, 1.061 triliun di tahun 2016, 1.336 triliun di tahun 2017, kemudian naik menjadi 1.638 triliun di 2018, dan yang terakhir pada tahun 2019 mencapai angka 1.974 triliun.
ADVERTISEMENT
Tabel 1.
Saat ini memasuki periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah Indonesia hanya tinggal berkonsentrasi pada 2 (dua) hal: (1) menangkal illegal fishing KIA; dan (2) menjaga tingkat kepatuhan Kapal Ikan Indonesia (KII). Kapal pseudo asing tidak lagi dapat beroperasi menangkap ikan karena dilarang berdasarkan Perpres 44 tahun 2015 dan pembatasan bobot kapal tangkap dan angkut (Kebijakan KKP). Tugas inipun tentu tidak mudah apabila pemerintah tidak memiliki strategi yang efektif dan konsisten, sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Wilayah Rawan Pencurian Ikan oleh KIA
Apabila kita mempelajari pola perilaku (pattern of behaviour) pencuri yang dilakukan oleh Kapal Ikan Asing di tahun 2015-2019 (Satgas 115 & GWF, 2019), titik rawan masih ditemukan pada empat wilayah laut Indonesia yaitu:
ADVERTISEMENT
1)WPP 711: Laut Natuna Utara (Laut Cina Selatan), laut natuna, dan perairan selat karimata;
2)WPP 717: Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik;
3)WPP 716: Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera; dan
4)WPP 718: Perairan laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur. Yang terakhir ini (WPP 718) pada tahun 2012-2014 terpantau sebagai daerah terpadat oleh kehadiran kapal asing atau kapal ex-asing. Saat ini setelah pelarangan pengoperasian KIA oleh pemerintah, mulai dipadati oleh Kapal Ikan Indonesia (KII). Berdasarkan data KKP (2020), jumlah kapal >30 GT yang izinnya dikeluarkan KKP di WPP 718 sebanyak 1.538 kapal. Okupansi kapal di WPP 718 ini adalah yang tertinggi dibandingkan 11 WPP lainnya. Namun demikian WPP 718 ini masih berpotensi dimasuki KIA, terutama dekat perbatasan EEZ Indonesia. Data Global Fishing Watch AIS memperlihatkan di tahun 2020 ini masih terpantau atau terdeteksi (berdasarkan AIS yang dihidupkan) keberadaan kapal kapal ikan asing di perbatasan WPP 711, 716, 717, dan 718 dengan kecepatan gerak kapal-kapal tersebut di bawah 3 knot. Kehadiran mereka diperbatasan dengan pergerakan yang sangat lambat mengindikasikan adanya kegiatan IUUF di wilayah ZEE kita. Artinya, kehadiran patroli rutin di wilayah tersebut sangat diperlukan. Pangkalan bagi kapal-kapal pengawas (KKP, Bakamla, TNI AL) untuk kelancaran patroli dan gakum laut perlu dibangun di keempat wilayah tersebut. Hanya satu saat ini yang tersedia yaitu pangkalan untuk kapal-kapal patroli yang berada di Selat Lampa (Natuna Utara) untuk mendukung patroli pada WPP 711.
ADVERTISEMENT
Natuna Utara Merupakan Titik Paling Rawan
Ada dua asal negara KIA yang banyak melakukan pelanggaran di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yaitu KIA Tiongkok dan KIA Vietnam. Salah satu faktor pendorong mereka masuk menangkap ikan di wilayah ZEE kita dikarenakan dua faktor: keterbatasan atau langkanya sumber daya Ikan mereka; dan ambisi mereka untuk (tetap) menjadi major exporter ikan di dunia. Perpaduan antara faktor langkanya ikan di negara mereka dan ambisi ekonomi mendorong mereka untuk memobilisasi kapal-kapal tangkap ikan mereka ke luar batas wilayah mereka yang diakui oleh United Nations Convention of The Law of the Sea (UNCLOS).
Sumber Daya Tiongkok & Vietnam
Menurut data resmi Luas Laut Tiongkok 3. 658.000 Km2 (dari Northernmost point Taiwan sampai dengan coast of Fujian Province). Luas laut China ini hanyalah 60% dari total luas laut Indonesia yang memiliki luas 6,4 Juta Km2. Total wilayah EEZ yg dimiliki China adalah 965.049 Km2. Bandingkan dengan EEZ Indonesia yi seluas 3.000.000 Km2 (tidak sampai separuhnya). Berdasarkan UNCLOS, negara memiliki hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam di zona tersebut. Dengan jumlah laut yang tidak sebesar Indonesia, China bersikeras menjadi major fish exporter di dunia dengan nilai ekspor mencapai 14,1 billion USD (data 2017). Bandingkan dengan nilai ekspor Indonesia di tahun 2018 yang hanya berkisar 4, 86 billion USD.
ADVERTISEMENT
Kondisi wilayah laut China yaitu Yellow Sea, East China Sea, dan wilayah klim nine dash line (South China Sea), pemerintah Tiongkok memberlakukan moratorium penangkapan ikan sejak tahun 1995. Moratorium pada Yellow Sea diberlakukan Juni-September setiap tahunnya. East China diberlakuan Mei-September (setiap tahun) dan South China Sea diberlakukan Mei-Agustus (setiap tahun).
Faktor pendorong lainnya adalah permintaan ikan di Tiongkok semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri yang saat ini mulai meningkat di rata-rata 35,9 kg konsumsi ikan/orang. Masyarakat perkotaan di Tiongkok bahkan sudah mulai mengkonsumsi 40 kg/tahun. Bagi Tiongkok perikanan sebagai komoditas strategis China dan memberikan kontribusi sebesar 3,5% dari GDP China.
Oleh sebab itu, China memiliki kepentingan untuk memasuki wilayah wilayah laut di seluruh dunia, termasuk Natuna Utara dengan dalih alasan kesejarahan (historical claim) untuk mempertahankan ambisi industri perikanannya. Laporan penelitian terbaru dari UK Think Tank group, Overseas Development Institution (ODI, 2020) yang diberi judul "China's Distant-Water Fishing Fleet: Scale, Impact and Governance", menemukan saat ini jumlah armada kapal ikan Tiongkok yang dikerahkan menangkap di wilayah negara negara lain dan laut lepas (distant-water fishing fleet) berjumlah 16.966 (enam belas ribu sembilan ratus enam puluh enam). Di tahun 2017-2018, terpantau ada sekitar 12.490 yang beroperasi menangkap ikan di luar wilayah Tiongkok. Mereka terpantau di wilayah Northwest Pacific, Southeast Pacific dan Southwest Atlantic. Pada umumnya kapal-kapal ikan DFW Tiongkok ini adalah pukat (trawlers). Trawlers pada umumnya dikenal sebagai alat tangkap yang merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
KIA lain selain KIA China yang memasuki ZEEI adalah Vietnam. Berdasarkan data FAO, 2019, stok ikan Vietnam disebut dalam kondisi telah dieksploitasi secara berlebihan (over exploited), sehingga kondisi stock ikan mereka tidak produktif. Di samping Vietnam sebagai salah satu eksportir ikan terbesar di dunia, kenaikan konsumsi ikan mereka juga meningkat pesat ( 36,3 kg/ orang ditahun 2017). Tingkat konsumsi ikan Vietnam di atas rata-rata konsumsi ikan di Tiongkok. Vietnam ini merupakan third major exporter of fish and fishery product in the World (USD 8,5 Billion in 2017). Luas laut Vietnam saat ini 331,688 Km2. Dengan laut yang relatif tidak seluas China apalagi Indonesia, tetapi Vietnam negara dengan urutan ketiga sebagai pengekspor ikan dunia. Walaupun ekspor ikan ini tidak hanya terbatas pada ikan tangkap saja, tetapi juga produk budidaya. Tetapi tetap kontribusi perikanan tangkap sangat signifikan.
ADVERTISEMENT
KIA Vietnam adalah kapal yang paling banyak ditangkap di wilayah perairan Indonesia, dan paling banyak ditenggelamkam di era kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti. Satgas 115 di tahun 2009 pernah melakukan analisis berdasarkan letak koordinat lokus pemangkapan kapal ikan Vietnam. Hasilnya 60% lebih, ditangkap didalam ZEEI di WPP 711 yang bukan wilayah overlapping (wilayah konflik). Wilayah overlapping adalah area yang Indonesia dan Vietnam saling klim tentang garis batas ZEE masing-masing.
Data FAO juga menyebutkan sumber daya perikanan di Teluk Thailand (demersal, pelagic, shrimp) sudah overexploited (FAO, 2019). Fish consumption Thailand 27,2 kg in 2016. Nilai ekspor perikanan Thailand USD 6 billion in 2017. Oceana, 2015). Berarti lebih besar dari nilai ekspor ikan dari Indonesia. Jadi Indonesia dikelilingi oleh negara-negara pemain ekspor ikan dunia, walaupun sesungguhnya daya dukung laut mereka untuk memasok ke pasar dunia sangat terbatas. Itu sebabnya titik-titik rawan pencurian harus terus-menerus di pantau oleh aparat kita, dan ditindaklanjuti dengan perlakuan tegas terhadap pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Pengamanan Wilayah Laut Rawan
Pengamanan Laut Natuna Utara (WPP 711), Laut Sulawesi (WPP 716), Samudera Pasifik (WPP 717) dan Laut Arafura (WPP 718) untuk Melindungi Hak Berdaulat (sovereign right) Indonesia perlu diprioritaskan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)Perbaikan infrastruktur pendeteksian, termasuk pemutakhiran teknologi pendeteksian, termasuk penggunaan radar, satelit dan perangkat pendeteksian elektronik lainnya untuk memantau keberadaan KIA secara realtime dan akurat. Sering kali pamerintah mendapatkan informasi intelijen dari negara lain yang telah lewat seminggu lebih terhitung dari kejadian. Data seperti ini tidak terlalu penting untuk data penegakan hukum;
2)Patroli kapal-kapal negara secara rutin dan teratur terutama di 4 titik rawan di yurisdiksi ZEEI secara sinergis dengan dibarengi pemantauan lewat udara (airborne surveillance);
ADVERTISEMENT
3)Penguasaan de facto ZEEI (occupation) dan kehadiran (presence) dari nelayan Indonesia, khususnya nelayan lokal di wilayah wilayah rawan tersebut. Kehadiran nelayan Indonesia sekaligus meningkatkan fungsi pengawasan masyarakat (nelayan) terhadap pengamanan laut Natuna Utara;
4)Nelayan Indonesia perlu dibekali dengan:
a.Peningkatan pengetahuan nelayan untuk mendokumentasikan bukti;
b.Pembekalan teknologi sederhana (kamera dan radio);
c.Pemberian bantuan pemerintah untuk kapal tangkap ikan yang cukup besar dan memiliki daya jelajah yg cukup jauh dan kapasitas penampungan ikan yang cukup besar sehingga ekonomis. Bantuan kapal seperti ini dari pemerintah untuk nelayan lokal diperlukan untuk meningkatkan kesejahtaraan mereka dan bagian penting dari elemen sistem keamanan laut;
d.Pembekalan tentang peneguhan sikap bela negara dari nelayan (sebagai pelaku ekonomi sekaligus sebagai maritime militia).
ADVERTISEMENT
5)Pengerahan nelayan lokal dan nelayan luar Natuna wajib mempertimbangkan:
a) Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) untuk mencegah chronic overfishing di laut kita. JTB itu prinsip yg tidak bisa diatawar yang sudah diatur dalam UU Perikanan kita;
b) Penggunaan alat tangkap (alkap) ramah lingkungan. Mengapa? Penggunaan alkap yang ramah lingkungan perlu untuk menjaga sumber daya ikan kita tetap berkelanjutan dan mencegah konflik horizontal antara nelayan tradisional dengan nelayan yang menggunakan alkap perusak ekosistem sumber daya ikan. Cara ini untuk mencegah agar kita tidak memperluas arena konflik horizontal ke Natuna Utara seperti yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Konflik cantrang vs nelayan tradisional dan Nelayan Pukat vs nelayan Tradisional harus dihindari di tempat lain.
Membangun Kepatuhan KII
KII yang memiliki bobot kapal > 30 GT yang izinnya SIPI dan SIKPI diterbitkan pemerintah pusat (KKP) per 28 April 2020 berjumlah 5234 kapal dari 3932 SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). Berdasarkan data KKP (2014), sektor perikanan Indonesia 89% didominasi oleh kapal ikan kecil 5 GT kebawah sebanyak 2,4 juta KII kecil (89%) dan ratusan ribu lainnya KII berukuran 10 GT-30 GT yang izinnya diterbitkan pemerintah Provinsi. KII yang jumlahnya banyak ini perlu pembinaan dan pembimbingan untuk menjalankan praktik-praktik penangkapan yang ramah lingkungan (nelayan 1 GT-10 GT), dan diawasi tingkat kepatuhannya (10-30 GT), 30 GT> harus diawasi tingkat kepatuhan sampai dengan penjatuhan sanksi adminstratif dan pidana bagi pelanggar. Pada umumnya modus operandi dari KII KII tersebut adalah:
ADVERTISEMENT
1) Alat penangkap tdk ramah lingkungan;
2) Tidak melaporkan hasil tangkapan;
3) Melaporkan hasil tangkapan tapi tdk benar;
4) Tangkap ikan di luar zona penangkapan;
5) Destructive fishing (penggunaan bom dan bius);
6) Transhipment at sea secara ilegal;
7) KII digunakan sebagai sarana penyelundupan barang dan narkoba
8) Human traficking (perdagangan manusia dan kerja paksa atau perbudakan);
9) Pemalsuan surat dan lain sebagainya.
Bagaimana cara memastikan kepatuhan KII tersebut? Pengawasan dan jaminan kepatuhan terhadap aturan tentang sustainable practice hanya bisa dilakukan apabila izin yang diterbitkan diberlakukan sebagai Alat Pengendali Perilaku Pelaku Usaha. Dengan cara apa?
1) Setiap izin SIUP, SIPI, SIKPI yang diterbitkan harus memuat sejumlah persyaratan yang terukur dan mudah dievaluasi;
ADVERTISEMENT
2) Syarat-syarat dalam izin tersebut harus merefleksikan prinsip-prinsip sustainability (sustainable fisheries management) dan berbagai kewajiban-kewajiban yang diatur dlm berbagai peraturan;
3) Izin SIPI atau SIKPI harus menterjemahkan persyaratan yang terdapat dalam SIUP nya;
4) Harus ada kewajiban pemegang izin membuat laporan sederhana terkait seberapa patuh pemegang izin terhadap hal hal #2;
5) Mendayagunakan pengawas (inspektur) perikanan yang harus ada di PSDKP untuk memeriksa kepatuhan mereka secara rutin (tiga bulanan) dengan cara pembinaan kepatuhan oleh petugas teknis DJPT dan pengawas perikanan. Sekalipun Aktor kunci keberhasilan pengawasan kepatuhan ada pada birokrasi perikanan di pusat dan daerah. Akan tetapi tanpa keterlibatan masyarakat dalam mengawasi perilaku KII, birokrasi akan kesulitan mengawasinya sendiri. Oleh karenanya kualitas birokrasi, kualitas pelayanan publik, dan kualitas transparansi adalah kunci keberhasilan pengawasan kepatuhan KII.
ADVERTISEMENT
Penutup
Apabila laut kita ingin produktif secara ekonomi dan terlindungi keberlanjutan ekosistemnya, kebijakan larangan penangkapan ikan oleh modal asing dan kapal asing harus tetap diberlakukan. Berikan konsesi penangkapan ikan di laut kepada nelayan dan pelaku usaha Indonesia. Dengan laut yang luas dan kekayaan sumber daya ikan yang melimpah, Indonesia bisa menjadi negara pengekspor ikan terbesar di dunia. Kebijakan melarang kapal asing menangkap ikan di wilayah Indonesia memudahkan membangun keamanan laut Indonesia dan kepatuhan kapal ikan Indonesia.
Tugas kita saat ini (hanya) menangkal kapal asing di titik-titik rawan dan memastikan kepatuhan dari KII (30-200 GT); (5-30 GT); dan (0-5 GT). Memastikan kepatuhan KII harus menekankan pada pendekatan kepatuhan dengan cara pencegahan (compliance approach), tetapi tetap dengan pengawasan yang konsisten. Sedangkan terhadap KIA yang memasuki wilayah laut kita, harus diberlakukan pendekatan deterrent yang sangat tegas. Jangan tutup opsi penenggelaman dan menuntut tanggung jawab hukum korporasinya. Koordinasi tidak hanya saja diperlukan dalam tugas pengawasan di laut, tetapi koordinasi dalam penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Tantangan terbesar apgakum Indonesia saat ini adalah: Pertama, koordinasi dalam penyelidikan dan penyidikan dengan memberlakukan pendekatan penanganan kasus multi rezim hukum (multi door approach). Sebab tidak ada kasus IUUF yang berdiri sendiri dan terkait hanya dengan satu perundang undangan saja; Kedua, kerja sama internasional untuk menangani kejahatan perikanan lintas batas yang terorganisir.
Jakarta 10 Juni 2020
(CEO Indonesia Ocean Justice Initiative)