Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melihat Warga Jakarta Berlebaran Naik Kereta
27 Juni 2017 0:35 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Mataharitimoer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berlebaran adalah tradisi kumpul keluarga warga Jakarta saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya sanak saudara berkumpul di rumah orang tua, atau anggota keluarga tertua, jika kedua orangtua sudah tiada.
ADVERTISEMENT
Untuk berlebaran banyak alternatif kendaraan umum yang bisa dipilih sesuai kantong. Ada yang naik Transjakarta, mobil online, taksi, motoran, dan naik kereta.
Lebaran kali ini aku memilih naik kereta. Ingin tahu kenapa dan bagaimana suasana di stasiun dan di dalam gerbong kereta. Kebetulan aku pun mau berlebaran ke keluargaku di dekat Stasiun Pondok Ranji. Yap, siap-siap ke stasiun kereta!
Agar bisa sampai di Stasiun Pondok Ranji, aku harus naik kereta dari Stasiun Cakung arah Jakarta Kota transit di Manggarai. Dari Manggarai lanjut ke Tanabang. Nanti di Tanabang pindah jalur ke jurusan Rangkasbitung. Nah, di kereta itu nanti aku turun di Pondok Ranji.
Menunggu kereta dari Bekasi cukup lama juga. Lebih dari 20 menit tak ada kereta tiba. Sementara penumpang semakin membludak di peron. Kuperhatikan beberapa keluarga yang menunggu kereta.
ADVERTISEMENT
Ada yang bawa dua, tiga, empat anak kecil, ada juga ibu yang menggendong bayi. Kakek nenek pun ada. Yang remaja, banyak. Aku membayangkan bagaimana nanti nasib anak-anak mereka kala berhimpitan di dalam kereta.
Kereta tiba. Hanya sedikit yang turun, lalu berjubel penumpang berebutan memasuki gerbong yang sudah penuh. Di dalam rupanya sudah ada anak kecil yang menangis. Entah apakah ia terhimpit, kegerahan, kehausan, atau mungkin lapar.
Ada juga ibu-ibu dengan suara keras, menegur anak muda yang enggan beranjak agar ibu penggendong bayi dapat duduk. Anak muda itu berdiri. Mukanya cemberut.
"Kenapa naik kereta, Pak? Nggak kerepotan bawa tiga anak?" tanyaku ke seorang bapak di sebelahku. Tangan kirinya menuntun anak yang lebih besar. Tangan kanannya mendekap anaknya yang lebih kecil. Satu anak lainnya berdiri di sebelah ibunya.
ADVERTISEMENT
"Ya, namanya orang kecil, mesti mau begini. Kalo nggak, ya nggak bisa lebaran ke keluarga di Sudimara." Jawabnya. Entah apakah itu jawaban pasrah atau justru sebuah ketegaran dalam menjalani hidup sebagai "orang kecil".
"Naik kereta, kan, murah meriah, Bang. Orang kayak kita mana sanggup bayar argo taksi."
Inilah enaknya ngobrol di kereta, ada saja penumpang lain yang nimbrung bicara.
Di Manggarai aku turun. Pindah dari peron 3 ke peron 5. Aku harus bergegas ke ujung peron sebab gang menuju peron 5 terhalang kereta yang berhenti di jalur 4. Bukan cuma aku. Berduyun-duyun penumpang tujuan Tanabang bergegas juga.
Di ujung peron, seorang petugas menegur penumpang yang mengambil jalan pintas. Ia melompat ke rel di ujung jalur 4 lalu memanjat peron 5. Yang ditegur tak mengacuhkannya. Sang petugas menggelengkan kepala. Mungkin ia menahan diri untuk tidak marah.
ADVERTISEMENT
Kukira kereta ke Tanabang lebih lengang. Rupanya masih berjubel juga penumpangnya. Masih banyak keluarga dengan anak-anak berdiri. Masih ada remaja yang asyik duduk sambil memainkan ponsel, tak peduli pada penumpang yang membawa anak.
Tiba di Tanabang, aku bergegas naik ke tangga stasiun untuk pindah ke peron 5-6 di mana kereta jurusan Rangkasbitung akan berhenti di sana.
Aku terhambat di tangga turun ke peron 5-6. Rupanya penumpang di sana sudah penuh hingga kami yang masih di tangga tak mungkin lagi memaksakan diri turun.
Kereta belum ada tetapi penumpang berebutan menuju peron. Seorang petugas menegur sekelompok penumpang yang memaksa turun dari tangga untuk naik. Melihat larangannya tak dipatuhi, petugas menyuruh penumpang nekat itu untuk bergegas turun karena kereta akan tiba dan bisa repot karena banyak penumpang akan naik ke tangga itu.
ADVERTISEMENT
Melihat seperti itu ada penumpang di belakangku, berteriak memaki petugas, "Dasar plinplan! Kalo larang yang tegas. Masa orang nyelak dibiarin aje! Kita dari tadi mau turun aja susah!" makian itu disambut dengan seruan kesal penumpang lainnya di tangga. Syukurlah petugas itu tak terpancing emosi.
Kereta menuju Rangkasbitung pun penuh sesak. Perjalanan diiringi tangis bayi, teriakan anak-anak, obrolan seputar lebaran, ceracau penumpang yang kesal, dan suara announcer commuterline berulang-ulang meminta agar penumpang memberikan tempat duduk prioritas, menjaga barang bawaan, jangan makan dan minum, jangan duduk di lantai gerbong, dan pengumuman lainnya.
Tetapi begitulah Jakarta, warganya biasa terhimpit, mulai dari kendaraan umum hingga terhimpit tarif dasar listrik yang kian mencekik.
ADVERTISEMENT