Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan.
"Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi.
ADVERTISEMENT
"Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini."
"Lu benar, Di."
Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin.
"Selamat siang, Pak?"
"Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua.
"Kami mau bicara sebentar saja."
"Oh, iya silakan masuk, Nak."
Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina.
"Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"
Pak Gimin terkejut, ia heran dari mana mereka tahu tentang Veli.
ADVERTISEMENT
"Oh, ia itu Veli. Dulu dia sekolah di sini."
"Kenapa dia berhenti di tahun yang sama dengan saat dia masuk?" Tanya Gina.
"Kalian kenapa tiba-tiba nanya tentang Veli?"
"Pak, ada yang nggak beres sama sekolah kita dan saya yakin ini ada kaitannya dengan Veli," ujar Gina.
"Saya masih banyak kerjaan. Mungkin kita bisa bahas lain waktu. Silakan keluar."
"Pak kami hanya ingin...," Eldi memaksa, tapi kata-katanya terpotong.
"Saya bilang keluar," telunjuk Pak Gimin mengarah ke pintu.
"Saya lihat Veli, Pak," kata Gina.
Wajah Pak Gimin seketika terkejut. Ia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Di mana dia?" nada bicara Pak Gimin merendah.
"Saya tidak tahu Pak, tapi entah kenapa tiba-tiba wajah Veli muncul dalam benak saya. Jadi saya mohon ceritakan tentang Veli. Apa sebenarnya yang terjadi pada Veli tahun 2000 silam."
ADVERTISEMENT
Pak Gimin menghembuskan napas berat, membuka kaca mata lalu mengusap rambutnya yang sudah beruban. Dia berdiri, menutup pintu ruangan dan jendela. Lalu duduk kembali di kursinya.
"Dulu Veli adalah murid pindahan dari Jogja, dia sangat pintar dan baik. Tapi, tiba-tiba saja dia menghilang secara misterius."
"Lalu, Pak?" Tanya Eldi.
Pak Gimin duduk kembali di kursinya, "Kami menuduh Cokro sebagai pelakunya karena baju Veli ada di gudang tempat Cokro tinggal."
"Siapa Cokro itu, Pak?" Gina menatap Pak Gimin dengan serius.
"Dia tukang bersih-bersih di sekolah ini dulu. Kami belum sempat menyelidiki Cokro sebab dia sudah lebih dulu mati diamuk siswa."
Gina tercengang, "Lalu, apakah ada tanda-tanda Veli ditemukan atau kalau memang dianggap sudah meninggal, apa jasadnya ditemukan, Pak?"
ADVERTISEMENT
"Jasadnya tidak pernah ditemukan."
"Terus, Pak?" Eldi semakin penasaran.
"Sudah, kasus ditutup. Dan jasad Veli masih jadi teka-teki hingga sekarang."
Dari percakapan itu, Gina mulai menemukan sedikit petunjuk. Kemungkinan roh yang menangis di jendela itu adalah Veli, pikirnya. Gina yakin kalau seandainya Veli memang meninggal, pasti rohnya tidak tenang. Jasadnya pasti di sembunyikan di suatu tempat. Tapi di mana? Gina semakin bingung. Tidak ada yang bisa menjawab keberadaan jasad Veli, selain berbicara langsung dengan rohnya.
"Gua harus bicara sama rohnya Veli."
"Gimana caranya, Gin," Eldi menatap wajah Gina yang sedang kebingungan.
"Nggak tahu."
Mereka terdiam sejenak. Kemudian Eldi mengacungkan jari telunjuknya.
"Kita main Jelangkung aja, Gin."
Nantikan cerita Sekolah Angker selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT