Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Kau rindu ibumu, hah?” Tanya kakek tersebut sambil melangkah mendekati Sarminah.
ADVERTISEMENT
Sarminah waspada, walau pun ia sudah berpakaian rapi, tetap saja kejahatan bisa terjadi. Buru-buru menyeka air mata yang menjuntai di pipinya lalu mundur beberapa langkah ke belakang. Bulan sedang terang benderang menyinari malam, semakin dekat wajah kakek itu semakin jelas terlihat. Rambutnya gondrong warna hitam berselang putih karena ada ubannya. Ia punya brewok yang sudah berwarna putih, ada tahi lalat yang cukup besar di bagian pipi kanannya.
“Jangan takut. Aku Sadiman,” kakek itu menyunggingkan senyum.
Tetap saja Sarminah waspada, ia menatap kakek di hadapannya dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Aku baru selesai ziarah dari makam istriku, kau Sarminah, kan?”
Sarminah mengangguk tampaknya hampir semua orang mengenal Sarminah. Pasti karena wajahnya buruk dan mengerikan. Manusia memang gampang dikenali kalau wujudnya tidak lazim dan berbeda dengan manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
“Aku dengar kau ingin menjadi penari ronggeng?”
Tanpa menjawab Sadiman, Sarminah lari terbirit-birit menjauh dari kakek tersebut. Ia takut diperkosa oleh kakek itu. Walau Sarminah jelek, tetap saja ada kemungkinan ia diperkosa. Sesampainya di rumah, Sarminah mengunci rapat-rapat pintunya. Kemudian menangis kembali.
Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan ditelanjangi seperti itu di depan umum. Malam itu juga, dendam tumbuh dengan subur dalam dadanya, ia ingin menghabisi tiga ronggeng tersebut. Kalau tidak bisa membunuh nyawa mereka, dia harus membunuh karier mereka. Bagaimanapun caranya, dia harus menjadi penari ronggeng tersohor di Ci Ijau.
***
Sore itu, Sarminah sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara tabuhan gamelan dari arah Timur. Sarminah mengerutkan dahi, sisa pakaian di ember yang belum dijemur ditinggalkan begitu saja. Ia melangkah mengikuti sumber suara gamelan tersebut. Ada jalan setapak dekat rumahnya, suara gamelan terdengar semakin jelas.
ADVERTISEMENT
Dan di bawah pohon durian, ia melihat Sadiman beserta tiga orang kawannya sedang menabuh gamelan. Di hadapan mereka, ada seorang gadis perempuan yang masih kecil, mungkin umurnya baru delapan tahun. Ia menari dengan lincah layaknya ronggeng kawakan. Sarminah mengintip dari balik pohon durian. Benaknya mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya kakek tersebut? Kenapa dia punya grup ronggeng.
Sadiman menyadari ada yang mengintip di balik pepohonan. Ia memberhentikan alunan musik. Semua anggota menoleh pada Sadiman dengan tatapan heran kenapa permainan dihentikan. Sambil tersenyum, Sadiman melangkah mendekati Sarminah yang masih berdiri di balik pohon. Menyadari hal itu, Sarminah beranjak pergi.
“Sarminah tunggu,” pinta Sadiman sambil berlari kecil menghampirinya.
Kali ini Sarminah mau berhenti.
ADVERTISEMENT
“Kau suka menari, kan? Bagaimana kalau kau ikut grup ronggengku?”
“Iya benar, kami setuju Bah. Kita butuh penari,” timpal tukang gendang, ia ikut menghampiri Sarminah.
“Apa kalian mau menerimaku yang buruk rupa ini?” tanya Sarminah sambil tertunduk.
“Ah, tidak masalah yang penting kau bisa menari,” jawab Sadiman.
“Kenalkan ini Icung, Kurawa, dan Sarkam mereka semua pemain musik. Sedangkan ini yang cantik dan lucu namanya Melati cucuku. Dia senang sekali menari,” Sadiman menyentuh pundak cucunya.
“Aku Sarminah.”
“Kami semua sudah kenal kamu Sarminah,” ujar Icung sambil tersenyum ramah.
“Selamat bergabung Sarminah,” Melati tersenyum.
Malu-malu Sarminah menerima tawaran tersebut. Dan semenjak saat itu, Sarminah bergabung dengan grup ronggeng Sadiman. Mereka tidak manggung seperti grup ronggeng besar pada umumnya. Yang mereka lakukan adalah menjadi grup ronggeng keliling kampung yang ditonton anak-anak kecil lalu dilempari uang koin.
ADVERTISEMENT
___
Nantikan cerita Susuk Mayat selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: